Dijebak suami sampah? Di tipu sahabat sendiri? Di buang oleh keluarganya? ya itu semua adalah kehidupan suram Fellora di masa lalu, Tapi ia kini bangkit dengan indentitas baru untuk membalaskan dendam nya.
"Mengapa kita tidak memotongmu menjadi potongan kecil dan memberikannya untuk anjingmu? Hm? Kemudian kita akan lihat seberapa setia anjing lapar yang sebenarnya.
Kamu tidak akan pernah mengerti kehancuran yang kamu lakukan pada seseorang sampai hal yang sama dilakukan padamu."~Fellora
"Gue nggak peduli ayah dari bayi ini,benih yang ditanam di rahim lo ini! Yang pasti gue cuman ingin menjadi ayah untuk bayi ini, meskipun ini bukan darah daging gue,gue akan memperlakukan layaknya anak kandung. Dan gue juga nggak bakalan melarang lo buat deket sama cowok lain! Yang penting gue bisa jadi ayah yang baik buat bayi ini!"
_Farka
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anisa Nurapiah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
incident news
...Sebesar apapun ombaknya ...
...jangan pernah lompat dari kapal"...
..._Farka Jjovanka...
Plakk
tamparan keras Tangan Zerlya mendarat dengan kuat di pipi Farka, membuatnya memutar kepala karena terkena pukulan itu.
Casandra, yang berdiri di belakang Farka, terdiam kaget dan menahan air mata. Ia menutupi mulutnya dengan tangannya sendiri, mencoba menyembunyikan rasa takut dan kekecewaan.
"Tante, tolong hentikan! Jangan sakiti Farka lagi!" ucap Casandra dengan suara lirih, isak tangisnya terdengar dalam kata-kata itu. Ia memberikan salam perpisahan kepada mereka dan dengan tergesa-gesa menuju pintu utama, berharap dapat melarikan diri agar pertengkaran itu berhenti.
Farka memutar kepalanya dengan cepat, ingin menjemput Casandra yang sedang berjalan menjauh darinya. "Casandra!" serunya dengan keras, terdengar begitu putus asa, namun tangannya segera ditahan oleh ibunya, Zerlya.
"Tinggalkan dia, Farka! Kamu nggak usah kejar dia, kalau kamu nggak ingin Perempuan pembawa sial itu akan menghancurkan kehormatan keluarga kita! Zerlya berbicara dengan nada tegas dan penuh keputusasaan.
"Lebih baik dia mati saja!" lanjutnya dengan lantang.Namun, Farka tidak bisa menerima kata-kata itu begitu saja. Dengan tiba-tiba, ia melepaskan tangan ibunya yang memegang tangannya dengan kuat.
"Jika kehormatan lebih berarti daripada kemanusiaan, maka aku tidak ingin menjadi bagian dari keluarga ini lagi!" gumam Farka dengan nada yang terengah-engah. Tanpa ragu, ia mengambil kunci mobil yang tergeletak di atas meja dan bergegas menuju pintu, berusaha mengejar Casandra.
"Farka! Farka!" teriak Zerlya dengan suara yang hampir putus asa, sambil meremas-remas rambutnya dengan kedua tangan.
Dikediaman rumah keluarga Zevallo, sinar matahari perlahan menyusup ke dalam melalui jendela besar yang menghiasi ruangan mewah. Ezhardy terlihat menikmati tegukan kopi dari cangkir kecilnya, sambil mengunyah roti dengan santai di kursi meja makan yang tertata rapi.
Namun, suasana tenang itu terganggu oleh kegelisahan yang melanda Zerlya. Dengan langkah gelisah, ia berjalan tak menentu di samping jendela, sambil menggenggam smartphone dengan erat di telinganya, mencoba menghubungi seseorang.
"Kamu sedang apa mi? pagi-pagi begini kau sudah seperti orang kebingungan!" desah Ezhardy, merasa bosan dengan nunduknya istrinya.
"Ish dimana bocah itu? Mengapa ia tak menjawab teleponku?" Zerlya merasa kesal, matanya terpaku pada layar ponsel yang sedang dipegangnya.
Sementara itu, Bi Vina, pembantu setia keluarga Zevallo, berlari tergesa-gesa mendekati nyonya rumah, Zerlya.
"Nyonya, lihatlah ini! Itu benar-benar mirip dengan pacar Tuan Farka!" kata Bi Vina dengan cemas, memperlihatkan layar ponsel yang menampilkan berita penting.
Zerlya tersenyum licik, membaca berita tersebut.
"Jadi dia sudah mati, ya? Tapi dia benar bunuh diri ataukah Farka yang mendorongnya?" gumamnya dengan nada yang penuh kecurigaan.
Di rumah keluarga Kazziel yang bernuansa modern klasik, suasana tenang tercipta. Ruang makan yang terhubung langsung dengan ruang tengah dihiasi oleh televisi besar yang sedang menyala. Reagar duduk di meja makan, mencoba menikmati sarapan yang telah disiapkan oleh istrinya.
Namun, meskipun Yunezza sedang makan dengan lahap, matanya terlihat gelisah.
Reagar mengamati istrinya dengan perhatian. "Ada apa, sayang? Kamu terlihat khawatir," tanyanya dengan lembut.
Yunezza hanya menggelengkan kepala, tak dapat menahan kekhawatiran yang merayap di dalam hatinya.
"Entahlah, tiba-tiba aku merasa khawatir tentang Casandra!" gumamnya dengan suara pelan, mencoba mengungkapkan kegelisahan yang melingkari pikirannya.
"Kenapa kamu terus memikirkan gadis nakal itu? Biarkan saja dia!" sahut Reagar sambil melahap timun dan nasi gorengnya.
Namun, ketika Reagar sedang fokus menonton acara televisi dari jarak jauh, tiba-tiba jenis program berubah menjadi berita yang ditampilkan di layar.
Dini hari ini,Di tengah aliran sungai, ditemukan mayat seorang perempuan muda hamil. Kabarnya, korban ini telah bunuh diri, dengan luka lebam yang menghiasi tubuhnya. Tak disangka, perempuan malang ini diketahui sebagai salah satu korban kekerasan dalam rumah tangga. Jasadnya kini tengah menjalani pemeriksaan lebih lanjut di rumah sakit sebelum akhirnya akan dikebumikan, demikian diungkapkan oleh pembawa berita.
Yunezza, dengan mata terbelalak, terperangah mendengar berita ini. Hatinya berdebar kencang, ketakutan merayap dalam dirinya.
"Ciri-ciri yang mereka sebutkan... itu mirip sekali dengan Casandra! Tidak mungkin, tidak mungkin bisa terjadi pada Casandra!" gumam Yunezza dengan cemas yang melilit hatinya. Tanpa berpikir panjang, ia bangkit dari tempat duduknya, langkahnya tegap hendak menuju rumah sakit untuk memastikan kebenaran berita ini.
Namun, Reagar dengan lembut menahan tangan Yunezza, mencoba meredam kegetiran dan panik yang melanda istrinya.
"Yunezza!" serunya dengan suara rendah namun tegas.
Reagar dengan bijaksana berusaha menenangkan hati yang gelisah.
"Jika kita terburu-buru pergi ke rumah sakit, semua orang akan mengetahui bahwa Casandra adalah anak kita. Apakah kamu ingin kita dihantui rasa malu karena perbuatan bunuh diri Casandra?" lanjutnya, berusaha meyakinkan Yunezza untuk tetap tenang.
Yunezza terlihat terguncang, terperangkap antara penyesalan atas masa lalu dan kekhawatiran yang membelit saat ini.
"terus gimana gar!!? Aku cumab ingin tahu dia benar-benar Casandra atau bukan?" tangis Yunezza pecah, tak mampu lagi menahan kesedihannya.
"Tenanglah, baiknya kita pergi ke jembatan itu. Siapa tahu kita bisa mendapatkan informasi lebih lanjut di sana," jawab Reagar dengan penuh kelembutan, berusaha memberikan sedikit harapan di tengah gelapnya keadaan.
🍃🍃
Sesampainya di jembatan tempat kejadian, Jembatan itu juga tempat dimana kemarin Casandra menangis dan bertemu sosok farka.
Para polisi dengan teliti menyelidiki setiap sudut tempat kejadian. Yunezza mengenakan syal untuk melindungi dirinya dari dingin pagi, meskipun matahari sudah mulai terbit. Ia bergegas mendekati salah satu penyelidik yang berada di sana.
"Pak... siapa korban bunuh diri ini?" tanya Yunezza dengan cemas, sambil menatap wajah sang penyelidik.
"Apakah ibu mengenalnya? Apa ibu keluarganya?" tanya sang penyelidik dengan tajam.Reagar yang berdiri di samping Yunezza segera merespons dengan cepat.
"Bukan, Pak! Kami hanya ingin memastikan saja! Putri kami sedang bulan madu dengan suaminya dan belum pulang!" jawabnya dengan cepat, berharap tidak menimbulkan kecurigaan di benak polisi.
"Oh begitu, mungkin ini bukan putri kalian pak? Ini adalah seorang perempuan hamil, dan kami menemukan kartu identitasnya di aliran sungai!" jawab sang penyelidik sambil menunjukkan kartu identitas yang dibungkus dalam plastik bening untuk keperluan penyelidikan.
Ketika Yunezza mengambil plastik tersebut untuk melihatnya, jantungnya seakan-akan ingin melompat keluar dari dadanya saat melihat foto Casandra di dalam kartu identitas, yang menampilkan nama lengkap dan status pernikahannya.
Dengan cepat, Reagar mengembalikan kartu identitas itu, dan dengan sopan berpamitan kepada polisi.
"Maaf, Pak, ini bukan putri kami. Baiklah, kami akan pergi sekarang! Terimakasih maaf sudah menggangu!" ujarnya sambil memegangi Yunezza dan mengajaknya berbalik untuk kembali pulang.
Yunezza terlihat berusaha menahan air mata dan emosinya yang bergolak saat mereka berjalan menuju mobil. Langkah mereka terasa berat, penuh dengan kekhawatiran dan ketidakpastian.
Sesampainya di dalam mobil, Yunezza tidak bisa menahan air matanya. Isakan tangisnya menusuk hati, menggambarkan keputusasaan yang mendalam. Bibirnya gemetar, dan ia menggigit kukunya dengan cemas.
"Hiks, Casandra! Maafkan bunda, nak! Bunda jahat!" desisnya sambil air matanya terus mengalir.
Reagar, yang juga penuh dengan emosi, mempercepat mobilnya dengan menginjak pedal gas hingga mencapai kecepatan tinggi. Ia merasa marah pada lelaki yang telah merebut rumah Casandra, tempat di mana ia dulu pernah tinggal bersama putrinya.
"Lelaki itu!" gumam Reagar dengan penuh emosi, suara murka terdengar dalam kata-katanya.
Mobil melaju melintasi jalan-jalan yang kosong dengan cepat. Tidak ada yang bisa menghalangi kemarahan yang membara di dalam hati Reagar.
...Bersambung...