"Tarian di Atas Bara"
(Kisah Nyata Seorang Istri Bertahan dalam Keabsurdan)
Aku seorang wanita lembut dan penuh kasih, menikah dengan Andi, seorang pria yang awalnya sangat kusayangi. Namun, setelah pernikahan, Andi berubah menjadi sosok yang kejam dan manipulatif, menampakkan sisi gelapnya yang selama ini tersembunyi.
Aku terjebak dalam pernikahan yang penuh dengan penyiksaan fisik, emosional, dan bahkan seksual. Andi dengan seenaknya merendahkan, mengontrol, dan menyakitiku, bahkan di depan anak-anak kami. Setiap hari, Aku harus berjuang untuk sekedar bertahan hidup dan melindungi anak-anakku.
Meski hampir putus asa, Aku terus berusaha untuk mengembalikan Andi menjadi sosok yang dulu kucintai. Namun, upayaku selalu sia-sia dan justru memperparah penderitaanku. Aku mulai mempertanyakan apakah pantas mendapatkan kehidupan yang lebih baik, atau harus selamanya terjebak dalam keabsurdan rumah tanggaku?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bintang Ju, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Setiap kali Suamiku Mabuk
Setiap kali Andi pulang dalam keadaan mabuk, aku tahu hari-hariku akan dipenuhi dengan ketakutan dan kekecewaan. Namun, malam itu lebih buruk dari yang pernah aku alami sebelumnya.
Andi datang dengan kondisi sangat mabuk. Bahkan dari kejauhan aku bisa mencium bau alkohol yang menguar dari tubuhnya. Ketika aku menyambutnya, dia langsung memarahiku dengan kasar.
"Kenapa kau belum tidur, hah?! Kau pikir aku mau pulang cepat?" bentaknya.
"Aku tidak lagi menunggumu, bayi kita rewel jadi aku berusaha menidurkannya”
"aku buatkan air hangat ya?".
Aku mencoba membujuknya agar masuk ke dalam rumah. Tapi Andi malah semakin emosi dan tiba-tiba mena4mparku dengan keras. Rasa sak1t di pipiku membuatku terkejut.
Air mata langsung mengalir deras dari mataku. Andi tidak berhenti di situ, dia terus memukul1ku, bahkan menend4ng perutku hingga aku jatuh tersungkur.
Aku berusaha melindungi diriku, tapi Andi terus menyer4ngku tanpa ampun. Rasa sakit di sekujur tubuhku membuatku sulit bergerak. Aku hanya bisa meringkuk di lantai sambil menangis memohon belas kasihannya.
"Hentikan... Andi, tolong hentikan..." isakku lirih.
“apa salahku Andi? Mengapa kau lakukan ini kepadaku?”
Tapi Andi seakan tak mendengar permohonanku. Dia terus melampiaskan kem4rahannya dengan memukul dan menend4ngku. Aku tak berdaya melawannya.
Akhirnya Andi berhenti setelah lelah sendiri. Dia kemudian pergi meninggalkanku yang tergeletak penuh luka di lantai. Aku hanya bisa menangis dalam diam, meratapi nasibku yang kembali terperosok di rumah nestapa ini.
Apa yang harus aku lakukan? Andi semakin tak terkendali dan tindak kekerasan itu terus berulang. Aku ingin pergi tapi aku juga tak ingin meninggalkan dirinya. Aku hanya bisa berdoa agar Andi segera sadar dan berubah.
***
Setelah aku melahirkan, kondisi fisik dan mentalku sangat lemah bahkan sudah hampir setahun pasca melahirkan. Aku sangat membutuhkan waktu untuk beristirahat dan pulih sepenuhnya. Tapi di saat aku sangat membutuhkan kasih sayang dan perhatian Andi, dia malah semakin jarang ada di rumah.
Andi sering pergi entah ke mana, dan ketika pulang dia selalu dalam keadaan kacau - bau alkohol menusuk hidung dan pakaian berantakan. Aku curiga ada yang tidak beres dengan sikapnya.
Suatu hari, saat aku sedang membereskan pakaian Andi, aku menemukan secarik kertas yang berisi nomor telepon seorang wanita. Hatiku langsung dipenuhi dengan rasa curiga dan kecemasan.
Tanpa berpikir panjang, aku mencoba menghubungi nomor itu. Dan betapa terkejutnya aku saat seorang wanita mengangkat teleponnya. Dia dengan terang-terangan mengakui bahwa dia adalah kekasih Andi.
Air mata langsung mengalir deras dari mataku.
“Mengapa kau tega melakukan ini kepadaku Andi? Tega sekali kau mengkhianatiku”.
Setiap kali Andi pulang, aku langsung memarahinya dan menuntut penjelasan. Tapi Andi hanya diam dan tidak mau mengakui perbuatannya. Dia malah semakin sering pergi dan menghabiskan waktu di luar.
Aku semakin tertekan dan putus asa. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Apa aku harus pergi meninggalkannya? Atau aku harus tetap bertahan demi anak-anak kami? Pikiranku terus bergulat dengan dilema yang menyiksa.
Hidup di rumah nestapa ini terasa semakin berat. Andi yang dulu aku kenal sudah hilang, digantikan oleh sosok yang asing dan jahat. Aku hanya bisa menangis setiap malam, berharap ini semua hanya mimpi buruk yang segera berakhir.
***
Setelah mengetahui perselingkuhan Andi, hatiku dipenuhi oleh rasa kecewa dan sakit hati yang amat dalam. Tapi di tengah keputusasaanku, Andi justru berbalik menuduhku yang tidak-tidak.
Suatu hari, saat kami sedang berdebat, tiba-tiba Andi menatapku tajam dan berkata,
"Aku tahu kau juga selingkuh dengan laki-laki lain! Jangan kira aku tidak tahu!"
Aku terkejut mendengar tuduhannya.
"Apa maksudmu, Andi? Aku tidak pernah berselingkuh!" bantahku.
Tapi Andi tidak mau mendengarkan penjelasanku. Dia malah semakin em0si dan menc3ngkeram kerah bajuku dengan kasar.
"Kau pikir aku bodoh? Aku sudah tahu semuanya!"
Air mata langsung mengalir di pipiku. Aku berusaha meyakinkannya bahwa aku tidak melakukan apa pun, tapi Andi seakan-akan sudah menutup telinga dan hatinya.
"Kau pikir aku tidak tahu kau selalu pergi keluar dengan laki-laki itu? Jangan kira aku tidak memperhatikanmu!" tuding Andi penuh amarah.
Aku tersentak. Laki-laki yang dimaksud Andi adalah tetangga kami yang baik hati, yang sering membantuku mengurus anak-anak ketika Andi tidak ada. Tapi Andi salah paham dan menuduhku macam-macam.
"Tidak, Andi! Kau salah paham. Dia hanya tetangga yang baik hati yang sering membantuku. Aku tidak pernah berselingkuh dengannya atau siapa pun!" jeritku putus asa.
Tapi Andi tidak mau mendengar penjelasanku. Dia malah semakin kalap dan memuku1 diriku dengan membabi buta. Aku hanya bisa pasrah dan menangis, tidak berdaya melawan tuduhan yang tidak beralasan itu.
Hati dan pikiranku dipenuhi dengan kepedihan. Andi sudah begitu jauh terperosok, dan aku tidak tahu harus berbuat apa lagi untuk menyelamatkan pernikahan kami yang semakin hancur.
***
Penderitaanku semakin bertambah saat Andi menjadi sangat posesif dan mudah curiga. Dia sering marah-marah dan menuduhku macam-macam tanpa alasan yang jelas.
Suatu hari, aku memutuskan untuk mengunjungi ibuku yang sedang sakit. Aku meminta izin kepada Andi, tapi dia malah melarangku pergi.
"Kau mau pergi ke mana lagi? Pasti kau mau bertemu dengan laki-laki lain kan?" tudingnya dengan penuh kecurigaan.
"Tidak, Andi. Aku hanya ingin mengunjungi ibu yang sedang sakit. Kumohon, izinkan aku pergi," pintaku dengan sabar.
Tapi Andi tidak mau mendengarkan. Dia semakin marah dan membentak-bentak diriku. Aku berusaha menenangkannya, tapi Andi malah mendor0ngku dengan kasar.
“Pokoknya, kau tidak boleh keluar rumah. Kalau kau mencoba keluar rumah, tahu sendiri akibatnya”. Ancam Andi
Akhirnya, karena tidak tahan dengan sikapnya, aku memutuskan untuk pergi diam-diam. Aku pergi mengunjungi ibu tanpa sepengetahuan Andi. Apalagi jarak rumah ibuku tidak jauh. Bisa ditempuh dengan berjalan kaki.
Namun, saat aku kembali, betapa terkejutnya aku melihat pemandangan yang mengerikan. Rumah dalam keadaan berantakan, perabot dan barang-barang berserakan di mana-mana. Andi terlihat sangat marah dan mengamuk.
"Kau dari mana saja, hah? Kau pasti pergi dengan laki-laki lain, kan?" teriak Andi sambil melemp4rkan barang-barang ke arahku.
Aku berusaha menjelaskan, tapi Andi tidak mau mendengar.
“Andi maafkan aku, aku terpaksa pergi menjenguk ibu secara diam-diam karena aku khawatir dengan kondisinya”
“Diam kau. Aku tidak butuh penjelasanmu. Aku kan sudah melarangmu, kenapa masih juga melanggarnya, hah”.
Dia terus mengamuk dan melemp4rkan apa pun yang bisa dia raih ke arahku. Aku hanya bisa menangis dan berusaha melindungi diri dan bayiku dari amukan Andi yang tak terkendali.
Hatiku hancur melihat Andi yang sudah berubah menjadi sosok yang mengerikan. Aku tidak mengenal lagi suamiku yang dulu sangat aku cintai. Rumah nestapa ini terasa semakin menjadi neraka bagiku.
***
Setelah mengalami amukan mengerikan dari Andi, aku memutuskan untuk pergi meninggalkan rumah dan tidak kembali untuk sementara waktu. Aku pergi ke tempat saudara-saudaraku, mencoba mencari ketenangan dan perlindungan.
Namun, Andi tampaknya tidak bisa menerima kepergianku. Dia mengirim beberapa orang suruhan untuk menemuiku dan memaksaku pulang.
Ketika mereka datang, aku merasa sangat ketakutan. Bayangan akan kemarahan Andi dan siksaannya membuatku gemetar. Aku tidak mau kembali ke rumah itu, tempat di mana aku harus menghadapi teror dan penderitaan.
"Maaf, tapi aku tidak mau pulang. Aku takut dengan Andi," tolakku dengan suara bergetar.
Namun, para suruhan itu tidak menerima penolakkanku. Mereka memaksa dan meng4ncamku. "Andi menyuruh kami membawamu pulang, apapun yang terjadi. Kau harus ikut dengan kami sekarang juga!"
Aku berusaha member0ntak, tapi mereka jauh lebih kuat dariku. Mereka menarikku dengan kas4r, memaksaku masuk ke dalam mobil. Aku menjerit minta tolong, tapi tak ada yang bisa menolongku.
Sepanjang perjalanan, aku tidak berhenti menangis. Aku benar-benar tidak ingin kembali ke rumah itu, ke tempat di mana aku harus menghadapi kemarahan Andi yang tak terkendali. Aku takut akan menjadi sasaran pelampiasannya yang semakin brut4l.
Sesampainya di rumah, Andi langsung menyambutku dengan tatapan penuh amarah. Aku gemetar ketakutan, tapi aku tidak punya pilihan selain kembali menghadapi kehidupan neraka yang menungguku.