Seruni adalah seorang gadis tuna wicara yang harus menghadapi kerasnya hidup. Sejak lahir, keberadaannya sudah ditolak kedua orang tuanya. Ia dibuang ke panti asuhan sederhana. Tak ada yang mau mengadopsinya.
Seruni tumbuh menjadi gadis cantik namun akibat kelalaiannya, panti asuhan tempatnya tinggal terbakar. Seruni harus berjuang hidup meski hidup terus mengujinya. Akankah ada yang sungguh mencintai Seruni?
"Aku memang tak bisa bersuara, namun aku bisa membuat dunia bersuara untukku." - Seruni.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mizzly, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aulia
Avian
Hatiku merasa marah saat mendengar Mama menekan Runi seperti itu. Aku dan Runi hanya berteman, tak ada hubungan apapun. Kenapa Mama bersikap seolah-olah aku dan Runi akan menjadi sepasang kekasih yang saling mencintai? Aku tak mungkin mencintai Runi. Yang ada dalam pikiranku adalah aku harus cepat menyelesaikan kuliahku lalu bekerja agar aku punya uang banyak. Aku harus terlepas dari belenggu Papa. Cinta adalah nomor sekian dalam hidupku.
Tanpa takut aku menghampiri Mama dan balik memarahinya. "Kenapa sih Mama harus kayak gini? Kenapa Mama harus menekan Runi seperti ini? Ma, Runi itu sudah membantuku belajar. Kami akrab karena kami berteman. Runi banyak berjasa dalam membantuku belajar. Mama lihat sendiri bukan nilai pelajaranku naik, berkat siapa kalau bukan karena Runi? Mama tak perlu mengancam Runi seperti itu karena kami memang tak punya hubungan apapun dan mungkin takkan pernah ada hubungan apapun."
"Mama hanya mencegah kalian memiliki perasaan satu sama lain. Vian, kalian itu sudah dewasa dan tinggal bersama. Mama tak mau kalian memiliki perasaan satu sama lain. Tugas kamu di kota ini ya belajar. Kalau sampai Papa tahu kamu bukannya belajar, Papa akan sangat marah sama kamu!" jawab Mama.
"Aku belajar, Ma. Mama jangan seperti Papa deh. Kalian terlalu memaksaku harus begini dan begitu. Aku bukan boneka, Ma!"
Huft ... lelah sekali diperlakukan seperti ini terus.
Aku menatap Runi yang menunduk dan menahan air matanya. Kasihan dia. Berada di antara aku dan keluargaku yang suka seenaknya.
"Maafkan Mama, Vian. Mama tak bermaksud menjadikan kamu boneka. Maafkan Mama," kata Mama dengan nada penuh sesal. "Mama hanya terlalu khawatir."
Aku kini menatap Mama dengan tatapan kesal. Mama langsung memperbaiki sikapnya yang sudah salah menekan Runi. "Saya minta maaf sama kamu juga, Runi. Tolong, kamu ingat ya apa yang saya katakan tadi. Jangan sampai kalian memiliki perasaan satu sama lain. Ini demi kebaikan kalian sendiri."
****
Aku merebahkan tubuhku di atas bangku kolam renang sambil menatap bunga krisan merah muda. Rasanya menenangkan sekali. Ini adalah tempat favoritku. Setelah berenang, berjemur sambil menatap indahnya bunga-bunga bermekaran.
Aku mendengar suara di sebelahku dan tahu siapa yang datang dalam kesunyian. Runi.
Runi menaruh minuman hangat kesukaanku, campuran secang, jahe, kapulaga dan gula batu sebagai pemanis. Minuman yang cocok sehabis berenang, selain menghangatkan tubuh juga baik untuk kesehatan. Tak lupa ubi rebus sebagai temannya.
"Makasih, Runi. Duduklah!"
Runi menggelengkan kepalanya. Ia memperagakan kalau dirinya tengah mencuci baju dan harus menjemurnya sebelum diomeli Bu Surti. Aku menjawabnya dengan anggukan kepala.
Sejak Mama mengomelinya waktu itu, Runi seolah menjauh dariku. Ia selalu saja beralasan kalau aku mengajaknya mengobrol berdua. Ia seolah menjaga jarak.
Huft ... aku rindu saat-saat kami bermain bersama, jalan-jalan di pasar malam dan bermain di pantai. Aku mengerti keputusan Runi, anak itu pasti takut kehilangan pekerjaannya dan memilih menjauh dariku. Kenapa Mama harus membuat satu-satunya orang yang dekat denganku menjauh? Kenapa juga Mama harus mendekatkan hubunganku dengan Aulia.
Ya, Aulia.
Nanti malam Aulia dan keluarganya akan datang ke rumah ini. Mama sudah meminta Bu Surti memasak banyak hari ini untuk menyambut tamu istimewanya. Apalagi rencana Mama dan Papa kali ini? Apa mereka mau memajukan pertunangan kami?
Kasihan sekali hidupku. Kuliah diatur, harus masuk jurusan pilihan Papa, berteman diatur oleh Mama dan kini jodohku pun diatur Mama dan Papa. Kapan aku bisa bebas menentukan arah hidupku?
****
"Vian, ayo turun. Aulia sudah datang nih! Katanya kamu tak sabar mau ketemu Aulia?" panggil Mama dengan suara super manis.
Ih, kapan aku bilang tak sabar mau ketemu Aulia? Aku tak pernah bilang apa-apa tuh!
Dengan malas aku turun ke bawah. Tak sengaja tatapan mataku bertemu dengan Runi. Ia mengenakan seragam kerjanya dan menguncir rambutnya tinggi. Cantik sekali. Runi cepat-cepat membuang pandangannya dariku dan membantu Bu Surti menata meja makan.
"Nah, ini Avian sudah datang. Dari kemarin Vian tak sabar menanti kedatangan Aulia loh. Rindu katanya," kata Mama yang tertawa kecil sambil menutup mulutnya.
"Aduh, sudah saling rindu mereka, Jeng. Beda ya kalau sudah dijodohkan sejak kecil. Sudah tahu dimana hatinya akan berlabuh," balas Tante Juni, Mama Aulia.
Dengan senyum terpaksa aku salim pada kedua orang tua Aulia lalu duduk bergabung dengan orang-orang menyebalkan ini. Aku menatap Aulia yang selalu terlihat cantik dan anggun. Aku dan Aulia memang dekat, namun Aulia hanya kuanggap teman saja.
"Bagaimana kuliahmu, Avian? Lancar?" tanya Om Fandi, Papa Aulia.
"Lancar, Om."
"Syukurlah. Om dengar dari Papa kamu katanya nilai kamu naik ya? Wah, memang hebat kamu. Pintar seperti orang tuanya," puji Om Fandi.
"Ah bisa saja calon besan memuji. Avian itu cerdas. Calon penerus bisnis keluarga kami kelak." Papa tertawa bangga.
"Kalau begitu saya tenang juga dong. Kalau Avian menikah dengan Aulia, berarti perusahaan saya akan aman dipimpin olehnya? Wah, punya menantu pintar memang investasi ya!" kata Om Fandi membuat Papa semakin merasa bangga.
Runi datang membawakan minuman dan cemilan. Aku terus menatapnya dan menyadari kalau ada yang juga sedang menatapku. Ya, Aulia.
Tatapan Aulia terlihat amat sebal pada Runi. Aku ingat kalau dia tak mau membalas uluran tangan Runi saat kukenalkan dulu. Apakah Aulia seangkuh itu sampai tak sudi membalas uluran tangan Runi?
"Kira-kira, Avian selesai kuliah kapan ya?" tanya Om Fandi tiba-tiba.
"Setahun lagi kalau tidak molor. Ada apa ya?" jawab Papa.
"Sudah tak sabar rasanya punya menantu cerdas macam Avian." Ucapan Om Fandi disambut gelak tawa semua orang kecuali aku dan Runi.
Aku melirik Runi. Tangannya agak gemetar saat menaruh piring berisi kue lapis legit.
"Sabar, kalau kita menikahkan mereka sekarang, takut Avian tak fokus. Punya istri cantik macam Aulia pasti membuatnya malas kuliah. Lebih baik kita nikahkan mereka setelah Avian lulus agar Avian punya motivasi untuk segera menyelesaikan kuliah jadi bisa menikahi Aulia, pujaan hatinya," jawab Papa.
"Iya juga ya. Bagaimana kalau perjodohan mereka kita resmikan saja?" usul Om Fandi.
"Boleh juga. Saya setuju itu. Bagaimana kalau bulan depan saja kita adakan pesta pertunangan mereka? Sekalian kita undang para kolega bisnis agar tahu kalau hubungan pertemanan kita akan segera menjadi hubungan keluarga?" jawab Papa dengan penuh semangat.
Apa? Pertunangan resmi? Bulan depan? Kenapa secepat ini?
****
eh jd papa Dio dan mama Ayu...itu yg punya bisnis Ayu Furniture itu?...olala...😂😂😂
Kavi menjadi pemuda yang luar biasa, Seruni berhasil mendidiknya.
cerita nya GK prnah bertele2.smua novel miZzly sudah hbis AQ baca..kdang smpe d ulng2