Dituduh pembunuh suaminya. Diusir dari rumah dalam keadaan hamil besar. Mengalami ketuban pecah di tengah jalan saat hujan deras. Seakan nasib buruk tidak ingin lepas dari kehidupan Shanum. Bayi yang di nanti selama ini meninggal dan mayatnya harus ditebus dari rumah sakit.
Sementara itu, Sagara kelimpungan karena kedua anak kembarnya alergi susu formula. Dia bertemu dengan Shanum yang memiliki limpahan ASI.
Terjadi kontrak kerja sama antara Shanum dan Sagara dengan tebusan biaya rumah sakit dan gaji bulanan sebesar 20 juta.
Namun, suatu malam terjadi sesuatu yang tidak mereka harapkan. Sagara mengira Shanum adalah Sonia, istrinya yang kabur setelah melahirkan. Sagara melampiaskan hasratnya yang ditahan selama setelah tahun.
"Aku akan menikahi mu walau secara siri," ucap Sagara.
Akankah Shanum bertahan dalam pernikahan yang disembunyikan itu? Apa yang akan terjadi ketika Sonia datang kembali dan membawa rahasia besar yang mengguncang semua orang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Sagara menatap ke luar kaca, membiarkan pikirannya berkelana di antara bayangan masa lalu dan masa kini. Di kursi belakang, Bu Rahma berbicara perlahan, nada suaranya penuh kehati-hatian.
“Awalnya, tidak ada yang tahu status Bu Sonia. Semua biaya rumah sakit ditanggung oleh Dokter Adrian. Kami hanya tahu beliau wanita yang ditemukan tak sadarkan diri di tepi dermaga dekat jembatan. Tidak ada identitas apa pun di tubuhnya.”
Kata-kata itu mengguncang dada Sagara. Tangan kirinya mengepal di pangkuan.
Bagaimana mungkin seorang Sonia, wanita yang dulu begitu kuat, anggun, dan penuh kasih, berakhir dalam keadaan seperti itu?
“Sebenarnya, saya tahu tentang Bu Sonia dari selembar pencarian orang yang tidak sengaja aku ditemukan saat beli gorengan di pinggir jalan. Waktu itu saya ragu, takut salah orang. Tapi wajahnya terlalu mirip dengan pasien koma di rumah sakit.”
Suara Bu Rahma parau, seakan menahan rasa iba. Papi Leon yang duduk di sebelah Sagara hanya diam, tetapi dari sorot matanya jelas ada kebimbangan. Antara lega karena Sonia masih hidup, dan takut pada badai baru yang mungkin akan datang.
Perjalanan lebih dari dua jam itu terasa seperti seharian penuh. Tak ada satu pun dari mereka yang benar-benar berbicara setelah itu.
Yang terdengar hanyalah suara roda mobil menapak di jalan berkerikil dan desah napas yang berat dari Sagara.
Rumah sakit itu kecil, tapi bersih. Bau antiseptik menyergap begitu mereka melangkah masuk.
Seorang pria berjas putih menghampiri mereka dengan senyum ramah.
“Saya Dokter Adrian,” ucapnya sambil menjabat tangan Sagara. “Anda pasti suami Bu Sonia.”
“Ya, saya Sagara.” Suara pria itu serak, seperti ada batu besar di tenggorokannya.
Bu Rahma menunduk sopan. “Beliau dokter yang menyelamatkan Bu Sonia, Pak.”
Mereka berjalan menyusuri lorong panjang berlampu putih. Setiap langkah terasa menegangkan. Jantung Sagara berdetak cepat, dadanya nyeri seolah menahan badai yang siap pecah. Ketika mereka tiba di depan ruang rawat, dokter itu membuka pintu perlahan.
“Dia sudah sadar dua minggu lalu,” ujar Dokter Adrian lembut.
Sagara tertegun dengan jantung berdebar kencang.
Di dalam ruangan, Sonia terbaring lemah di atas ranjang. Wajahnya pucat, pipinya cekung, namun senyum tipis yang muncul di bibirnya membuat waktu seakan berhenti. Matanya terbuka, menatap pintu, menatap sosok yang selalu dirindukannya.
“Mas...,” bisik Sonia.
“Sayang.”
Sagara segera menghampiri dan memeluk istrinya. Tubuh Sonia ringan, seperti tak bernyawa.
Air mata jatuh tanpa bisa ditahan. Tangannya menggenggam jemari Sonia yang dingin, seolah takut jika ia kembali hilang.
“Syukurlah kamu masih hidup, Sayang. Kau sudah membuat aku gila karena tiba-tiba menghilang,” Sagara berbisik nyaris tak terdengar, nadanya penuh rasa syukur dan rasa bersalah.
Papi Leon berdiri di dekat kaki ranjang, matanya memerah.
“Bagaimana keadaanmu, Sonia?” tanya Papi Leon pelan.
“Papi ….” Sonia menatap pria itu dengan lemah, lalu mencium tangannya. “Aku … bahkan tidak tahu kenapa bisa di sini. Terakhir aku ingat, aku habis menyusui si kembar.”
Sagara dan Papi Leon saling berpandangan. Ada pertanyaan yang sama di benak mereka. Bagaimana Sonia bisa keluar dari ruang rawat dan menghilang begitu saja?
“Apa kamu tidak ingat berjalan keluar dari ruang rawat, Sonia?”
“Tidak, Mas. Aku hanya ingat sedang berada di ruang bersalin. Bahkan aku juga tidak begitu ingat percakapan dengan Dokter Anton.”
Sagara menarik napas dalam-dalam, menahan emosi. Luka lama yang selama ini dia kubur perlahan terbuka lagi.
“Lalu … anak-anak bagaimana keadaannya sekarang?” tanya Sonia, suaranya bergetar.
“Mereka baik-baik saja. Tumbuh sehat. Lucu dan menggemaskan.”
“Aku ingin melihat mereka. Katanya aku sudah koma setahun. Pasti sekarang mereka sudah besar.”
Sagara tersenyum kecil, tapi senyum itu tidak sampai ke matanya.
“Dua minggu lagi mereka ulang tahun pertama.”
Sonia memejamkan mata, air matanya menetes membasahi bantal.
“Aku ingin bertemu dengan mereka sekarang, Mas. Aku ingin memeluk anak-anakku.”
Namun Dokter Adrian menyela dengan lembut. “Kondisi Bu Sonia masih lemah. Ototnya banyak yang kaku. Perlu terapi dan waktu untuk pulih.”
Sonia menatap dokter itu penuh harap yang tertahan. Dalam tatapan itu, tergambar kasih seorang ibu yang terenggut waktu. Satu tahun kehilangan yang tak bisa dibayar oleh apa pun.
Sagara menunduk, hatinya tercabik. Dia ingin segera membawa Sonia pulang, tetapi ada nama lain yang berputar di kepalanya, Shanum. Istri muda yang menunggunya di rumah, memeluk kedua anak yang lahir dari rahim Sonia.
Kehadiran Sonia yang bangkit dari kematian, seperti pedang bermata dua yang siap menebas semua kedamaian yang baru saja dibangunnya.
Papi Leon berbicara kemudian, tegas tapi lembut.
“Kita pindahkan Sonia ke rumah sakit terbaik. Dia harus mendapatkan perawatan yang layak.”
Sagara hanya mengangguk. Ia tak sanggup menolak. Setelah semua urusan administrasi selesai, Sagara memberikan uang seratus juta kepada Bu Rahma dan tiga ratus juta untuk Dokter Adrian.
“Terima kasih, Dok. Anda sudah menyelamatkan istri saya.”
Dokter Adrian menepuk bahunya. “Yang penting, sekarang dia sadar. Itu keajaiban yang jarang terjadi.”
Malam menjelang. Sagara duduk di kursi rumah sakit, memandangi Sonia yang tertidur tenang. Ia menggenggam ponselnya, ingin menelepon Shanum, tetapi ia baru sadar ponselnya tertinggal di kantor. Ia mendesah berat, kepala bersandar di dinding.
“Shanum pasti khawatir.”
Bayangan wajah lembut istrinya terlintas. Wajah itu selalu tersenyum saat menyuapi si kembar, selalu menunggu di depan pintu saat ia pulang kerja. Dan malam ini, perempuan itu menunggunya sendirian tanpa tahu apa yang sedang terjadi.
Sementara itu di rumah, Shanum mondar-mandir menunggu kepulangan Sagara. Hari sudah malam, tetapi suaminya belum juga pulang. Tidak ada kabar sama sekali. Dihubungi juga tidak diangkat. Jelas ini membuat wanita itu khawatir.
Jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari.
Shanum duduk di ruang depan, menatap ponsel yang sudah puluhan kali ia hubungi. Tak ada jawaban. Udara malam menembus kulitnya, membuatnya menggigil.
“Kenapa nggak diangkat juga, Mas?” gumam Shanum pelan. Ia menarik selimut di bahunya, matanya berkaca-kaca.
“Ya Allah, semoga saja Mas Gara baik-baik saja.”
Tak ada suara selain detak jam dinding.
Shanum menunduk, menatap foto kecil mereka berempat, dirinya, Sagara, dan si kembar. Dadanya sesak, seakan ada sesuatu yang hendak pecah.
Malam itu, ia tidak tidur sama sekali.
***
Pagi datang dengan sinar matahari yang menyilaukan, tetapi hati Shanum masih terasa redup. Ia menyuapi bayi-bayi mungilnya, memandikan mereka dengan air hangat, lalu menjemur di halaman.
Setiap tawa kecil dari anak-anak itu hanya membuat dadanya semakin perih. Karena tak ada Sagara di sana yang biasa ikut tertawa bersama mereka.
Ketika suara mobil terdengar di halaman, jantung Shanum langsung berdebar. Ia berlari ke depan rumah, matanya menatap tajam ke arah mobil hitam yang baru berhenti.
“Gara!” panggil Mami Kartika yang lebih dulu keluar dari pintu rumah.
“Iya, Mami,” jawab Sagara, suaranya lelah.
“Bagaimana keadaan Sonia? Kenapa dia bisa koma?”
Nama Sonia, menghantam telinga Shanum seperti petir yang menyambar. Tubuhnya membeku. Tangannya yang menggendong si kembar terasa kaku. Rasanya dunia berhenti berputar.
“Sonia ....” Shanum berbisik lirih.
Matanya memanas. Kini ia tahu, alasan suaminya tak pulang bukan karena pekerjaan, tetapi karena perempuan yang dulu ia gantikan.
Air mata menetes di pipi Shanum tanpa bisa ditahan. Hatinya hancur, bukan karena cemburu, tetapi karena sadar. Cinta yang ia kira sudah menjadi miliknya, ternyata masih menyimpan bayangan masa lalu.
“Rupanya, Bu Sonia sudah kembali,” bisik Shanum pelan.
“Lalu … aku ini siapa sekarang?”
apakah abyasa anak shanum