Di pertengahan tahun 1980, Dewi merasakan pedihnya dijadikan tulang punggung layaknya sapi perah, tapi tetap dianggap sebagai benalu. Bahkan, KDRT kerap Dewi maupun anaknya dapatkan dari suami dan juga keluarga suami, yang selama 5 tahun terakhir Dewi nafkahi. Karenanya, Dewi nekat menjadikan perceraian sebagai akhir dari rumah tangganya.
Dewi bertekad bahagia bahkan sukses bersama kedua anaknya. Segala cara Dewi lakukan, termasuk menjadi ART, sebelum akhirnya menjadi warung keliling. Namun pada kenyataannya, menjadi sukses bukanlah hal mudah. Terlebih, Dewi masih saja diganggu orang-orang dari masa lalunya. Dewi sampai berurusan dengan hukum akibat fitnah keji, sebelum akhirnya mengikuti program transmigrasi di era Orde Baru yang tengah berlangsung.
Akan tetapi karena sederet cobaan itu juga, Dewi menemukan cinta sejati sekaligus kesuksesan yang selama ini Dewi perjuangkan. Kesuksesan yang membuat Prasetyo sekeluarga sangat menyesal!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rositi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
9 : Lebih Baik Kita Bercerai
“Tampar, Mas. Tampar seperti biasa. Enggak usah ragu!”
“Karena aku saja, jadi enggak ragu untuk bercerai dari kamu!”
Sambil menahan tangis sekaligus menahan napas, Dewi yang mengangguk-angguk berkata, “Lebih baik kita bercerai. Mulai sekarang, hubungan kita sudah enggak lebih dari orang tua dari anak-anak kita!”
“Urusan kamu mau tanggung jawab enggaknya, itu aku kembalikan ke kamu. Biar itu jadi urusan kamu dengan Allah. Toh, aku sudah terbiasa urus semuanya sendiri!”
“Aku bisa menghidupi anak-anakku tanpa mengandalkan orang lain apalagi mengandalkan keluarga suamiku seperti apa yang Mas dan keluarga Mas lakukan kepadaku!”
“Termasuk perceraian kita, ... andai Mas enggak mau urus, ... biar aku yang urus!” tegas Dewi.
Apa yang Dewi katakan benar-benar membuat emosi Prasetyo meluap. Tangan kanan Prasetyo yang awalnya sempat turun, dengan cepat menam.par pipi kiri Dewi hingga wanita itu berakhir terbanting.
Alif yang menyaksikan semata-mata kejadian tersebut langsung histeris. Alif lari keluar dari kamar mencari pertolongan.
“T—tolong! Tolong mamaku dipu.kuli sama papa!” Alif meraung-raung, tapi bocah itu sadar, dirinya tidak bisa menolong mamanya secara langsung. Alif dan mamanya butuh pertolongan orang dewasa. Orang yang lebih kuat.
Kepanikan langsung menimpa pak Mahmud maupun ibu Aminah. Keduanya berbondong-bondong memastikan TKP. Ibu Aminah yang awalnya menggandeng Alif, tak jadi membawanya masuk ke kamar Dewi berada. Sebab di sana, Dewi yang meringkuk di lantai tengah ditenda.ngi dengan bru.tal oleh Prasetyo. Ibu Aminah tidak mau Alif yang masih sangat kecil, menyaksikan kekera.san yang dialami mamanya. Bahkan meski sebelumnya Alif sudah pernah menyaksikannya atau malah merasakannya secara langsung ibu Aminah tidak mau menambah beban mental Alif.
Ibu Aminah nekat mengemban Alif. Ia melangkah buru-buru membawanya keluar. Karena jika melihat fisik suaminya, ia takut suaminya justru diamu.k juga oleh Prasetyo.
“T—tolong! Tolong ada yang buat onar!” teriak ibu Aminah.
Karena mas Abdul Khodir ada di sana bersama dua orang pria yang awalnya sedang nongkrong sambil ngopi, ketiganya lah yang diboyong ibu Aminah.
“Masa iya, si Pras yang ngamuk?” pikir mas Abdul Khodir masih menerka-nerka. Ia mencoba mencerna membuat onar yang ibu Aminah maksud, sementara ia tahu betul, di sana ada Prasetyo yang sedang ia buntuti.
Lelah sekaligus muak, Dewi yang babak belur sengaja menggunakan kedua tangannya untuk menahan kaki kanan Prasetyo. Kemudian ia mengerahkan seluruh tenaganya untuk menarik kaki itu sekuat tenaga. Seperti yang ia harapkan, Prasetyo berakhir terbantin.g dengan keadaan berbaring.
Selanjutnya, yang Dewi lakukan di tengah keadaan rambut panjangnya yang tergerai ialah menendang alat vi.tal suaminya sekuat tenaga dan itu beberapa kali. Dewi meluapkan semua emosinya pada anggota tubuh dan ia tahu menjadi kelemahan fatal suaminya.
Tersedu-sedu Demi menyudahi ulahnya sembari memandangi Prasetyo yang kesakitan parah. Bukan itu yang ia mau, tapi keadaan memaksanya untuk melakukan tindakan nyata. Orang seperti suaminya yang memang sangat tempramental, memang wajib diberi pelajaran.
“Jadi laki-laki, jadi suami bahkan papa, ... tangan dan kaki kamu seringan itu, Mas!” ucap Dewi tersedu-sedu.
Sebenarnya Dewi tidak ingin menangis, tapi luka hati sekaligus mental yang selama lima tahun ia tahan, telanjur meledak.
“Kita lihat apa yang terjadi pada kamu dan keluargamu tanpa aku. Kalian akan hancur!” tegas Dewi.
“Didikanmu kepada mereka yang membiasakan mereka menjadi benalu, akan menghancurkan kalian!”
“Memangnya kalian pikir, ada yang mau terus-menerus diperbu.dak, lalu dihaja.r setiap saat?!”
“POKOKNYA AKU MAU CERAI! KALAU KAMU TETAP ENGGAK MAU MENGURUSNYA, BIAR AKU YANG MENGGUGAT SEKALIGUS MENCERAIKAN KAMU!” tegas Dewi menggebu-gebu.
Pak Mahmud yang ada di sana memang sengaja membiarkan Dewi menga.muk Prasetyo. Tak sedikit pun ada niatan darinya meminta keduanya menyelesaikan masalah yang ada dengan baik-baik. Apalagi ia tahu betul, Prasetyo sudah sangat keterlaluan. Prasetyo pantas mendapatkannya dan bila perlu lebih.
Kedatangan tiga pria yang diboyong ibu Aminah, memang tidak berguna. Sebab kemarahan Dewi yang muak pada Prasetyo membuat wanita itu bisa meluapkan emosinya sesuai ekspetasi.
“Ya sudah ... ya sudah, tolong amankan orang ini. Dia yang sudah bikin onar!” sergah ibu Aminah.
Mas Abdul Khodir yang sudah kenal Prasetyo meski tidak begitu banyak, jadi penasaran dengan alasan Prasetyo membuat onar di sana. Ditambah lagi, Dewi yang menangis dan penampilannya berantakan, bibirnya sampai pecah berdarah. Mas Abdul Khodir yakin, Dewi sudah diamuk Prasetyo. Kemudian, tatapannya tertuju pada Alif yang ketakutan dan buru-buru lari ke Dewi.
“Mama ... Mama, Papa jahat. Mama sakit, ya?” tangis Alif.
“Mama, ... Papa? Dia istrinya Prasetyo yang dicurigai ada main dengan mbak Retno? Mereka sudah punya anak bahkan ada yang masih bayi merah?” pikir mas Abdul Khodir.
Miris, itulah yang mas Abdul Khodir rasakan pada Dewi dan anak-anaknya. Ia menatap iba ketiga ya silih berganti karena ia pernah merasakan apa yang Alif rasakan.
“Gara-gara pengaruh mbak Retno, papa juga jadi kasar seperti si Pras ini. Aku dan mama jadi sering diam.uk. Aku jadi curiga, jangan-jangan si mbak Retno ada main guna-guna. Soalnya, masa iya pengaruhnya sedahsyat itu!” batin mas Abdul Khodir.
“Aaarrrrggghhhh! Apaan, sih?! Lepas! Awas kalian! Bajing.an ya kalian! Bang.sat! Hobi banget ikut campur urusan orang!” marah Prasetyo meledak-ledak sambil bergegas pergi dari sana.
Bukan hanya rasa sakit di alat vita.lnya yang susah payah Prasetyo tahan. Karena ia juga pergi dari sana sambil menahan malu. Bagaimana tidak? Tadi, Dewi berani mengam.uk bahkan mengha.jarnya disaksikan pak Mahmud, sebelum akhirnya rombongan ibu Aminah datang.
Prasetyo memang pergi tanpa kejelasan. Namun niat Dewi untuk bercerai dari pria itu sudah sangat bulat!
Di lain sisi, mas Abdul Khodir juga segera kembali membuntuti Prasetyo. kebetulan, Prasetyo kembali datang ke rumah ibu Retno!
“Ya Allah, aku ikhlas jika Engkau memberi azab ke papa anak-anakku. Aku sudah tidak akan mendoakan untuk kebaikannya lagi.”
“Karena memang sudah semestinya, azab menjadi balasan untuk mereka-mereka yang zalim. Mas Prasetyo pantas mendapat balasan karena dia sudah zalim ke istri dan anak-anaknya!”
“Termasuk juga untuk keluarganya yang benalu. Semoga mereka juga dapat teguran, agar hidup mereka jauh lebih berguna!”
Itulah yang Dewi doakan di tengah kesibukannya mengurus kedua anaknya. Di tempat berbeda, seolah Allah langsung mengabulkan jerit hati Dewi dan anak-anaknya, mas Abdul Khodir sungguh akan mengabulkannya.
Mas Abdul Khodir sengaja menekan bel, dan langsung mengamankan mbok Sipon dibantu oleh warga.
ntar juga terusir dari kontrakan krna ga sanggup bayar🤣🤣🤣
knp g langsung nikah aja pak bozzzzzzz....
gasss thorrr
Skrang ribet ruwet ngk semudah dlu