Mendapati keponakannya yang bernama Sisi divonis leukemia dan butuh donor sumsum tulang, Vani membulatkan tekad membawanya ke Jakarta untuk mencari ayah kandungnya.
Rani, ibu Sisi itu meninggal karena depresi, tanpa memberitahu siapa ayah dari anak itu.
Vani bekerja di tempat mantan majikan Rani untuk menguak siapa ayah kandung Sisi.
Dilan, anak majikannya itu diduga Vani sebagai ayah kandung Sisi. Dia menemukan foto pria itu dibuku diary Rani. Benarkah Dilan adalah ayah kandung Sisi? Ataukah orang lain karena ada 3 pria yang tinggal dirumah itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yutantia 10, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
APA ANDA TAHU SESUATU?
Damian masih terus kepikiran tentang Vani. Apakah wanita itu ada hubungan dengan Rani, karena wajah mereka sangat mirip. Rani pernah cerita jika dia punya adik, tapi lupa siapa namanya. Mungkinkah jika Vani adalah adik Rani? Tapi kalaupun Vani adalah adik Rani, mana mungkin dia mau bekerja disini.
Setelah pusing memikirkan berbagai kemungkinan dan tak menemukan jawaban yang pasti, dia memilih turun kebawah. Tujuannya tidak lain tidak bukan adalah ingin bertemu Vani, dia masih sangat penasaran dengan gadis itu.
Damian menuruni tangga dengan cepat, belum pernah dia sesemangat ini saat hendak bertemu dengan seseorang.
Brukkk
Damian kaget saat menabrak seseorang ketika hendak masuk kedapur.
"Aduh..." Pekik Sisi bersamaan dengan tubuh kurusnya yang jatuh kelantai. Pantatnya terasa sakit karena jatuh dengan posisi pantat lebih dulu.
Bukannya langsung menolong, Damian malah bengong. Seminggu tak pulang, banyak sekali orang baru dirumahnya.
Mendengar teriakan Sisi, Vani yang ada didapur langsung menghampirinya.
"Astaga, Sisi." Vani langsung berjongkok untuk membantu Sisi bangun. Melihat darah mengalir dari hidung bocah itu, Vani langsung panik, mengusapnya dengan telapak tangan.
Damian ikut panik melihat bocah yang dia tabrak sampai mimisan. Digendongnya bocah itu menuju kursi dapur lalu mengambil tisu untuk membersihkannya.
Sisi diam saja sambil menunduk saat Damian membersihkan darah dihidungnya. Akhir-akhir ini dia sering mimisan, tapi kata Bibinya, tak apa-apa, jadi dia tak takut dan tak nangis lagi seperti saat pertama kali mimisan.
Vani bergeming melihat Damian yang begitu peduli. Benarkah pria seperti ini disebut berandalan?
"Maafin Om ya, Om gak lihat kamu. Ada yang sakit gak?"
Sisi menggeleng, "Tidak, Tuan."
"Tuan?" Damian mengerutkan kening.
Sisi menatap bibinya yang berdiri disebelahnya. Melihat bibinya mengangguk sambil mengacungkan jempol, dia langsung tersenyum karena merasa tak salah panggil.
Melihat Sisi dan Vani yang saling berpandangan dan seperti berkomunikasi dengan bahasa isyarat, Damian jadi menarik kesimpulan. "Dia anak lo?" tanyanya pada Vani.
"Di_"
"Astaga," Damian menutup mulutnya dengan telapak tangan. "Jadi lo udah punya anak? Umur berapa nikah, anaknya udah gede aja?" Dia pikir Vani berusia dibawahnya.
"Ini Bibi aku, Tuan." Ujar Sisi sambil memegang tangan Vani. "Bukan ibuku."
"Oh..." Damian manggut-manggut.
"Sisi," Vani menunduk untuk menyamakan tinggi dengan Sisi yang sedang duduk. "Udah siang, Sisi juga udah makan, udah minum obat. Sekarang waktunya Sisi bobok." Bocah kecil penurut itu langsung mengangguk lalu pergi menuju kamar.
Damian duduk dikursi yang tadi ditempati Sisi. Menatap Vani dari atas kebawah, lalu kembali lagi keatas. Menelisik wajah yang sangat mirip dengan Rani.
"Ke, kenapa anda melihat saya seperti itu?" Vani merasa canggung. Jadi teringat kembali kejadian tadi.
"Lo tadi lihat sesuatu gak?"
"Se-suatu? A-pa?"
"Ya, sesuatu." Damian bingung menjelaskannya. "Pokoknya sesuatu."
"Ti-dak." Vani mulai gemetaran. Takut ada barang hilang dikamar Damian, dan dia yang dituduh.
"Yakin tidak melihat?"
Vani menggeleng cepat. "Saya tidak mengambil apapun dikamar anda. Saya berani bersumpah." Vani mengangkat jarinya membentuk huruf V.
Damian garuk-garuk tengkuknya yang tidak gatal. "Bukan mengambil barang, tapi melihat barang."
"Barang apa?"
"Barang gue," Damian menunjuk kearah miliknya. Reflek Vani membuang pandangan kearah lain karena malu. "Lo lihat gak tadi? Gue yakin lo lihat."
Astaga, apa hal itu masih harus dibahas.
"Itu tadi belum kokoh maksimal, masih bisa lebih besar lagi. Jadi jangan buru-buru menarik kesimpulan kakau punyaku kecil." Damian yang bercerita, tapi Vani yang malu. Wajahnya sampai merah padam. "Harusnya lo tanggung jawab."
"Tanggung jawab!" pekik Vani. Reflek dia kembali menatap keadah Damian. "Ta-tanggung jawab gimana?"
"Nikah sama gue."
Mata Vani langsung melotot dan mulutnya menganga lebar.
"Besyanda, besyanda." Damian tertawa ngakak sambil menepuk nepuk meja didepannya. "Lucu banget sih ekspresi lo. Sumpah, gue gak bisa nahan ketawa." Pria itu masih terus tertawa sambil memegangi perut.
Vani membuang nafas kesal. Kalau aja bukan majikannya, udah pasti dia maki.
"Gara-gara lo gue ngakak, dan sekarang gue lapar." Damian mengusap perutnya. "Cepet siapin makanan."
"Sebagian belum mateng, saya lanjutin dulu masaknya."
"Seadanya saja, gue udah keburu lapar."
Vani mengangguk lalu memindahkan sup merah merah yang ada didalam panci kedalam mangkuk. Menyusun beberapa potong ayam goreng keatas piring saji. Setelah itu membawanya ke meja makan.
"Mau dibawa kemana?" tanya Damian saat melihat Vani hendak membawa makanan keluar dapur.
"Meja makan."
Damian menggeleng, "Gue lebih suka makan didapur, bawa sini." Akhirnya Vani membawa makanan tersebut kemeja yang ada didepan Damian. "Nasinya biae gue ambil sendiri, lo lanjut aja masak." Damian beranjak dari duduknya untuk mengambil nasi, sedang Vani lanjut menggoreng tempe yang tadi sempat tertunda.
Sambil makan, Damian terus menatap Vani. Haruskah dia menanyakan langsung pada Vani, tentang apa yang dia pikirkan, yaitu kemungkinan jika Vani adalah adik Rani.
"Lo berasal dari mana?" tanya Damian.
"Dari Bandung."
"Tapi kok logat lo gak mirip orang bandung?" Damian mengerutkan kening. Dia punya banyak teman anak Bandung, jadi tahu seperti apa logat bicara mereka.
"Sa-saya pindah, ikut orang tua merantau."
"Kemana?" Vani merasa jika Damian sedang menginterogasinya. Mungkinkah Damian tahu jika dia adik Rani? Apa mungkin jika Damian adalah ayah Sisi? Tapi 7 tahun yang lalu, Damian masih kecil. Sekarang saja dia masih kuliah, 7 tahun yang lalu, kalau tidak SMP, pasti masih baru SMA. Mungkinkah anak seusia itu sudah berani melakukan tindak asusila?
"Ke Lampung."
"Ngomong lo juga gak kayak orang Lampung?"
Vani berdecak pelan sambil memejamkan mata. Tak menyangka jika Damian akan tanya sedetail ini. "Orang tua saya merantau, jadi hidupnya berpindah-pindah. Maklum orang miskin, jadi pindah kemana aja asal ekonomi tetep bisa jalan."
"Terus keponakan lo, kenapa ikut lo kerja, kenapa tak ikut orang tuanya?"
"Orang tuanya sudah meninggal."
"Meninggal? Dua-duanya?"
"Iya."
Tak ada obrolan lagi setelah itu, sampai Vani selesai menggoreng tempe dan meletakkan didepan Damian.
"Kamu tahu gak, wajah kamu mirip banget sama seseorang."
"Siapa? Rani?" tebak Vani.
"Da-darimana kamu tahu?" Damian tampak terkejut.
"Tuan Dilan sudah cerita. Katanya, saya mirip Rani, mantan kekasihnya."
"Kasihan Kak Dilan," Damian tersenyum getir.
Vani tiba-tiba teringat sesuatu. Saat Rani pergi, Dilan ada di US, jadi pria itu tak tahu apa-apa, tapi Damian, dia yakin pria itu tahu sesuatu. Ya, kunci jawabannya ada pada pria itu, Damian. Entah pria itu yang menghamili Rani atau bukan, Vani yakin, Damian tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Rani.
"Kata Tuan Dilan, kekasihnya tiba-tiba pergi tanpa mengatakan sesuatu terlebih dulu padanya. Padahal mereka saling mencintai. Ini sangat janggal. Tak mungkin Rani pergi begitu saja meninggalkan orang yang dia cintai. Pasti telah terjadi sesuatu padanya." Vani bisa melihat tangan Damian mulai gemetaran. Tak hanya itu, wajah pria itu juga berubah pias. "Apa anda tahu, apa yang sebenarnya terjadi pada Rani sebelum dia meninggalkan rumah ini?"
"A-aku tidak tahu." Damian melanjutkan makan sambil menunduk. Dia tampak gelisah. Belum habis makanan dipiringnya, dia pergi begitu saja. Vani semakin yakin, Damian tahu sesuatu.
mereka hrs menuai apa yg mereka tanam
tanpa tau kejelasan yg sesungguhnya ny.
kasihan Rani jd depresi gara2 ulah Ret o.
bersiap lah. karma menantiu Retno
kang Dilan..
Retno... apa yg kau tanam itu lah yg kau tuai
hanya Autor lah yg tau..
di biarin takot kena salahin di tolong takot si Dilan nyari kesempatan