NovelToon NovelToon
Hasrat Sang Kapten

Hasrat Sang Kapten

Status: tamat
Genre:Tamat / One Night Stand / Cinta Terlarang / Cinta Seiring Waktu / Trauma masa lalu / Office Romance / Slice of Life
Popularitas:15.3k
Nilai: 5
Nama Author: DityaR

Enam tahun silam, dunia Tama hancur berkeping-keping akibat patah hati oleh cinta pertamanya. Sejak itu, Tama hidup dalam penyesalan dan tak ingin lagi mengenal cinta.

Ketika ia mulai terbiasa dengan rasa sakit itu, takdir mempertemukannya dengan seorang wanita yang membuatnya kembali hidup. Tetapi Tama tetap tidak menginginkan adanya cinta di antara mereka.

Jika hubungan satu malam mereka terus terjadi sepanjang waktu, akankah ia siap untuk kembali merasakan cinta dan menghadapi trauma masa lalu yang masih mengusik hidupnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Di Balik Gorden

Lift sampai di lantai bawah, dan kita berdua bergerak ke pintu di saat yang bersamaan. Tangannya menyentuh punggung bawah gue.  

Gue pernah suka sama cowok-cowok sebelumnya, bahkan pernah jatuh cinta, tapi enggak ada yang pernah bisa bikin gue bereaksi kayak sentuhannya.

Sentuhan itu bikin gue kesetrum. 

Begitu kita keluar dari lift, tangannya lepas dari punggung gue.

Kapten enggak ada di tempat biasanya. Tapi kita enggak kaget, karena sekarang baru jam 12 siang. Dia takut sama siang hari. Mungkin itu sebabnya kita cocok.

"Lo mau jalan kaki?" tanya Tama.

Gue bilang iya, meskipun di luar dingin habis hujan. Gue lebih suka jalan kaki, lagi pula apartemen kita dekat dengan pusat pertokoan. Gue kasih saran toko yang gue lewati beberapa minggu lalu yang jaraknya cuma dua blok dari sini.

"Duluan," katanya, sambil buka pintu buat gue. 

Gue keluar dan merapatkan jaket. 

Gue ragu Tama tipe cowok yang suka pegangan tangan di tempat umum, jadi gue enggak terlalu berpikir buat menyediakan tangan gue buat dia. Gue peluk diri sendiri, dan kita mulai jalan berdampingan.

Kita kebanyakan diam sepanjang jalan, tapi gue enggak masalah. Gue bukan tipe orang yang harus ngomong terus-menerus, dan gue mulai sadar kalau dia mungkin juga sama.

"Toko yang kita cari di situ," kata gue sambil tunjuk ke kanan pas kita sampai di zebra cross. 

Gue lihat ke bawah, ada pria tua duduk di trotoar, terbungkus hoodie tipis yang sudah compang-camping. Matanya tertutup, dan sarung di badannya yang gemetaran sedikit basah penuh lubang.

Gue selalu simpati sama orang yang enggak punya apa-apa dan enggak ada tempat untuk berlindung.

Amio benci kalau gue kasih mereka uang atau makanan.

Dia bilang kebanyakan dari mereka jadi gembel karena kecanduan judi, dan kalau gue kasih mereka uang, itu cuma bikin kecanduan mereka makin parah.

Jujur saja, gue enggak peduli kalau memang begitu. Mungkin karena gue perawat, tapi gue enggak percaya kalau kecanduan judi itu pilihan mereka. Kecanduan itu penyakit, dan sakit hati gue lihatnya kalau mereka harus dipaksa hidup seperti ini karena enggak bisa menolong diri mereka sendiri.

Gue bakal kasih dia uang kalau gue bawa dompet.

Gue sadar gue berhenti jalan pas gue lihat Tama melirik ke arah gue. Dia lihat gue yang lagi memperhatikan pria tua itu, jadi gue langsung jalan lagi dan menyusul dia.

Gue enggak bilang apa-apa buat menjelaskan ekspresi galau di wajah gue. Enggak ada gunanya. Gue sering mengalami hal ini sama Amio, jadi gue enggak bisa mengubah semua pendapat yang gue enggak setuju.

"Ini dia," kata gue berhenti di depan toko.

Tama berhenti dan lihat pajangan di jendela toko. "Lo suka yang itu?" tanyanya sambil menunjuk ke jendela. Gue melangkah lebih dekat dan lihat bareng dia. Itu gorden buat kamar tidur, tapi ada sesuatu yang dia lihat juga. Karpet abu-abu dengan beberapa bentuk geometris bernuansa biru dan hitam. Mungkin itu seleranya.

Gordennya enggak berwarna navy, tapi abu-abu, dengan satu garis putih solid yang turun vertikal di sisinya.

"Gue suka," jawab gue.

Dia berdiri di depan gue dan buka pintu kaca biar gue masuk lebih dulu. 

Seorang pramuniaga jalan ke arah kita sebelum pintu di belakang kita sepenuhnya menutup. Dia tanya apakah dia bisa bantu buat mencari sesuatu. Tama langsung menunjuk. "Gue mau gorden itu. Empat. Dan karpetnya."

Pramuniaga itu senyum dan kasih isyarat untuk mengikutinya. "Lebar dan tingginya berapa?"

Tama keluarkan HP dan menyebutkan ukuran yang dia catat ke pramuniaga. Dia bantu Tama pilih batang gorden, lalu bilang kalau dia bakal butuh beberapa menit.

Dia pergi ke belakang dan meninggalkan kita berdua di kasir. Gue lihat-lihat sekitar, tiba-tiba gue kepingin juga buat pilih dekorasi tempat gue sendiri. 

Gue berencana buat tinggal sama Amio beberapa bulan lagi, tapi enggak ada salahnya kalau gue pingin punya design ruangan sendiri kalau akhirnya gue pindah nanti. Gue harap belanjanya bakal semudah yang Tama lakukan hari ini.

"Gue belum pernah lihat ada orang belanja secepat ini," kata gue.

"Trus, kecewa?"

Gue langsung geleng kepala. 

Ada satu hal yang gue enggak jago sebagai cewek, yaitu belanja. Gue malah lega karena dia cuma butuh waktu sebentar.

"Lo pikir gue harus lebih lama lagi, atau harus gue lihat semua stok yang ada di toko ini?" tanyanya. 

Sekarang dia bersandar di meja kasir, sambil lihat gue. Gue suka cara dia lihat gue—kayak gue adalah hal paling menarik di toko ini.

"Kalau lo udah suka sama yang lo pilih, enggak perlu nyari-nyari lagi. Kalau udah cocok, ya udah."

Gue tatap balik matanya, dan begitu gue melakukan itu, mulut gue langsung kering. Dia lagi konsentrasi menatap gue, dan ekspresi serius di wajahnya bikin gue merasa enggak nyaman, gugup, dan semuanya terjadi sekaligus. Dia dorong tubuhnya dari kasir dan ambil satu langkah ke arah gue.

"Sini," katanya. 

Jarinya turun dan menggenggam tangan gue, lalu dia mulai tarik gue di belakangnya.

Jantung gue berdebar-debar enggak karuan. 

Sungguh aneh.

Ini cuma jari, Tia. 

Jangan sampai lo terbawa perasaan kayak begini.

Dia terus jalan bawa gue sampai kita di bagian sudut toko ini.

"Ngapain lo?" tanya gue.

Dia balik badan dan menghadap gue, masih pegangan tangan. Dia senyum dan melangkah ke balik kain-kain gorden yang menggantung.

Gue enggak bisa tahan ketawa, soalnya ini terasa kayak kita lagi di SMA, sembunyi dari guru.

Jarinya menyentuh bibir gue. "Sstt," bisiknya, sambil senyum fokus ke arah mulut gue.

Gue langsung berhenti ketawa, bukan karena gue enggak merasa ini lucu lagi. Gue berhenti ketawa karena begitu jarinya menyentuh bibir gue, gue lupa bagaimana caranya ketawa.

Gue lupa semuanya.

Sekarang, satu-satunya hal yang bisa gue fokuskan adalah jarinya yang meluncur pelan di bibir dan dagu gue. Matanya mengikuti ujung jarinya yang terus bergerak, mengelus lembut leher gue, turun, turun, terus ke dada, turun lagi ke perut gue.

Jari itu rasanya menyentuh gue dengan sensasi seribu tangan. Paru-paru gue dan ketidakmampuannya buat tetap tenang adalah hasil dari semua itu.

Matanya masih fokus pada jarinya yang berhenti di bagian atas jeans gue, tepat di atas kancingnya.

Sekarang, seluruh tangannya melacak perut gue dan akhirnya sampai ke pinggang gue. Kedua tangannya mencengkeram pinggul gue dan tarik gue maju, tarik gue ke badannya.

Matanya sempat tertutup sebentar, dan ketika dia terbuka lagi, dia enggak lagi melihat ke bawah. 

Dia tatap mata langsung ke gue.

"Gue udah pingin cium lo sejak lo masuk ke pintu apartemen gue tadi," katanya.

Pengakuannya bikin gue senyum. "Lo punya tingkat kesabaran yang luar biasa."

Tangan kanannya meninggalkan pinggul gue, dan dia urai rambut gue, menyentuhnya sehalus mungkin.

Dia mulai geleng kepala pelan-pelan, enggak setuju. "Kalau gue punya kesabaran yang luar biasa, lo enggak bakal ada di balik gorden kayak gini sama gue sekarang."

Gue meresapi kalimat itu dan langsung mencoba memahami maksudnya, tapi begitu bibirnya menyentuh bibir gue, gue enggak lagi peduli sama kata-kata yang keluar dari mulutnya. 

Gue cuma peduli sama bibirnya dan bagaimana rasanya pas menyatu dengan bibir gue.

1
nuna
menarik,,,
nuna
/Cry/
nuna
/Sob/
Happy Family
selesai bacanya,selama 6 jam aku baca,nyambil² masak.. itu ini.... Terima Kasih 🫰🏻... Sedih Ceritanya. Tidak berteler tele.. aku suka. /Sob/
putri cobain 347
aihhhh, keren kak ceritanya
Happy Family
cantik pemandangannya... indah banget... mentari menyinar bagai disebalik kapas putih...
nuna
/Sob//Sob//Sob//Sob/
Usfa
Bgus,
Usfa
Trauma emg gak bkal bsa hilang /Cry/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!