Tiara, seorang gadis muda berusia 22 tahun, anak pertama dari lima bersaudara. Ia dibesarkan di keluarga yang hidup serba kekurangan, dimana ayahnya bekerja sebagai tukang parkir di sebuah minimarket, dan ibunya sebagai buruh cuci pakaian.
Sebagai anak sulung, Tiara merasa bertanggung jawab untuk membantu keluarganya. Berbekal info yang ia dapat dari salah seorang tetangga bernama pa samsul seorang satpam yang bekerja di club malam , tiara akhirnya mencoba mencari penghasilan di tempat tersebut . Akhirnya tiara diterima kerja sebagai pemandu karaoke di klub malam teraebut . Setiap malam, ia bernyanyi untuk menghibur tamu-tamu yang datang, namun jauh di lubuk hatinya, Tiara memiliki impian besar untuk menjadi seorang penyanyi terkenal yang bisa membanggakan keluarga dan keluar dari lingkaran kemiskinan.
Akankah Tiara mampu menggapai impiannya menjadi penyanyi terkenal ? Mampukah ia membuktikan bahwa mimpi-mimpi besar bisa lahir dari tempat yang paling sederhana ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Titik.tiga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 17 : lanjutan
Tiara masih terguncang di sofa, nafasnya terengah-engah, dan tubuhnya terasa seperti tidak bisa bergerak. Pak Mike mendekatinya lagi, kali ini dengan sebuah botol minuman keras di tangannya. Senyum liciknya tak pernah pudar dari wajahnya. "Santai saja, Tiara," katanya dengan nada rendah tapi mengancam. "Minum ini. Kau akan merasa lebih baik."
Tiara menggelengkan kepalanya lemah, tapi Pak Mike memaksa botol itu ke bibirnya. Cairan pahit itu mengalir ke tenggorokannya, membuatnya tersedak pada awalnya, tapi kemudian paksaannya menjadi lebih kuat. Minuman keras itu mulai memenuhi pikirannya yang kabur, membuat penglihatannya buram dan dunia di sekelilingnya berputar semakin cepat. Setiap kali ia mencoba untuk menolak, Pak Mike semakin kasar.
"Ayo, minum lebih banyak!" perintah Pak Mike dengan suara penuh tekanan. Fajar dan dua pria lainnya berdiri di belakang, tertawa geli melihat Tiara yang semakin lemah.
Tiara merasa tubuhnya semakin tak terkendali. Minuman itu membuat kepalanya berputar, dan pikirannya mulai tumpul. Dengan setiap tegukan, tubuhnya semakin kehilangan kendali, dan ia hanya bisa menatap dengan tatapan kosong ke arah Pak Mike yang kini mendekatinya lebih dekat.
Tanpa banyak bicara, Pak Mike mulai melakukan tindakan bejatnya. Tiara berusaha melawan, tapi tubuhnya sudah terlalu lemah, terlalu kehilangan kekuatan. Tangannya yang gemetar mencoba menepis, tapi sia-sia. Fajar dan pria-pria lainnya hanya menunggu dengan sabar, menikmati setiap detik penderitaan Tiara.
Tangisan terisak mulai keluar dari mulut Tiara. Air matanya jatuh tanpa henti, tapi ia tahu tidak ada yang akan datang untuk menolongnya. Lututnya bergetar hebat, seperti tidak lagi mampu menopang berat tubuhnya. Rasanya tulang-tulangnya seakan rontok, setiap gerakan kecil pun terasa begitu menyakitkan. Tiara hanya bisa pasrah, tak mampu melawan.
Satu per satu, mereka bergantian menyiksa Tiara, memperlakukan tubuhnya seolah tidak ada artinya. Setiap detik terasa seperti neraka yang tak berujung. Tiara ingin berteriak, ingin melarikan diri, tapi tubuhnya lumpuh dalam keputusasaan. Jeritannya teredam oleh kepahitan mabuk yang terus mencekiknya dari dalam. Ia merasa tenggelam dalam kegelapan, di tengah-tengah kebejatan yang tidak bisa ia hentikan.
Setelah apa yang terasa seperti seabad, mereka akhirnya berhenti. Pak Mike menarik nafas panjang, seolah puas dengan tindakan kejinya. “Kau tahu, Tiara,” katanya sambil membungkuk ke arah Tiara yang tergeletak tak berdaya di sofa. “Semua ini bisa berakhir. Kau hanya perlu mengembalikan empat karyawanku, terutama Mayang. Dia primadona di klubku. Kau bawa dia pergi, dan lihat sekarang, bisnis karaoke-ku hampir bangkrut.”
Tiara hanya bisa menangis. Air matanya jatuh tanpa henti, tapi kata-kata tak bisa keluar dari bibirnya. Ia merasa hancur. Kepalanya terasa berat, tubuhnya terasa seperti boneka yang sudah rusak, wajahnya dipenuhi cairan surga beraroma pandan. Ancaman Pak Mike menggema di kepalanya, tapi ia tak mampu menjawab, bahkan tidak mampu berbicara. Pikirannya hanya dipenuhi oleh rasa sakit dan keputusasaan.
Pak Mike menatap Tiara dengan dingin, lalu berdiri tegak. “Kau punya waktu sampai akhir pekan ini, Tiara. Kembalikan Mayang dan yang lainnya, atau aku akan datang lagi, dan kali ini, aku tidak akan sebaik ini.” Kata-kata itu keluar dengan dingin, seperti pisau yang menusuk dada Tiara. Ia tertawa kecil sebelum melangkah keluar dari ruangan, diikuti oleh Fajar dan pria-pria lainnya.
Tiara tergeletak di sana, sendirian di sofa panjang itu. Tubuhnya menggigil, bukan hanya karena dingin, tetapi karena ketakutan dan trauma yang baru saja ia alami. Suasana di ruangan itu begitu sepi, hanya terdengar suara isak tangisnya yang pecah di antara keheningan. Fikiran Tiara kacau balau. Ia memikirkan Putri yang masih terikat di lantai bawah, memikirkan ibunya, memikirkan mimpi audisinya yang kini terasa begitu jauh dari jangkauan.
Ia menatap langit-langit dengan tatapan hampa, perasaannya hancur. Tiara tahu, tidak ada jalan keluar yang mudah dari semua ini. Dengan ancaman Pak Mike yang tergantung di atas kepalanya, ia merasa terjebak dalam situasi yang tidak bisa ia kendalikan. Setiap tarikan nafas terasa berat, setiap detik terasa menyakitkan.
Tangisnya semakin menjadi. Ia menangis bukan hanya karena rasa sakit fisik yang ia alami, tetapi juga karena beban mental yang menimpanya. Audisi yang mereka tunggu-tunggu kini terasa seperti bayangan samar di kejauhan, impian yang hampir tidak mungkin tercapai. Dan di tengah semua itu, ancaman Pak Mike terus terngiang di kepalanya, mengingatkan bahwa ini belum berakhir.
Tubuh Tiara terkulai lemah di atas sofa panjang. Meskipun otot-ototnya terasa hancur, tulang-tulangnya seolah tak lagi bisa menopang dirinya, ia tahu bahwa ia harus bergerak. Dengan segala sisa tenaga yang masih ia miliki, Tiara berusaha merangkak keluar dari ruangan itu. Tangannya gemetar saat ia mencoba menahan tubuhnya dari lantai yang dingin. Setiap tarikan nafas terasa seperti beban, tapi ia tahu, ia tak bisa diam saja. Ia harus mencoba melarikan diri.
Saat Tiara berusaha maju dengan perlahan, suara jeritan tiba-tiba terdengar dari bawah. Suara itu tajam dan menyayat hati, penuh kepanikan. Tiara berhenti, tubuhnya bergetar saat ia mengenali suara itu—Putri. Jeritan Putri terdengar lagi, kali ini lebih keras, lebih histeris. Teriakan "tolong" yang terpatah-patah terdengar jelas, memenuhi udara, membuat Tiara membeku di tempat.
Dengan sisa tenaga yang hampir habis, Tiara menyeret tubuhnya ke arah pinggir ruangan, matanya menyipit melihat ke bawah melalui celah kecil di tangga. Di sana, pemandangan yang membuat hatinya hancur terbentang di depan matanya—Putri, sahabatnya, sedang diperlakukan dengan cara yang sama seperti yang ia alami sebelumnya. Enam pria, anak buah Pak Mike, memperlakukan Putri dengan begitu kasar, seperti boneka tak bernyawa yang mereka permainkan sesuka hati.
Tangisan Tiara pecah lagi. Ia mencoba menggapai tangga, berusaha keras untuk bangkit dan menolong Putri, tapi tubuhnya menolak untuk bekerja sama. Otot-ototnya lemah, setiap gerakan kecil membuat tubuhnya bergetar hebat. Ia hanya bisa menatap tak berdaya, menyaksikan Putri dipaksa menjalani mimpi buruk yang sama, hanya kali ini terasa lebih lama, lebih brutal.
Putri berteriak lagi, kali ini jeritannya terdengar sangat menyakitkan. Tiba-tiba, tubuhnya mulai bergetar hebat, kejang-kejang. Pemandangan itu membuat Tiara terisak-isak semakin keras. Ia hanya bisa menyaksikan dari kejauhan saat Putri terus diperlakukan dengan kejam, tubuhnya bergetar tak terkendali di bawah tangan-tangan mereka yang menjijikkan.
Waktu terasa berjalan lambat. Detik demi detik berlalu, seakan dunia ini berhenti di tengah penderitaan yang dialami Putri. Tiara tahu, Putri sedang mengalami sesuatu yang jauh lebih buruk dari apa yang ia alami. Putri berjuang, tapi kekuatan tubuhnya sudah tidak mampu melawan lagi.
Setelah apa yang terasa seperti selamanya, mereka akhirnya berhenti. Anak buah Pak Mike berdiri dari tubuh Putri, wajah mereka penuh dengan kepuasan keji. Mereka tertawa dan melangkah keluar, meninggalkan Putri yang tergeletak tak berdaya di lantai. Tubuh Putri terkulai, matanya terbuka lebar tapi tanpa ekspresi. Tiara terdiam, ketakutan merayapi tubuhnya. Ia bisa melihat dari kejauhan bahwa Putri tidak bergerak.
"Putri..." bisik Tiara lemah, tapi suaranya tenggelam dalam kepanikan. Ia ingin berteriak lebih keras, tapi tenggorokannya tercekat oleh rasa takut dan rasa bersalah. Putri tidak memberikan reaksi apa pun, tidak ada gerakan, tidak ada tanggapan.
Dengan air mata yang terus mengalir di pipinya, Tiara berusaha untuk merangkak mendekati Putri, tapi tubuhnya masih terlalu lemah. Setiap kali ia mencoba untuk bangkit, lututnya bergetar hebat dan membuatnya kembali jatuh ke lantai. Tubuhnya tak mampu untuk bergerak lebih jauh, seolah seluruh kekuatannya telah lenyap.
Putri masih terbaring diam. Matanya melotot, menatap langit-langit dengan pandangan kosong, tanpa tanda kehidupan. Hanya ada keheningan yang menggantung di udara, membuat suasana semakin mencekam.
Tiara akhirnya menyerah, tubuhnya ambruk kembali ke lantai. Nafasnya tersengal-sengal, sementara pikirannya dipenuhi oleh ketakutan mendalam. Ia tak bisa berbuat apa-apa. Putri... sahabatnya... Ia hanya bisa berbaring di sana, merasakan tubuhnya menjadi semakin lemah, sementara malam itu menelan mereka dalam kegelapan.
Perlahan, ruangan itu kembali hening. Lampu redup dari ruangan di lantai dua semakin padam, meninggalkan mereka berdua terbaring dalam kegelapan yang pekat. Tiara menangis dalam diam, terlalu lemah untuk bergerak, sementara tubuhnya yang kelelahan tak lagi sanggup bertahan. Matanya perlahan menutup, rasa takut dan trauma menguasai pikirannya, hingga akhirnya ia terlelap dalam ketidakberdayaan, sama seperti Putri yang kini tak lagi bergerak.