Dinda, 24 tahun, baru saja mengalami patah hati karena gagal menikah. Kehadiran seorang murid yang bernama Chika, sedikit menguras pikirannya hingga dia bertemu dengan Papa Chika yang ternyata adalah seorang duda yang tidak percaya akan cinta, karena kepahitan kisah masa lalunya.
Akankah cinta hadir di antara dua hati yang pernah kecewa karena cinta? Mampukah Chika memberikan seorang pendamping untuk Papanya yang sangat dia sayangi itu?
Bila hujan tak mampu menghanyutkan cinta, bisakah derasnya menyampaikan rasa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi tan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chika Demam
Sepanjang hari ini Chika diam saja di kelas, tidak seperti hari-hari sebelumnya. Biasanya dia akan marah jikalau teman-temannya berbuat usil padanya, atau dia akan mencari gara-gara untuk mencari perhatian guru maupun teman-temannya.
Namun sepanjang hari ini, Chika hanya diam dan duduk di kelasnya, wajahnya nampak lesu.
Pada jam istirahat sekolah, Chika tidak keluar kelas, dia memilih duduk di kelasnya sendirian, tidak keluar kelas seperti teman-temannya lain, makan atau bermain di luar.
Dinda yang baru saja hendak beranjak ke ruang guru, menghentikan langkahnya, dia menoleh ke arah Chika yang masih duduk melamun di tempatnya.
Perlahan Dinda mendekati Chika, sekadar ingin menanyakan mengapa dia tidak bersikap seperti biasa nya.
"Chika tidak istirahat di luar kelas? Apa hari ini Chika tidak membawa bekal? Kalau Chika lapar, ikut Bu Dinda ke kantin yuk! kita makan sama-sama di sana!" ajak Dinda.
Chika tidak menjawab pertanyaan Dinda, dia hanya menggelengkan kepalanya lemah, beberapa saat kemudian dia menelungkupkan kepalanya itu di atas meja, bertopang dengan kedua tangannya.
Dinda lalu memegang tangan Chika dengan punggung tangannya, dia sedikit terkejut, saat di rasakannya ada hawa panas di tubuh Chika, rupanya anak ini sedang demam, pantas saja sepanjang hari ini dia tidak bergairah.
"Badanmu panas sekali Chika! Yuk ikut ibu ke UKS yuk!" ajak Dinda.
Chika menganggukkan kepalanya, kemudian dia berdiri dari tempatnya, Dinda lalu menuntun tangan Chika keluar dari kelasnya, dan langsung berjalan menuju ke UKS, yang ada di ujung lorong lantai itu.
"Nah, sekarang Chika baringan disitu, Bu Dinda akan mengompres Chika, setelah itu Chika istirahat di sini ya, nanti tidak usah ikut pelajaran di kelas, tunggu sampai jam pulang sekolah, sampai Chika dijemput!" ucap Dinda sambil membantu Chika untuk berbaring di ranjang ruang UKS itu.
"Terima kasih Bu Dinda!" ucap Chika. sekarang Chika ada kemajuan, dia lebih sering mengucapkan kata terima kasih.
Dinda tersenyum sambil menganggukkan kepalanya, kemudian dia segera mengambil kain dan membasahinya, untuk di kompres di dahi Chika, setelah itu Dinda menyelimuti tubuh Chika dengan selimut yang ada di ranjang itu.
"Bu Dinda ..."
"Ya?"
"Enak kali ya, kalau aku punya Mama, ada yang sayang, ada yang perhatian, ada yang bisa di peluk ..." ucap Chika.
Dinda terdiam mendengar ucapan Chika, di mata gadis kecil itu, ada kerinduan yang mendalam dengan sosok seorang ibu. Sama seperti dirinya dulu, yang sangat merindukan sosok seorang ayah.
"Ehm, dulu Bu Dinda juga pernah merasakan apa yang Chika rasakan, kalau sekarang Chika cuma punya Papa, tapi Papa Chika banyak uang, Chika tidak kekurangan, dulu Bu Dinda tidak punya Ayah, cuma punya Ibu yang kerjanya menerima jahitan, hidup kekurangan, tapi Bu Dinda belajar bersyukur!" ucap Dinda.
"Bu Dinda sudah punya pacar belum?" tanya Chika to the point.
Dinda sedikit terkejut mendengar pertanyaan dari Chika.
"Eh, kok Chika begitu tanyanya?" tanya Dinda sedikit keki.
"Kalau menurut Bu Dinda, Papaku ganteng tidak?" tanya Chika lagi.
'Mana ada singa ganteng!Yang ada nyebelin pake banget, sombong, kasar, arogan, dingin!' batin Dinda.
"Kok Bu Dinda diam saja sih? Papaku biar suka mabuk, tapi sebenarnya dia baik, kalau ada yang menyakitiku, dia pasti sangat marah dan berdiri paling depan!" ujar Chika.
"Chika, Ibu harus kembali mengajar di kelas, kau istirahat saja ya, nanti Ibu akan menyuruh Ibu kantin untuk membawakan makanan untukmu!" kata Dinda sedikit mengalihkan pembicaraan.
"Yah, Bu Dinda payah!" sungut Chika.
Dinda kemudian mulai meninggalkan ruang UKS itu, sebelum dia pergi ke kelasnya, dia pergi ke kantin yang ada di lantai bawah.
Dia meminta ibu kantin untuk membawakan makanan untuk Chika, yang sedang beristirahat di ruang UKS.
Setelah itu Dinda kembali naik ke atas, menuju ke kelasnya, untuk kembali mengajar karena jam istirahat sudah selesai.
****
Bel pulang sekolah telah berbunyi, terdengar suara riuh dan sorak sorai anak-anak yang terlihat berhamburan keluar kelas.
Ini adalah hari terakhir mereka belajar di sekolah, karena libur akhir semester dan tahun baru selama satu minggu.
Rapot akan di berikan pada bulan januari, seperti tradisi sekolah sebelumnya, jadi semua murid liburan dulu baru ambil rapot.
"Yeeeaaaay libur!!" seru beberapa orang guru senang.
"Bu Dinda liburan ini mau kemana?" tanya Bu Dita.
"Saya mau pulang ke Bandung Bu, Kasihan Ibu saya sendirian di sana!" jawab Dinda.
"Wah asiknya yang mau liburan ke Bandung, jangan lupa oleh-olehnya ya Bu!" ujar Bu Dita.
"Tenang saja Bu Dita, kalau untuk oleh-oleh mah, tenang saja, saya tidak akan lupa sama teman sesama guru!" jawab Dinda.
Setelah membereskan meja kerjanya, Dinda kemudian berjalan kembali ke ruang UKS, untuk memastikan apakah jika sudah dijemput atau belum.
Karena Pak Roni sudah menelepon Papanya Chika, untuk segera menjemputnya di sekolah, karena Chika sedang demam.
Saat Dinda masuk ke dalam ruang UKS, ternyata Chika masih berbaring di sana, matanya terpejam seperti sedang tidur.
Ternyata Chika memang belum dijemput oleh Papa nya, kemudian Dinda duduk disamping ranjang Chika, untuk menunggunya sampai Chika dijemput.
Di atas meja tidak jauh dari ranjang itu, ada piring bekas makan Chika, yang tidak habis.
Chika makan sedikit sekali, Dinda menarik nafas panjang, karena merasa kasihan melihat muridnya yang sangat kurang perhatian itu.
"Keterlaluan sekali Papamu Chika! Anak sakit bukannya cepat dijemput! Dasar singa lelet!" umpat Dinda yang merasa kesal, karena papanya Chika selalu terlambat menjemput.
Ceklek!
Pintu ruang UKS itu tiba-tiba dibuka dari luar, ternyata Dio, Papanya Chika yang datang, wajahnya terlihat cemas, saat melihat Chika yang terbaring di ranjang itu.
Tanpa bertanya lagi, Dio segera melangkah mendekati Chika dan langsung memeluknya.
"Maafin Papa Chika, tadi Papa cepat-cepat keluar dari ruang meeting, karena khawatir dengan keadaanmu, ayo kita pulang sayang!" ucap Dio sambil mengangkat Chika dalam gendongannya, dan langsung membawanya keluar.
Ternyata tas sekolah Chika tertinggal di ruang UKS, buru-buru Dinda mengambil tasnya Chika, kemudian mengejar Dio yang sudah melangkah cepat menuruni tangga, berjalan ke arah lobby.
"Pak Dio!" panggil Dinda.
Dio menghentikan langkahnya lalu menoleh ke belakang.
"Ini tas sekolah Chika ketinggalan di ruang UKS!" kata Dinda sambil menyodorkan tas sekolah Chika.
"Maaf Bu, saya sedang menggendong Chika, dan kesulitan membawa tas itu, Bisakah Ibu membawakannya sampai ke mobil?" tanya Dio.
Dengan sedikit ragu, Dinda menganggukkan kepalanya kemudian dia mengikuti dia yang kembali berjalan menuju ke parkiran.
Dio kemudian meletakkan Chika di jok depan, setelah itu mengambil tas Chika yang masih ada di tangan Dinda.
"Terima kasih Bu!" ucap Dio sambil melangkah masuk ke dalam mobilnya.
"Pak Dio!"
"Ya?"
"Kata Chika semalam Bapak mabuk berat, kenapa Bapak melakukan itu? Apakah Bapak tidak tahu, kalau anak melihat Papanya mabuk, itu akan mempengaruhi psikologisnya?" tanya Dinda memberanikan diri.
Dio tidak menjawab pertanyaan Dinda, namun matanya menatap dalam ke arah Dinda, mata coklat itu seolah menyihir Dinda, sehingga ada sesuatu getaran aneh yang dirasakannya, belum pernah Dinda di tatap dengan sangat dalam seperti itu.
Bersambung....
****