Ia ditemukan di tengah hujan, hampir mati, dan seharusnya hanya menjadi satu keputusan singkat dalam hidup seorang pria berkuasa.
Namun Wang Hao Yu tidak pernah benar-benar melepaskan Yun Qi.
Diadopsi secara diam-diam, dibesarkan dalam kemewahan yang dingin, Yun Qi tumbuh dengan satu keyakinan: pria itu hanyalah pelindungnya. Kakaknya. Penyelamatnya.
Sampai ia dewasa… dan tatapan itu berubah.
Kebebasan yang Yun Qi rasakan di dunia luar ternyata selalu berada dalam jangkauan pengawasan. Setiap langkahnya tercatat. Setiap pilihannya diamati. Dan ketika ia mulai jatuh cinta pada orang lain, sesuatu dalam diri Hao Yu perlahan retak.
Ini bukan kisah cinta yang bersih.
Ini tentang perlindungan yang terlalu dalam, perhatian yang berubah menjadi obsesi, dan perasaan terlarang yang tumbuh tanpa izin.
Karena bagi Hao Yu, Yun Qi bukan hanya masa lalu
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon frj_nyt, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
8
Perubahan tidak datang sekaligus. Ia tidak bangun suatu pagi lalu tiba-tiba menjadi anak yang sehat, ceria, dan penuh tenaga seperti anak-anak di iklan televisi. Tidak. Perubahan datang perlahan, nyaris tidak terasa, seperti air yang merembes ke dalam tanah kering sedikit demi sedikit, sampai suatu hari seseorang menyadari bahwa tanah itu tidak lagi retak.
Pada minggu pertama, Yun Qi masih sering kelelahan. Ia bisa duduk diam di sofa selama berjam-jam tanpa bergerak, menonton televisi tanpa benar-benar memahami apa yang ditonton. Matanya mengikuti gambar, tapi pikirannya sering melayang. Kadang ke jendela, kadang ke pintu, seolah menunggu sesuatu yang tidak ia tahu namanya.
Pengasuhnya, Bu Lin, memperhatikan itu dengan cermat. “Kamu capek?” tanyanya suatu siang, ketika Yun Qi terlihat lebih pucat dari biasanya. Yun Qi menggeleng pelan. “Tidak, Bu. Saya baik-baik saja.”
Jawaban itu keluar otomatis. Seperti refleks. Seperti kebiasaan lama yang belum sepenuhnya hilang. Bu Lin tidak memaksa. Ia hanya mengangguk dan menepuk bahu Yun Qi ringan, lalu menyodorkan segelas air hangat. Yun Qi menerimanya dengan dua tangan, menyesap pelan.
Malam itu, Wang Hao Yu pulang lebih awal. Yun Qi sedang duduk di meja makan kecil, menyelesaikan makan malamnya. Ketika mendengar suara pintu, ia refleks berdiri, kursinya sedikit bergeser ke belakang. “Anda sudah pulang,” katanya.
Wang Hao Yu melepas jam tangannya, meletakkannya di atas meja. Ia melirik piring Yun Qi makanannya hampir habis. Itu detail kecil, tapi cukup untuk membuatnya berhenti sejenak. “Masih lapar?” tanyanya.
Yun Qi berpikir sebentar, lalu menggeleng. “Tidak ini sudah cukup, terima kasih.” Wang Hao Yu duduk berhadapan dengannya. Ia tidak langsung makan. Ia menatap Yun Qi dengan tatapan yang sama seperti biasanya tenang, dingin, tapi mengamati. “Kamu kelelahan hari ini?” tanyanya lagi.
Yun Qi menunduk sedikit. “Sedikit. Tapi tidak apa-apa.” Jawaban itu membuat Wang Hao Yu menghela napas pelan. Tidak terlihat jelas, tapi Yun Qi menangkapnya. “Kamu tidak perlu bilang ‘tidak apa-apa’ setiap kali,” katanya datar. “Kalau capek, bilang capek.”
Yun Qi terdiam. Jemarinya mencengkeram ujung bajunya pelan. “Baik,” katanya akhirnya. Itu saja. Tidak ada ceramah. Tidak ada nada tinggi.
Malam itu, Yun Qi tidur lebih cepat. Dan untuk pertama kalinya sejak ia tinggal di apartemen itu, ia tidak terbangun karena mimpi buruk.
Minggu kedua membawa perubahan kecil yang mulai terasa. Nafsu makan Yun Qi bertambah. Ia tidak lagi berhenti makan di tengah karena perutnya terasa perih. Ia mulai meminta tambahan tidak dengan kata-kata, tapi dengan tatapan ragu ke piring yang hampir kosong. Bu Lin selalu memperhatikannya. “Mau nambah?” tanyanya lembut. Yun Qi ragu sebentar, lalu mengangguk kecil. “Kalau… boleh.”
“Boleh,” jawab Bu Lin sambil tersenyum. Setiap kali itu terjadi, Yun Qi selalu berkata, “Terima kasih,” dengan suara pelan tapi jelas. Seolah takut lupa bersyukur akan membuat semua ini menghilang.
Tubuhnya juga mulai berubah. Pipinya yang dulu tirus mulai sedikit berisi. Tangannya tidak lagi terlihat terlalu kecil di dalam lengan baju. Saat berjalan, langkahnya lebih mantap, tidak lagi seperti anak yang takut lantai akan runtuh di bawah kakinya.
Suatu sore, Wang Hao Yu pulang dan mendapati Yun Qi sedang berdiri di dekat jendela, memperhatikan hujan ringan yang turun di luar. Ia berdiri tegak, tidak lagi memeluk tubuhnya sendiri. “Kamu suka hujan?” tanya Wang Hao Yu. Yun Qi terkejut, lalu menoleh. “Tidak, saya takut,” jawabnya jujur. “Tapi… sekarang tidak terlalu takut.”
Wang Hao Yu berhenti di belakangnya. Tidak terlalu dekat, tapi cukup untuk mendengar napas Yun Qi yang teratur. “Kenapa?” tanyanya. Yun Qi berpikir. “Karena… hujannya di luar. Saya di dalam.”
Jawaban itu sederhana, tapi Wang Hao Yu terdiam lebih lama dari biasanya. “Masuk lah,” katanya akhirnya. “Anginnya dingin.” Yun Qi menurut.
Minggu ketiga, dokter kembali datang untuk pemeriksaan lanjutan. “Kondisinya jauh lebih baik,” kata dokter itu sambil mencatat. “Berat badannya naik. Tidurnya juga lebih teratur.” Wang Hao Yu mengangguk. “Lanjutkan.”
Setelah dokter pergi, Yun Qi duduk di sofa, memainkan ujung bajunya dengan gugup. Ia menatap Wang Hao Yu, lalu berkata, “Terima kasih… karena sudah memanggil dokter.”
“Itu perlu,” jawab Wang Hao Yu singkat. Yun Qi ragu sejenak, lalu bertanya dengan suara hati-hati, “Saya… merepotkan, ya?” Pertanyaan itu keluar pelan, nyaris seperti bisikan. Tapi Wang Hao Yu mendengarnya.
Ia menoleh. Tatapannya lurus. “Tidak.” Satu kata. Tegas. Tidak ada keraguan. Yun Qi menelan ludah. “Baik.”
Malam itu, Yun Qi berdiri di depan cermin kamar mandi. Ia menatap pantulan dirinya masih kecil, masih kurus, tapi tidak lagi terlihat seperti anak yang bisa roboh kapan saja. Ia menyentuh pipinya pelan, lalu perutnya, seolah memastikan semuanya nyata.
Ia tersenyum kecil. Sangat kecil. Hampir tidak terlihat. Namun, menjadi lebih sehat juga membawa hal baru yang tidak ia duga: energi.
Yun Qi mulai lebih banyak bergerak. Ia berjalan keliling apartemen, membuka pintu-pintu yang dulu hanya ia lihat sekilas. Ruang kerja Wang Hao Yu yang selalu terkunci. Ruang tamu kedua dengan rak buku tinggi. Balkon kecil yang menghadap kota.
Suatu sore, ia mencoba berlari kecil dari kamar ke ruang tamu. Hanya beberapa langkah. Tapi jantungnya berdebar, dan ia tertawa kecil suara yang asing di telinganya sendiri. Tawa itu berhenti ketika ia sadar ia tidak sendirian.
Wang Hao Yu berdiri di dekat pintu, baru saja masuk. Jasnya masih rapi. Wajahnya netral. Yun Qi membeku. “Maaf,” katanya cepat. “Saya… saya tidak sengaja.”
Wang Hao Yu mengernyit sedikit. “Kenapa minta maaf?” Yun Qi terdiam. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Jadi ia hanya menunduk.
Wang Hao Yu melepas sepatunya. “Kamu boleh bergerak di rumah ini.” Yun Qi mengangguk. “Baik.”
Tapi malam itu, ia tetap bergerak lebih pelan. Seiring tubuhnya membaik, Yun Qi juga mulai menyadari sesuatu yang lain. Ia mulai memperhatikan hal-hal kecil tentang Wang Hao Yu.
Jam pulangnya yang hampir selalu sama. Cara ia meletakkan kunci di tempat yang sama. Cara ia selalu melirik piring Yun Qi sebelum makan sendiri. Cara ia berdiri sedikit lebih lama di depan kamar Yun Qi setiap malam, memastikan lampu sudah mati.
Suatu malam, Yun Qi membuka pintu kamarnya setelah mendengar langkah kaki. Wang Hao Yu berhenti di lorong. “Ada apa?” tanyanya. Yun Qi menatap lantai. “Saya… ingin bertanya.”
“Tanya saja.”
“Kalau… kalau saya sakit lagi,” kata Yun Qi pelan, “anda akan… marah?”
Wang Hao Yu terdiam. Lama. “Tidak,” jawabnya akhirnya. “Saya akan panggil dokter.” Jawaban itu sederhana. Tapi Yun Qi mengangguk dengan mata sedikit berkaca-kaca. “Terima kasih,” katanya.
Ia menutup pintu dengan hati-hati. Di balik pintu, ia menempelkan dahi ke kayu, napasnya sedikit bergetar. Bukan karena takut. Tapi karena ada sesuatu di dadanya yang terasa hangat dan asing.
Beberapa hari kemudian, Yun Qi pingsan ringan saat latihan olahraga ringan. Tidak lama. Hanya beberapa detik. Tapi cukup untuk membuat Bu Lin panik dan menelepon Wang Hao Yu.
Ketika Yun Qi sadar, ia berada di sofa, selimut menutupi tubuhnya. Wang Hao Yu duduk di kursi dekatnya. “Kamu memaksakan diri,” katanya. Yun Qi menunduk. “Maaf.”
“Kamu tidak perlu minta maaf untuk segala hal,” kata Wang Hao Yu. “Kamu hanya perlu dengarkan tubuhmu.”
Yun Qi mengangguk. “Baik.” Tangannya sedikit gemetar, tapi Wang Hao Yu melihat sesuatu yang berbeda di wajahnya bukan ketakutan. Lebih seperti malu. “Kamu ingin jadi sehat?” tanya Wang Hao Yu. “Iya,” jawab Yun Qi tanpa ragu.
“Kalau begitu,” katanya, berdiri, “jangan terburu-buru.” Yun Qi menatap punggungnya yang menjauh. Untuk pertama kalinya, ia merasa yakin bahwa kata-kata itu bukan perintah tapi penjagaan. Tubuhnya belum sepenuhnya kuat. Tapi ia tidak lagi rapuh seperti dulu. Dan tanpa ia sadari, di balik semua itu, ada sepasang mata yang selalu memastikan ia tidak jatuh terlalu keras.