Memiliki anak tanpa suami membuat nama Cinta tercoret dari hak waris. Saudara tirinya lah yang menggantikan dirinya mengelola perusahaan sang papa. Namun, cinta tidak peduli. Ia beralih menjadi seorang barista demi memenuhi kebutuhan Laura, putri kecilnya.
"Menikahlah denganku. Aku pastikan tidak akan ada lagi yang berani menyebut Laura anak haram." ~ Stev.
Yang tidak diketahui Cinta. Stev adalah seorang Direktur Utama di sebuah perusahaan besar yang menyamar menjadi barista demi mendekatinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syitahfadilah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 11~ MEMENUHI UNDANGAN CALON BESAN
Setelah selesai bersiap-siap untuk berangkat ke kantor. Vano menyambar ponselnya yang semalaman dibiarkan tergeletak di tempat tidur dengan layar menyala, menampilkan foto Laura yang ia ambil secara diam-diam kemarin malam saat Cinta tidur.
"Duh, gemes banget sih." Ia mengecup layar ponselnya tepat di pipi Laura. Membayangkan setiap pagi melihat anak itu saat pertama kali membuka mata membuatnya jadi senyum-senyum sendiri. Ah, bukan hanya Laura, tapi mamanya juga. Senyumnya semakin mengembang membayangkan hal tersebut.
Ia baru saja akan memasukan ponselnya ke dalam saku jas saat tiba-tiba terdengar notifikasi pesan masuk. Ia pun membuka pesan itu yang ternyata dari Cinta.
"Stev, aku senang banget. Siang ini Laura sudah boleh pulang." Isi pesan dari Cinta.
Vano tersenyum membacanya. Ia pun dengan cepat mengirim pesan balasan. "Aku turut senang. Nanti siang biar aku jemput kalian."
Setelah terkirim ia pun memasukan ponselnya ke dalam saku jas. Mengambil tas kerja di atas nakas lalu segera keluar dari kamar.
Mama dan papa serta saudari kembarnya sudah berada di ruang makan saat ia datang. Ketiganya belum memulai sarapan karena menunggunya.
"Pagi Pa, Ma," sapanya seraya duduk di samping Vani. "Selamat pagi Bu guru, pelajaran apa kita hari ini?" ucapnya menggoda adik kembarnya itu yang memang berprofesi sebagai seorang guru SMA.
"Pelajaran memulai hari dengan bahagia," jawab Vani asal.
Vano terkekeh, ia mengusap pucuk kepala adiknya itu yang langsung di tepis oleh Vani.
"Apaan sih, Kak. Berantakan nih rambutku. Bentar lagi mau berangkat ngajar juga!"
"Tinggal di sisir lagi apa susahnya? Di mobil kamu, kan, banyak koleksi sisir. Itu punya kamu apa pacar kamu?" tanya Vano. Ia pernah meminjam mobil Vani dan mendapati lima buah sisir di dasbor.
"Tauk ah!" Vani tak menanggapi lagi. Ia membalik piring di hadapannya lalu mengisi makanan.
Papa Azka dan mama Kinan tersenyum menatap kedua anak kembar mereka. Andai Rian dan istri serta anaknya tinggal bersama mereka, setiap hari rumahnya pasti akan semakin ramai dan terasa semakin hangat.
.
.
.
"Selamat pagi, Pak?" sapa Maura ketika Vano baru saja sampai di kantor. Ia yang memang sedang menunggu kedatangan bos-nya itu langsung mengekor di belakangnya.
"Pagi," balas Vano datar. "Apa hari ini ada jadwal meeting?" tanyanya ketika Maura mensejajarkan langkahnya.
"Gak ada, Pak. Saya cuma mau menyampaikan pesan dari Bu Indri," kata Maura.
"Pesan apa?" tanya Vano tanpa menghentikan langkahnya.
"Bu Indri mengundang Bapak sekeluarga untuk makan malam bersama di rumahnya malam ini. Bu Indri sangat berharap agar Bapak bisa memenuhi undangannya kali ini."
Sebelah alis tebal Vano terangkat, ia nampak berpikir. Jika sebelumnya ia berusaha menolak, tapi kali ini sepertinya ia harus menerima undangan makan malam itu.
"Oke, baiklah. Kamu telpon Indri sekarang, dan bilang sama dia kalau saya dan orang tua saya akan datang malam ini," ucapnya kemudian. Sudut bibirnya tertarik, membentuk senyuman penuh arti.
"Baik, Pak. Nanti saya akan hubungi Bu Indri." Maura pun terdiam. Sebenarnya selain menyampaikan pesan dari Indri, ada suatu hal juga yang ingin ia tanyakan pada bosnya itu.
Sesampainya di depan ruangannya, Vano berbalik menatap Maura yang masih mengikutinya. "Kenapa? Apa masih ada hal lagi yang mau kamu sampaikan?" tanyanya.
"Gak ada, Pak." Maura terlihat sedikit gugup.
"Terus, kenapa kamu masih mengikuti ku?" Tempat kamu di sana." Vano menunjuk kearah ruang kerja Maura yang jaraknya hanya beberapa meter dari ruangannya.
"Em, anu, Pak. Itu ... apa benar Sean bertengkar sama pacarnya gara-gara ulang tahun bohongan di Cafe?" tanyanya sedikit terbata. Sebenarnya bukan acaranya yang menjadi masalah. Tapi karena ada yang mengirim foto pada pacarnya Sean, yang dimana di dalam foto itu mereka terlihat sang dekat dan membuat pacarnya Sean jadi salah paham. Ini juga salahnya yang terlalu sok profesional, alhasil ia membuat hubungan orang lain diambang kehancuran.
"Iya, kata Sean sih begitu," jawab Vano santai.
"Duh, saya jadi gak enak loh, Pak. Kalau mereka putus gara-gara saya, gimana?" Maura terlihat sedikit cemas.
"Kalau Sean putus sama pacarnya, ya kamu aja yang gantikan jadi pacarnya Sean. Gampang, kan? Mereka juga putus kan, gara-gara kamu, loh. Kamu harus tanggung jawab." Vano mengatupkan bibirnya menahan senyum melihat ekspresi Maura yang tercengang sekaligus bingung.
"Tapi, Pak... ." Belum selesai Maura berbicara, Vano sudah lebih dulu masuk ke ruangannya. Beberapa saat kemudian ponselnya pun berdering, telepon dari Vano.
"Ingat, jangan lupa kasih tahu Indri kalau saya bersedia menerima undangan makan malamnya," kata Vano memperingati.
"Iya, Pak, akan saya sampaikan pada Bu Indri. Terus yang masalah tadi itu gimana, Pak... ." Lagi, belum selesai ia berbicara, Vano sudah memutus sambungan teleponnya.
"Yah, Pak Bos bukannya ngasih solusi malah bikin mumet." Ia mendesah pelan. Bukankah ini juga karena bosnya itu yang memintanya untuk menjadi pacar pura-pura nya Sean. Ia pun kembali ke ruang kerjanya sambil menghubungi Indri.
Sementara itu di dalam ruangannya. Vano pun menghubungi papanya. Menceritakan tentang Cinta dan Indri yang merupakan saudara tiri. Juga infomasi yang pernah disampaikan Maura atas keputusan pak Haris yang justru mengangkat Indri memimpin perusahaan dan membuat Cinta harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan anaknya. Ia juga menceritakan jika sebelumnya Cinta hanya mampu memasukkan anaknya ke ruang perawatan kelas bawah, sebelum orang yang mengaku sebagai Sean memindahkannya ke ruang VIP.
Hal tersebut membuat papa Azka cukup terkejut sekaligus geram mendengarnya. Ada seorang ayah yang setega itu pada anak kandungnya sendiri. Ia saja tak sampai hati menghukum anaknya sekejam itu. Setiap anak pasti pernah melakukan kesalahan, namun bukan seperti ini cara menghukumnya. Apa yang dilakukan pak Haris sebagai efek jera, dikhawatirkan justru akan menghancurkan mental Cinta.
"Pa, Indri mengundang kita untuk makan malam bersama di rumahnya malam ini. Tapi, apa bisa Papa dan Mama saja yang datang. Aku tidak mungkin datang. Siang ini, anaknya Cinta sudah diperbolehkan pulang," ucap Vano setelah beberapa saat terdiam usai bercerita pada papanya.
Papa Azka menarik sudut bibirnya. "Sepertinya ini bukan undangan makan malam biasa," tebaknya.
"Aku juga menebak seperti itu, Pa. Indri mengundang kita makan malam bersama di rumah malam ini karena memiliki maksud tertentu. Asal Papa tahu, Indri itu seperti selalu berusaha untuk mendekati aku, tapi aku tidak pernah memberinya kesempatan. Bahkan aku melarang keras sekretaris ku untuk memberikan nomor teleponku padanya."
"Papa paham. Papa dan Mama akan datang memenuhi undangan calon besan." Papa Azka tersenyum penuh makna.