NovelToon NovelToon
ISTRI CANTIK SANG CEO TAMPAN : MISI BALAS DENDAMKU

ISTRI CANTIK SANG CEO TAMPAN : MISI BALAS DENDAMKU

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: Kde_Noirsz

"Aku mati. Dibunuh oleh suamiku sendiri setelah semua penderitaan KDRT dan pengkhianatan. Kini, aku kembali. Dan kali ini, aku punya sistem."

Risa Permata adalah pewaris yang jatuh miskin. Setelah kematian tragis ayahnya, ia dipaksa menikah dengan Doni, anak kepala desa baru yang kejam dan manipulatif. Seluruh hidup Risa dari warisan, kehormatan, hingga harga dirinya diinjak-injak oleh suami yang berselingkuh, berjudi, dan gemar melakukan KDRT. Puncaknya, ia dibunuh setelah mengetahui kebenaran : kematian orang tuanya adalah konspirasi berdarah yang melibatkan Doni dan seluruh keluarga besarnya.

Tepat saat jiwanya lepas, Sistem Kehidupan Kedua aktif!

Risa kembali ke masa lalu, ke tubuhnya yang sama, tetapi kini dengan kekuatan sistem di tangannya. Setiap misi yang berhasil ia selesaikan akan memberinya Reward berupa Skill baru yang berguna untuk bertahan hidup dan membalikkan takdir.

Dapatkah Risa menyelesaikan semua misi, mendapatkan Skill tertinggi, dan mengubah nasibnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kde_Noirsz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 8 : Pelarian Berdarah

Air kotor sisa cucian pel itu meresap ke dalam pakaian Risa yang sudah lusuh, memberikan sensasi dingin yang menusuk tulang dan bau busuk yang memuakkan. Risa terbatuk-batuk, mencoba membersihkan wajahnya dari air hitam yang masuk ke mata dan mulutnya. Di hadapannya, Melati berdiri dengan tawa yang memuakkan, sementara di layar ponselnya, wajah Paman Hari terlihat samar-samar sedang menikmati pemandangan itu.

"Bagaimana, Hari? Keponakanmu ini terlihat seperti tikus selokan yang cantik, bukan?" Melati berteriak ke arah ponselnya, memastikan Paman Hari mendengar setiap ejekannya.

Suara tawa Paman Hari terdengar dari speaker ponsel. "Jaga dia baik-baik, Melati. Jangan sampai dia mati terlalu cepat. Kita masih butuh tanda tangannya untuk beberapa dokumen pengalihan lahan bulan depan."

Mendengar suara itu, sesuatu di dalam diri Risa patah. Bukan semangatnya, melainkan rasa takutnya. Rasa takut itu kini telah berubah menjadi api kemarahan yang membakar habis sisa-sisa kewarasannya. Selama ini ia diam, ia tunduk, ia berharap ada belas kasihan. Namun hari ini, ia menyadari bahwa di mata mereka, dia bukan lagi manusia.

Setelah Melati pergi dan kembali mengunci pintu gudang dengan tawa yang masih menggema, Risa merangkak menuju sudut gudang yang paling gelap. Di sana, di balik tumpukan kardus bekas yang mulai berjamur, ia menemukan sebuah obeng berkarat yang tertinggal dari perkakas kebun ayahnya.

Aku tidak bisa mati di sini. Aku harus keluar. Aku harus melapor ke kota, batin Risa dengan tangan yang gemetar hebat namun penuh tekad.

Risa mulai bekerja. Selama berjam-jam, di tengah perut yang melilit karena lapar dan tubuh yang menggigil, ia mencongkel engsel pintu gudang yang sudah tua itu. Setiap bunyi gesekan besi terasa seperti lonceng kematian di telinganya. Ia harus melakukannya dengan sangat perlahan agar penjaga di luar tidak mendengarnya.

Keringat dingin membasahi dahinya. Kuku-kukunya mulai berdarah karena dipaksa mencongkel besi yang keras. Namun, rasa sakit itu ia abaikan. Bayangan wajah ayahnya dan penghinaan Doni menjadi bahan bakar yang membuatnya terus bergerak.

Tengah malam tiba. Suara musik dari lantai atas sudah berhenti, digantikan oleh kesunyian yang mencekam. Risa mendorong pintu gudang secara perlahan. KRIET... Suara gesekan pintu terasa sangat nyaring di telinganya. Ia menahan napas selama beberapa menit, memastikan tidak ada langkah kaki yang mendekat.

Dengan gerakan seperti bayangan, Risa menyelinap keluar. Ia tidak berani melewati pintu depan yang dijaga ketat oleh anak buah Pak Surya. Ia merayap menuju jendela dapur, berharap kuncinya masih longgar seperti biasanya.

Keberuntungan seolah berpihak padanya sesaat. Jendela dapur berhasil ia buka. Risa memanjat keluar, jatuh ke atas rerumputan yang basah oleh embun. Ia berlari menuju pagar belakang, tempat di mana ada sebuah celah kecil di bawah semak-semak yang dulu sering ia gunakan untuk bermain saat kecil.

Ia berhasil keluar! Kaki telanjangnya menginjak kerikil tajam jalanan desa, namun ia terus berlari. Ia tidak menoleh ke belakang. Tujuannya hanya satu: Jalan raya utama yang menuju ke arah kota.

"Ayah... tolong Risa..." bisiknya di tengah napas yang tersenggal.

Namun, harapan itu hanyalah fatamorgana yang kejam.

Tiba-tiba, cahaya lampu mobil yang sangat terang menyorot punggungnya dari arah belakang. Suara raungan mesin mobil sport yang sangat ia kenal membelah kesunyian malam.

VROOOOM!

Mobil itu melesat melewati Risa dan berhenti tepat di depannya dengan pengereman mendadak yang menciptakan kepulan debu. Pintu mobil terbuka, dan Doni Wijaya keluar dengan wajah yang menyerupai iblis yang sedang murka. Di tangannya, ia memegang sebuah cambuk kuda yang baru—mungkin hasil kemenangannya berjudi malam ini.

"Mau lari ke mana, Istriku tersayang?" suara Doni rendah, namun penuh dengan ancaman yang membuat darah Risa membeku.

Risa berbalik dan mencoba berlari ke arah hutan, namun dua motor besar tiba-tiba muncul dari arah kegelapan, mengepungnya. Itu adalah anak buah Pak Surya.

"Jangan... Doni, tolong biarkan aku pergi! Aku tidak akan menuntut apa pun! Ambil semua hartanya, tapi biarkan aku hidup!" Risa jatuh berlutut di tengah jalan, memohon dengan air mata yang mengalir deras.

Doni berjalan mendekat, langkah sepatunya terdengar seperti detak lonceng kematian. Ia menjambak rambut Risa dengan satu sentakan kasar, memaksa gadis itu berdiri.

"Kau pikir kau bisa lari dari cengkeramanku? Di desa ini, bahkan semut pun melapor padaku jika mereka melihatmu lewat!" Doni melayangkan tamparan keras ke wajah Risa hingga gadis itu tersungkur ke aspal. "Kau sudah membuatku malu di depan anak buahku, Risa! Kau butuh pelajaran yang tidak akan pernah kau lupakan seumur hidupmu!"

Doni menyeret Risa kembali ke mobil, tidak peduli pada kulit lutut Risa yang terkelupas karena terseret aspal jalanan. Ia melempar Risa ke dalam bagasi mobil dan menutupnya dengan bantingan keras.

Kembali di rumah Permata—yang kini menjadi rumah jagal bagi Risa—Doni menyeret Risa bukan ke kamar, melainkan ke halaman tengah, tepat di bawah pohon besar tempat Risa dulu sering duduk bersama ayahnya.

Doni mengikat kedua tangan Risa ke dahan pohon yang rendah, memaksa Risa dalam posisi berjinjit yang sangat menyakitkan. Melati keluar dari rumah dengan mengenakan gaun malam sutra, membawa segelas air es dan duduk di kursi taman seolah sedang menonton pertunjukan teater.

"Lihat ini, Melati. Istriku mencoba menjadi atlet lari malam ini," ejek Doni.

"Oh, Sayang, dia butuh sedikit pemanasan agar ototnya tidak kaku," sahut Melati sambil menyesap minumannya.

Doni mengangkat cambuknya. WHUUS... CETAR!

Cambukan pertama mendarat di punggung Risa, merobek pakaiannya dan meninggalkan garis merah yang mengeluarkan darah segar. Risa menjerit histeris, suaranya memecah keheningan malam Desa Makmur. Namun, tidak ada tetangga yang berani keluar. Semua orang tahu, mencampuri urusan keluarga Wijaya berarti mencari mati.

CETAR! CETAR! CETAR!

"Ini karena kau mencoba kabur!"

"Ini karena kau membuatku bangun tengah malam!"

"Dan ini karena kau masih berani berharap bisa bebas dariku!"

Doni memukul tanpa ampun. Setiap hantaman cambuk itu terasa seperti api yang membakar saraf-saraf Risa. Punggungnya kini hancur, darah mengalir membasahi kaki dan tanah di bawahnya. Risa tidak lagi memiliki kekuatan untuk berteriak. Suaranya sudah habis, hanya menyisakan rintihan lirih yang memilukan.

"Doni... bunuh saja aku... aku mohon..." rintih Risa dengan kepala terkulai.

"Membunuhmu? Tidak, Risa. Itu terlalu mudah," Doni berhenti sejenak, ia berkeringat dan tampak sangat menikmati pemandangan itu. "Aku ingin kau hidup cukup lama untuk melihat bagaimana aku menghancurkan setiap kenangan tentang ayahmu. Besok, aku akan mulai membongkar kantor ayahmu dan menjadikannya kandang anjing."

Melati bangkit dari duduknya, ia mendekati Risa yang terkulai lemas dengan tangan masih terikat. Melati mengambil segenggam garam dari dapur yang sudah ia siapkan, dan dengan senyum iblis, ia menggosokkan garam itu ke luka-luka terbuka di punggung Risa.

"AAAAAAARRGGHHH!" Risa memekik dengan sisa tenaganya. Rasa perihnya seribu kali lebih sakit daripada cambukan itu sendiri. Tubuhnya kejang-kejang menahan siksaan yang tidak manusiawi itu.

"Itu agar lukamu tidak cepat sembuh, Sayang. Aku ingin kau selalu mengingat rasa sakit ini setiap kali kau mencoba berpikir untuk lari lagi," bisik Melati tepat di telinga Risa.

Setelah merasa puas, Doni memotong tali pengikat tangan Risa. Tubuh Risa jatuh bergedebuk ke tanah seperti karung goni yang tak berharga. Ia tidak bisa bergerak. Kesadarannya mulai hilang silih berganti.

"Bawa dia kembali ke gudang. Jangan beri dia makan selama tiga hari. Hanya air putih. Aku ingin dia benar-benar mengerti siapa tuannya di sini," perintah Doni kepada anak buahnya.

Risa dilemparkan kembali ke dalam gudang bawah tangga. Pintu digembok dua kali lipat lebih kuat. Ia berbaring di atas semen yang dingin dengan posisi tengkurap karena punggungnya tidak mungkin bisa menyentuh apa pun.

Rasa sakitnya begitu luar biasa hingga Risa berharap jantungnya berhenti berdetak saat itu juga. Ia melihat ke arah celah di bawah pintu. Ia melihat bayangan ayahnya yang berdiri di sana, menatapnya dengan air mata.

Ayah... Risa gagal... Risa terlalu lemah...

Namun, di tengah keputusasaan yang absolut itu, sesuatu yang lain mulai terbentuk di dalam jiwa Risa yang hancur. Bukan lagi keinginan untuk lari, bukan lagi harapan untuk ditolong. Yang tersisa hanyalah kebencian yang murni, hitam, dan sangat dingin. Kebencian itu kini menjadi satu-satunya alasan baginya untuk terus bernapas.

Ia menyadari bahwa di dunia ini, kebaikan adalah kelemahan. Kejujuran adalah jalan menuju liang kubur. Ayahnya mati karena dia orang baik. Risa disiksa karena dia lemah.

"Jika aku... jika aku punya kesempatan lagi..." bisik Risa dengan suara yang hampir tidak terdengar, bibirnya bergetar karena demam yang mulai menyerang tubuhnya akibat luka yang terinfeksi. "Aku akan menjadi iblis yang lebih kejam dari kalian semua. Aku akan menguliti kalian satu per satu..."

Malam itu, Risa tidak pingsan karena lelah, melainkan karena rasa sakit yang sudah melampaui batas kemampuan saraf manusia untuk menanggungnya. Ia tertidur dalam genangan darahnya sendiri, di dalam gudang yang dulu digunakan ayahnya untuk menyimpan barang-barang kenangan masa kecilnya.

Pagi harinya, Doni masuk ke dalam gudang. Bukannya merasa kasihan melihat kondisi Risa, ia justru menendang rusuk Risa untuk memastikannya masih hidup.

"Bangun! Ada tamu yang ingin menemuimu!" bentak Doni.

Risa membuka matanya yang bengkak. Di depan pintu gudang, Paman Hari berdiri dengan setelan jas baru yang sangat rapi. Ia menatap Risa dengan pandangan jijik, seolah-olah melihat bangkai tikus yang mengganggu pemandangan.

"Risa, Risa... kenapa kau begitu keras kepala?" ujar Paman Hari sambil menutup hidungnya karena bau amis darah di dalam gudang. "Paman datang untuk memberitahumu. Seluruh warga desa sudah tahu bahwa kau mencoba kabur karena kau gila dan mencoba bunuh diri. Doni adalah pahlawan yang menyelamatkanmu semalam. Tidak akan ada yang menolongmu, Risa. Kau adalah aib bagi keluarga Permata."

Paman Hari melemparkan sebuah dokumen lagi ke arah wajah Risa yang bersimbah darah. "Tanda tangani ini. Ini adalah surat pernyataan bahwa kau menyerahkan sisa perhiasan ibumu di bank kota kepada Doni sebagai biaya 'pengobatanmu'. Tanda tangan, atau Doni akan menggunakan cambuknya lagi."

Risa menatap Paman Hari. Untuk pertama kalinya, tidak ada air mata di mata Risa. Hanya ada tatapan kosong yang sangat menyeramkan. Ia meraih pena itu dengan tangan yang gemetar hebat, memaksakan jari-jarinya yang patah untuk bergerak.

Ia menandatanganinya. Bukan karena ia takut, tapi karena ia tahu ia butuh waktu. Ia butuh bertahan hidup hanya untuk melihat hari di mana para iblis ini akan hancur.

"Bagus. Anak pintar," Paman Hari mengambil dokumen itu dan segera pergi bersama Doni, meninggalkan Risa dalam kesunyian nerakanya kembali.

Risa kembali menyandarkan kepalanya ke dinding semen yang dingin. Ia memejamkan mata, membiarkan kegelapan merangkulnya. Di dalam hatinya, ia mulai menghitung setiap cambukan, setiap tamparan, dan setiap kata penghinaan yang ia terima. Ia menyimpan semuanya dalam sebuah kotak hitam di dalam pikirannya.

Satu hari nanti... aku sendiri yang akan mengunci kalian di gudang ini...

Namun di kehidupan pertama ini, Risa Permata hanyalah tawanan yang terlupakan. Siksaannya baru saja dimulai, dan masih ada dua belas bab penderitaan lagi sebelum ia akhirnya mencapai titik kematiannya di Bab 20. Neraka ini masih sangat panjang, dan Risa harus menelan setiap tetes kepahitannya sendirian.

Beberapa hari kemudian, setelah luka di punggungnya mulai mengering namun meninggalkan jaringan parut yang mengerikan, Doni datang membawa "kejutan" baru. Ia tidak lagi membawa cambuk, melainkan membawa sebotol kecil cairan kimia yang berbau menyengat.

"Kau tahu apa ini, Risa? Ini adalah cairan penghilang sidik jari. Aku tidak ingin kau bisa membuka kunci biometrik apa pun di masa depan jika kau mencoba lari lagi ke kantor ayahmu," ujar Doni dengan senyum sadisnya.

Risa mundur ketakutan, namun ia sudah terpojok di sudut gudang. Doni meraih tangan kanan Risa dan mulai menuangkan cairan itu sedikit demi sedikit ke ujung jari-jarinya. Teriakan Risa kembali mengguncang rumah itu, namun seperti biasa, hanya kesunyian yang menjawabnya. Penderitaan Risa telah mencapai level di mana kematian terasa seperti sebuah anugerah yang sangat mewah.

1
Andira Rahmawati
hadir thor.. kerenn ...walau jln ceritanya agsk rumit sih👍👍👍
Ayu Nur Indah Kusumastuti: bener banget kak, tapi mungkin ini gaya authornya kak
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!