Jiang Shen, seorang remaja berusia tujuh belas tahun, hidup di tengah kemiskinan bersama keluarganya yang kecil. Meski berbakat dalam jalan kultivasi, ia tidak pernah memiliki sumber daya ataupun dukungan untuk berkembang. Kehidupannya penuh tekanan, dihina karena status rendah, dan selalu dipandang remeh oleh para bangsawan muda.
Namun takdir mulai berubah ketika ia secara tak sengaja menemukan sebuah permata hijau misterius di kedalaman hutan. Benda itu ternyata menyimpan rahasia besar, membuka pintu menuju kekuatan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Sejak saat itu, langkah Jiang Shen di jalan kultivasi dimulai—sebuah jalan yang terjal, berdarah, dan dipenuhi bahaya.
Di antara dendam, pertempuran, dan persaingan dengan para genius dari keluarga besar, Jiang Shen bertekad menapaki puncak kekuatan. Dari remaja miskin yang diremehkan, ia akan membuktikan bahwa dirinya mampu mengguncang dunia kultivasi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DANTE-KUN, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8 : Jenius Sejati
Setelah berhasil menerobos ke ranah Pembangunan Fondasi, Jiang Shen duduk bersila cukup lama sambil merasakan perubahan tubuhnya. Namun tak lama kemudian, kegelisahan mulai merayapi hatinya. Sudah berapa lama ia di dalam hutan Yulong? Bagaimana kondisi ibunya di rumah? Pikiran itu membuat dadanya sesak.
Dengan segera ia menelusuri ingatan warisan milik Sesepuh Hun Zhen. Untungnya, dalam pusaran kenangan itu, Jiang Shen menemukan yang ia cari—peta samar mengenai hutan Yulong dan jalur setapak yang bisa digunakan untuk keluar dengan aman. Jalur itu sempit, berliku, dan tersembunyi, tapi cukup untuk membuatnya menghindari daerah berbahaya di mana beast tingkat tinggi biasa berkeliaran.
Tanpa menunda lagi, ia pun bergerak. Dengan langkah cepat dan kadang berlari, Jiang Shen menapaki jalur yang ditunjukkan ingatan warisan.
Sepanjang perjalanan, meski jalur itu disebut "aman", tetap saja bukan tanpa ancaman. Beast spiritual tingkat 1 beberapa kali muncul menghadang—
Kelinci bermata merah yang melompat ganas dengan gigi runcing,
Tikus penyedot darah yang bergerak lincah di antara rerumputan,
Kelabang ungu sebesar lengan manusia yang berdesis dengan racun mematikan.
Namun bagi Jiang Shen yang kini sudah berada di ranah Pembangunan Fondasi, mereka hanyalah gangguan kecil. Dengan kekuatan barunya, ia dapat mengalahkan mereka hanya dengan beberapa gerakan cepat. Pisau yang ia bawa menebas leher, tinjunya menghancurkan tubuh rapuh mereka, dan kadang ia hanya perlu satu tendangan penuh tenaga untuk meremukkan tulang musuhnya.
Setiap kali seekor beast tumbang, Jiang Shen dengan tenang mengeluarkan inti jiwa mereka. Ia sudah tahu dari warisan Hun Zhen bahwa inti jiwa tingkat satu bisa dijual seharga tiga koin perak per butir. Jumlah itu mungkin terlihat kecil bagi keluarga besar atau sekte besar, tapi baginya—anak dari keluarga miskin—itu berarti sangat banyak. Setiap inti jiwa adalah harapan untuk memperbaiki kehidupan ibunya.
Langkahnya semakin mantap, walaupun tubuhnya mulai lelah karena ia memaksa berlari agar lebih cepat keluar dari hutan. Namun malam akhirnya tiba, dan Jiang Shen sadar tubuhnya butuh istirahat.
Ia pun mencari tempat yang cukup aman, sebuah celah di antara dua batu besar yang tertutup semak-semak. Di sana, ia mendirikan kemah sederhana. Ia membuat perapian kecil, memanggang sedikit daging babi buruan yang masih tersisa, lalu duduk dengan tenang di bawah cahaya bulan.
Sambil menatap bintang di langit, ia menggenggam beberapa inti jiwa yang sudah ia kumpulkan. Matanya berkilau, bukan hanya karena rasa puas, tapi juga karena tekad yang semakin kuat.
“Bertahanlah, Ibu … aku pasti akan pulang,” gumamnya lirih sebelum memejamkan mata untuk beristirahat.
Malam itu, hutan Yulong terasa tenang seperti memberikan sedikit kedamaian bagi pemuda itu untuk beristirahat.
...
Pagi itu, sinar matahari menerobos di antara pepohonan raksasa hutan Yulong, menandakan awal hari yang baru. Jiang Shen yang sudah cukup beristirahat semalaman, kembali melanjutkan langkahnya dengan semangat. Nafasnya terasa lebih ringan, tubuhnya bertenaga, dan keyakinannya semakin kokoh. Ia yakin hanya tinggal sedikit lagi sebelum keluar dari hutan ini.
Namun, di tengah perjalanan, matanya menangkap sesuatu yang tidak biasa. Dari kejauhan terdengar suara dentuman keras dan pekikan tajam yang menggema di udara. Jiang Shen segera menahan langkahnya, menyipitkan mata untuk melihat lebih jelas. Saat ia mendekat, tubuhnya seolah terpaku.
Sebuah pertarungan sengit terjadi tak jauh dari tempatnya berdiri.
Seekor elang emas raksasa, salah satu beast spiritual tingkat tiga, berputar-putar di udara sambil menukik dengan sayap keemasan yang berkilau diterpa cahaya matahari. Sorot matanya tajam, aura kejamnya menekan udara sekitar, membuat pepohonan berguncang tiap kali sayapnya mengepak.
Menghadapinya, berdiri tegak seorang wanita muda yang sebaya dengan Jiang Shen. Rambut hitamnya tergerai panjang hingga punggung, berkilau halus bagai sutra. Namun yang paling mencolok adalah sepasang mata biru berkilau dingin, seolah menyimpan lautan es abadi. Kulitnya pucat indah, halus bagaikan giok putih, dan garis wajahnya begitu sempurna hingga sulit dipercaya ia benar-benar nyata.
Di tangannya tergenggam pedang sepanjang satu meter, yang setiap kali diayunkan mengeluarkan hawa dingin menusuk tulang. Saat pedang itu menebas, udara di sekitarnya membeku, dan bunga es bermekaran di tanah yang dilaluinya.
Jiang Shen menahan nafas.
“Ranah Inti Emas …” gumamnya pelan.
Ia ingat jelas dari warisan Hun Zhen, hanya mereka yang telah mencapai ranah Inti Emas yang bisa benar-benar mengendalikan elemen alam. Dan gadis itu—tidak hanya mengendalikannya, tapi sudah melakukannya dengan sempurna. Pedangnya bagaikan badai salju, tiap ayunannya membuat udara bergetar dingin.
Pertarungan berlangsung sengit. Elang emas meluncur dengan paruh tajamnya, tapi gadis itu menangkis dengan ayunan penuh keyakinan, membuat suara benturan keras yang menggema. Tanah tergores, batu pecah, dan hawa dingin semakin pekat.
Akhirnya, setelah serangan demi serangan, gadis itu melompat ke udara, menebas lurus ke arah elang emas. Suara keras terdengar ketika pedangnya menembus dada elang tersebut. Dengan jeritan terakhir, makhluk itu terjatuh menghantam tanah, membuat debu mengepul ke udara.
Sementara tubuh elang itu terdiam tanpa nyawa, gadis itu dengan tenang menghunus pedangnya dari dagingnya, lalu menekankan tangannya ke tubuh sang beast. Beberapa saat kemudian, sebuah inti jiwa berwarna emas mengapung keluar, berkilau indah. Ia meraihnya tanpa ekspresi, lalu menyimpannya ke dalam cincin ruang.
Namun seketika itu juga, matanya menoleh tajam ke arah semak tempat Jiang Shen bersembunyi. Tatapan biru itu bagaikan es tajam yang menusuk langsung ke dalam hati.
Jiang Shen sadar tak ada gunanya bersembunyi. Ia melangkah keluar dengan kedua tangannya terangkat sedikit, mencoba menunjukkan bahwa ia tak punya niat jahat.
“Jangan salah paham … aku hanya kebetulan lewat. Aku sedang mencari jalan keluar dari hutan ini,” ucapnya jujur.
Wanita itu menatapnya dalam-dalam, wajahnya tetap dingin, tapi tidak menunjukkan permusuhan berlebihan. Dari caranya menilai, jelas ia sedang mengukur Jiang Shen. Setelah melihat aura Jiang Shen yang masih jauh di bawah dirinya, ia akhirnya sedikit melonggarkan sikap waspada.
“Aku mengerti,” jawabnya singkat dengan suara datar, namun lembut. “Jika begitu, kebetulan aku juga sudah selesai di sini. Aku akan keluar dari hutan. Ikutlah kalau kamu mau.”
Mendengar itu, Jiang Shen menundukkan kepala sedikit sebagai tanda hormat.
“Terima kasih. Namaku Jiang Shen.”
Gadis itu diam sebentar sebelum akhirnya menjawab dengan datar, “Lin Xueyin.”
Nama itu membuat Jiang Shen tertegun. Klan Lin—salah satu klan besar di Kota Jinan, tempat tinggalnya. Tidak disangka ia akan bertemu dengan seorang jenius muda dari klan besar, dan bahkan sebaya dengannya.
Seketika Jiang Shen merasa betapa jauhnya jarak mereka. Dirinya hanyalah anak dari keluarga miskin, sementara di hadapannya berdiri seorang genius sejati yang bahkan di usia muda sudah mencapai ranah Inti Emas dan menguasai elemen es.
Namun bukannya merasa iri, Jiang Shen justru semakin sadar—jalan kultivasi bukan hanya miliknya seorang, ada banyak sekali orang jenius yang jauh melampaui dirinya. Dan itu membuat tekadnya semakin membara.
Keduanya pun akhirnya berjalan berdampingan menuju keluar hutan Yulong. Lin Xueyin tetap tenang dengan aura dinginnya, sementara Jiang Shen melirik sekilas, mengingat jelas kecantikan gadis itu. Rambut hitam legam, mata biru dingin bak safir yang bersinar, wajah cantik sempurna bagai ukiran giok … Sejenak, Jiang Shen merasa seperti berjalan bersama seorang dewi es yang turun ke dunia.
MC nya belom mengenal luas nya dunia karena belom berpetualang keluar tempat asal nya,hanya tinggal dikota itu saja
Jangan buat cerita MC nya mudah tergoda pada setiap wanita yg di temui seperti kebanyakan novel2 pada umum nya,cukup 1 wanita.