NovelToon NovelToon
Traces Behind The Shadows

Traces Behind The Shadows

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Mafia / Crazy Rich/Konglomerat / Cinta Seiring Waktu / Mata-mata/Agen / Harem
Popularitas:803
Nilai: 5
Nama Author: Yes, me! Leesoochan

Di kota Paris yang penuh intrik, Amina De La Croix, seorang detektif swasta berhijab yang jenius dan tajam lidah, mendapati dirinya terjebak dalam kasus pembunuhan misterius yang menyeret tujuh mafia tampan yang menguasai dunia bawah kota tersebut.

Saat Amina menyelidiki, dia berhadapan dengan Alexander Rothschild, pemimpin mafia yang dingin dan tak tersentuh; Lorenzo Devereux, si manipulator licik dengan pesona mematikan; Theodore Vandenberg, sang jenius teknologi yang misterius; Michael Beaumont, jagoan bela diri setia yang berbicara dengan tinju; Dante Von Hohenberg, ahli strategi yang selalu sepuluh langkah di depan; Felix D’Alembert, si seniman penuh teka-teki; dan Lucien Ravenshaw, ahli racun yang mematikan namun elegan.

Di tengah misteri dan bahaya, sebuah hubungan yang rumit dan tak terduga mulai terjalin. Apakah Amina akan menyelesaikan kasus ini sebelum dirinya terseret lebih dalam ke dunia mereka? Atau justru tujuh mafia ini yang akan takluk oleh keunikan sang detektif?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yes, me! Leesoochan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Episode 8

Paris, tengah malam. Langit masih diselimuti mendung tipis, dan jalanan yang basah berkilauan diterpa cahaya neon dari klub-klub malam di sekitar Champs-Élysées. Amina berdiri di seberang jalan, menyesuaikan hijabnya dengan satu tarikan napas. Klub malam Le Mirage berdiri megah di hadapannya, berkilauan dengan lampu merah dan ungu yang berdenyut mengikuti irama bass dari dalam.

Ia melangkah maju. Hawa dingin menusuk kulit, tetapi pikirannya lebih fokus pada misi. Lorenzo Devereux ada di dalam. Dia harus mendapatkan jawaban, atau setidaknya petunjuk ke mana kasus ini akan berlanjut.

Begitu melewati pintu masuk, gelombang suara musik menghantamnya. Aroma parfum mahal bercampur alkohol memenuhi udara. Lantai dansa dipenuhi orang-orang berpakaian mewah, tertawa, berdansa, dan berbisik dalam konspirasi mereka sendiri.

Amina tidak punya waktu untuk menikmati suasana ini. Ia berjalan ke bar dan mengambil posisi di ujung, membelakangi cermin besar yang memungkinkan dia melihat hampir seluruh ruangan tanpa harus menoleh.

"Apa yang bisa saya ambilkan untuk Anda, mademoiselle?" Bartender, seorang pria berkacamata dengan kumis tipis, menyapanya.

Amina mengangkat bahu. "Sesuatu yang ringan saja."

Sang bartender mengangguk, tetapi matanya tampak menilai. Dia pasti sudah terbiasa mengenali pelanggan yang bukan bagian dari dunia ini.

Saat ia menunggu minumannya, Amina meneliti ruangan dengan ujung matanya. Matanya terpaku pada balkon VIP di lantai atas. Di balik kaca gelap, dia tahu seseorang mengawasinya.

Pria itu pasti sudah menyadari kehadirannya sejak ia melangkah masuk.

Tak lama, seorang pria berbadan tegap mendekatinya. Setelan jas hitamnya rapi, tetapi aura yang dipancarkannya lebih mirip seorang algojo daripada pelayan.

"Tuan Devereux ingin berbicara dengan Anda." Suaranya dalam, tegas, tanpa ruang untuk negosiasi.

Amina meneguk minumannya, meletakkan gelas dengan santai, lalu bangkit. "Tentu. Aku juga ingin berbicara dengannya."

Lorong ke lantai atas lebih sepi. Musik dari bawah meredam, berganti dengan suasana yang lebih eksklusif. Karpet merah tebal menyerap suara langkah kakinya. Di ujung, dua pria berbadan besar berjaga di depan pintu besar berukiran emas.

Tanpa basa-basi, pintu itu terbuka.

Ruangan itu luas, penuh dengan kemewahan yang mencolok. Dindingnya dihiasi lukisan-lukisan klasik, lampu gantung kristal berkilauan di langit-langit. Aroma tembakau dan parfum maskulin menguar di udara.

Di tengah ruangan, Lorenzo Devereux duduk di sofa mewah berlapis beludru hitam. Rambutnya disisir rapi ke belakang, setelan jas biru gelapnya tanpa cela. Sebuah gelas kristal berisi anggur merah berputar di tangannya.

Tatapannya langsung tertuju pada Amina.

"Mademoiselle Amina," katanya santai, suaranya lembut namun berbahaya. "Sungguh kejutan melihat Anda di sini."

Amina tidak menunjukkan ekspresi. Ia melangkah masuk dengan percaya diri, menutup pintu di belakangnya. "Aku yakin bukan kejutan yang terlalu besar. Kau pasti sudah tahu aku akan datang."

Lorenzo menyeringai. "Tentu saja. Tapi aku tidak yakin apa yang kau inginkan. Aku tidak ingat kita pernah memiliki urusan bersama."

Amina menatapnya tajam. "Kita memiliki urusan yang sama sekali tidak kau sadari."

Lorenzo tertawa kecil. "Sungguh? Dan apa itu?"

Amina berjalan ke meja di depan sofa, mengambil satu buah zaitun dari piring kecil, lalu memasukkannya ke dalam mulut dengan santai. "Aku ingin tahu tentang transaksi yang kau lakukan dengan Alexander Rothschild."

Tawa Lorenzo langsung menghilang. Tatapannya berubah lebih tajam, senyum di bibirnya menegang.

"Kau bermain-main dengan sesuatu yang berbahaya, detektif."

"Aku tahu." Amina menatapnya balik. "Tapi aku juga tahu kau tidak suka Rothschild lebih dari siapa pun di ruangan ini."

Lorenzo menghela napas, menyandarkan tubuhnya ke sofa. "Kau menarik. Biasanya, tamu yang datang ke sini dalam keadaan seperti ini akan lebih... takut."

Amina tersenyum tipis. "Aku punya kebiasaan buruk. Aku tidak mudah takut."

Lorenzo memiringkan kepalanya, lalu melirik sekilas ke arah penjaga yang berdiri di sudut ruangan.

Amina langsung merasakan ada sesuatu yang berubah dalam atmosfer.

Dalam sepersekian detik, pintu di belakangnya tertutup rapat.

"Sungguh disayangkan," Lorenzo berucap pelan, "karena malam ini, kau seharusnya takut."

Amina tahu dia dalam bahaya.

Tapi dia juga tahu satu hal: dia tidak akan keluar dari sini tanpa jawaban.

"Oh, Lorenzo," katanya sambil menyilangkan tangan. "Kau tidak tahu dengan siapa kau berurusan."

Lorenzo menyipitkan mata, jelas tertarik.

"Benarkah?"

Amina tersenyum. "Mari kita lihat siapa yang akan lebih dulu takut malam ini."

Ketegangan di ruangan itu semakin pekat. Amina berdiri dengan punggung lurus, tatapannya tajam mengunci sosok Lorenzo Devereux yang masih duduk santai di kursi mewahnya. Cahaya temaram dari lampu gantung menyoroti wajah pria itu, menciptakan bayangan samar yang menambah aura misteriusnya.

Pintu di belakang Amina telah tertutup rapat, dijaga oleh dua pria bertubuh kekar. Mereka tidak memegang senjata, tetapi dari cara berdiri mereka yang tenang, mereka siap bertindak. Amina tahu bahwa mereka adalah profesional.

Lorenzo menyesap anggurnya perlahan, bibirnya melengkung membentuk senyum tipis. "Jadi, Nona Amina," suaranya rendah, berat, dan terukur. "Kau sudah datang sejauh ini. Apa yang kau cari?"

Amina menahan ekspresinya tetap netral, meskipun pikirannya berputar mencari jalan keluar.

"Angin malam," jawabnya ringan, memasang wajah polos. "Tempatmu ternyata nyaman. Mungkin aku akan sering berkunjung."

Lorenzo tertawa pelan, meletakkan gelasnya ke meja dengan bunyi halus. "Sayangnya, aku tidak suka tamu yang datang tanpa undangan."

Salah satu anak buahnya bergerak selangkah lebih dekat. Amina merasakan ketegangan merambat di tubuhnya, tapi dia tetap diam.

Dia tidak bisa memperlihatkan kelemahan.

"Aku hanya ingin berbincang," lanjut Amina. "Aku mendengar banyak tentangmu, Devereux. Bisnismu... menarik."

Lorenzo menyandarkan tubuhnya, menautkan jemarinya. "Menarik?" Matanya berkilat penuh minat. "Dan bagian mana yang menarik bagimu?"

Amina mencondongkan tubuh sedikit ke depan. "Bagian yang tidak pernah disebut di media," bisiknya, seolah berbagi rahasia.

Senyum Lorenzo melebar, tapi matanya meneliti setiap inci dirinya. "Kau ini siapa sebenarnya?"

Jantung Amina berdetak lebih cepat, tapi dia tetap tenang. Dia harus keluar sebelum Lorenzo menyadari identitas aslinya.

Di luar, klub malam tetap hingar-bingar. Musik menghentak, lampu neon berputar di udara seperti lingkaran hipnotis, dan orang-orang menari seakan dunia akan berakhir esok hari. Tapi di ruangan ini, atmosfernya berbeda.

Senyap. Penuh ketegangan.

Amina menajamkan penglihatannya, mencari sesuatu atau celah, alat, apa saja yang bisa membantunya keluar. Dan kemudian, dia menemukannya.

Di sudut ruangan, sensor keamanan kecil berkedip merah. Itu terhubung ke sistem alarm gedung.

Lorenzo mengawasinya dengan tatapan yang sulit diartikan. "Kau tahu, aku bukan orang yang suka dipermainkan," katanya pelan, tapi ada ancaman halus di balik suaranya.

"Aku juga," balas Amina dengan nada yang sama.

Lorenzo terkekeh, tapi kemudian dia mengangkat tangan, memberi isyarat pada anak buahnya.

"Aku harus memastikan satu hal sebelum kita melanjutkan obrolan ini," katanya.

Salah satu penjaganya maju, mencoba meraih pergelangan tangan Amina.

Itu kesalahan besar.

Dalam satu gerakan cepat, Amina menangkap pergelangan pria itu, memelintirnya hingga pria itu berteriak kesakitan. Dengan siku, dia menghantam rahangnya, lalu memutar tubuhnya ke belakang untuk menendang pria kedua ke meja kaca.

Gelas anggur Lorenzo terguling, isinya tumpah ke atas meja, menciptakan noda merah gelap seperti darah.

Saat Lorenzo masih menikmati pertunjukan itu, Amina sudah bergerak ke sensor keamanan, menekan tombol kecil di gelangnya.

Lampu berkedip. Alarm berbunyi nyaring.

Suara bising menggema ke seluruh klub. Di luar, teriakan panik mulai terdengar. Orang-orang berhamburan ke pintu keluar, menambah kekacauan.

Amina tidak menunggu lama. Dengan cepat, dia melompati meja, menendang pintu hingga terbuka, dan berlari ke luar sebelum lebih banyak penjaga datang.

Dari dalam ruangan, Lorenzo menyaksikan kepergiannya dengan senyum kecil. Dia mengangkat gelas kosongnya, memiringkan kepalanya sedikit.

"Menarik," gumamnya.

Kemudian, dia mengambil ponselnya dan mengetik sebuah pesan.

"Aku ingin tahu semuanya tentang dia. Kirimkan Vandenberg."

1
ceritanya bagus nuansa Eropa kental banget,
romantisnya tipis karena mungkin sesuai genrenya, tapi aku suka baca yang seperti ini.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!