Daniel Van Houten, mafia berdarah dingin itu tak pernah menyangka dirinya di vonis impoten oleh dokter. Meski demkian Daniel tidak berputus asa, setiap hari ia selalu menyuruh orang mencari gadis per@wan agar bisa memancing perkututnya yang telah mati. Hingga pada suatu malam, usahanya membuahkan hasil. Seorang gadis manis berlesung pipi berhasil membangunkan p3rkurutnya. Namun karna sikap tempramental dan arogannya membuat si gadis katakutan dan memutuskan melarikan diri. Setelah 4 tahun berlalu, Daniel kembali bertemu gadis itu. Tapi siapa sangka, gadis itu telah memiliki tiga anak yang lucu-lucu dan pemberani seperti dirinya.
____
"Unda angan atut, olang dahat na udah tami ucil, iya tan Ajam?" Azkia
"Iya, tadi Ajam udah anggil pak uci uat angkap olang dahat na." Azam
"Talau olang dahatnya atang agi. Tami atan ucil meleka." Azura.
_____
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pena Remaja01, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
Ayang melangkah gontai meninggalkan hotel tersebut, sesekali tangannya menghapus bilir bening yang masih saja keluar di sudut mata. Perasaannya saat ini bercampur aduk antara senang mendapatkan uang untuk biaya operasi bundanya dan juga sedih karna telah kehilangan kohormatan.
Wanita Jalang! Ya, kata-kata pria di kamar hotel tadi kembali terngiang di telinga. Ayang merasa dirinya tak ubah seperti wanita yang dikatakan pria itu.
Andai saja bundanya tau apa yang telah di lakukannya, tentu wanita yang telah melahirkannya itu akan sangat kecewa.
'Maafkan Ayang Bunda, maaf kan Ayang. Ayang terpaksa melakukan semua ini karna tak ingin kehilangan Bunda. Ayang gak tau harus melakukan apa bunda.' Ayang merintih dalam hati sambil terus melangkah meninggalkan tempat yang telah merenggut kehormatannya.
Ayang berdiri di depan hotel dengan kedua tangan saling mengusap bahunya yang terbuka. Dinginnya udara pagi begitu menusuk tulangnya. Apalagi pakaian yang di gunakannya saat ini terbuka dimana-mana.
"Taksi, Neng?"
Ayang menoleh melihat seorang pria yang sedang berdiri di samping mobil. Ia mengangguk, lalu segera berjalan mendekati mobil tersebut.
Tiga puluh menit berselang, taksi yang di tumpangi Ayang berhenti di depan rumah sakit tempat bundanya di rawat. Setelah membayar dengan uang yang di berikan hajjah Rodiah tadi siang, Ayang segera turun dari mobil tersebut. Ia melangkah cepat menuju ruang UGD dimana Bundanya tadi di rawat.
Di depan ruang UGD, Ayang tidak melihat keberadaan Dani. Ruangan itu pun tertutup Rapat. Ayang coba mengintip ke dalam ruang UGD tersebut melalui jendela kaca transparan. Namun di sana ia tidak melihat keberadaan bundanya.
"Cari siapa Dek?"
Ayang menoleh pada seorang bapak-bapak yang berdiri tak jauh di belakangnya.
"Hm, saya nyari Bunda saya Pak."
Ayang agak risih melihat mata bapak-bapak itu yang seolah-olah sedang menelanjanginya.
"Ooh, mungkin sudah di pindahkan ke ruang inap. Mari, Mas bantu mencari ke ruangan lain."
Ayang semakin ketakutan apa lagi saat melihat jakun pria itu yang bergerak turun-naik.
"Gak usah pak, terimakasih." Segera Ayang berlari meninggalkan pria itu. Ia pergi ke depan menemui resepsionis yang berjaga ingin menanyakan keberadaan bundanya.
"Mbak, Bunda saya di pindahkan kemana ya?" tanyanya pada petugas yang berada di meja resepsionis.
"Nama pasien siapa?" tanya petugas itu.
"Halimah," jawab Ayang cepat, ia risih dengan pakaian yang di gunakannya saat ini.
"Ibu Halimah, pasien yang mengalami serangan jantung yang dirawat di ruang UGD siang tadi ya, dek?"
"Iya mbak."
"Maaf dek, malam tadi pasien sudah meninggal.Jenazahnya sudah di bawa pulang oleh keluarga."
Bagai di sambar petir, tubuh Ayang seketika lemah mendengar jawaban petugas itu. Bibirnya bergetar hebat. "Gak, gak mungkin!"
Kaki Ayang beringsut mundur, hingga menyentuh dinding di belakangnya, lalu jatuh ke lantai dan tak sadarkan diri.
.
.
.
Satu jam berselang, Ayang tersentak, segera ia duduk dari posisinya berbaring. "Bunda! Bunda!" teriaknya dengan nafas yang memburu.
Beberapa waktu yang lalu, Ayang pingsan saat mendengar petugas resepsionis yang memberitahukan bundanya telah meninggal. Para petugas kemudian membawa Ayang ke sebuah ruangan dan juga menghubungi nomor kontak hajjah Rodiah yang mewakili keluarga pasien.
"Ayang....Ayang. Yang sabar ya?" bujuk hajjah Rodiah sembil mendekap tubuh Ayang.
"Bu Hajjah, Bunda...Bunda mana?" tanya Ayang. Tangisnya pecah teringat kembali perkataan petugas resepsionis sebelum ia tak sadarkan diri.
Hajjah Rodiah mengusap lembut punggung Ayang, lalu mengambil dan membuka sebuah botol air mineral yang berada diatas meja dan memberikan pada Ayang. "Ayang minumlah dulu," bujuk hajjah Rodiah lembut.
Ayang mengambil botol minum itu dan meneguk setengah.
"Bu Hajjah, Bunda mana?" tanyanya dengan air mata yang telah berlinangan di pipi.
Hajjah Rodiah menghela nafas dalam-dalam. Ia tak kuasa menyampaikan kabar duka itu pada Ayang.
"Ayang, kita pulang yuk. Bunda sudah di rumah,," bujuk hajjah Rodiah.
"Bu Hajjah, Bunda baik-baik saja kan, Bu?" Ayang menatap dalam mata hajjah Rodiah mencari kebenaran di mata wanita paruh baya itu.
Hajjah Rodiah melengkungkan sedikit sudut bibirnya membentuk senyum tipis, meski saat ini matanya juga tampak berkaca-kaca. "Ayang, sebaiknya kita pulang dulu." Wanita paruh baya itu membantu ayang berdiri dari sofa yang mereka duduki.
"Bu Hajjah, jawab dulu, Bunda baik-baik saja kan?"
Diam, hajjah Rodiah tak mampu menjawab pertanyaan Ayang, matanya pun tak mampu menatap wajah Ayang.
Hajjah Rodiah menuntun Ayang berjalan ke mobilnya.
"Bastian, buka pintunya!" ujar hajjah Rodiah pada putranya.
Laki-laki sepantaran dengan abang kandung Ayang itu segera melakukan perintah ibunya.
Ayang dan hajjah Rodiah duduk di kabin belakang, wanita paruh baya itu senantiasa mengusap lembut bahu Ayang yang terbuka.
"Bu Hajjah, Abang Dani mana?"
"Abangmu sudah di rumah,"
"Bunda sudah sembuhkan, Bu Hajjah?"
Diam, dada wanita paruh baya itu terasa sesak ia menutup mulutnya agar suara isaknya tidak keluar.
Ayang kini menatap laki-laki yang tengah mengemudi.
"Bang Tian, Bunda Ayang sudah sehatkan?" tanyanya dengan suara yang bergetar.
Tak ada yang menyahut, dirinya bagaikan orang gila yang tengah bicara sendiri.
Firasat Ayang mulai tak enak.
"Bu Hajjah jawab, Bu! Bunda baik-baik saja kan?" desaknya sembari menggoyangkan bahu wanita yang duduk di sampingnya.
"Ayang, tenanglah!" Laki-laki yang tengah mengemudi bicara.
Isak tangis Ayang semakin menjadi, wanita yang sudah menjual kehormatannya itu menelungkupkan wajahnya diatas kedua paha sambil mulut terus memanggil bundanya.
.
.
.
.
Tiga puluh menit berselang. Dari jarak mobil berhenti, mata Ayang menatap nanar rumahnya yang kini terpajang bendera kuning.
Nafasnya memburu begitu cepat. "Bu Hajah, si-siapa yang meningal?" tanyanya dengan bibir yang bergetar.
Wanita yang telah berumur setengah abad itu lansung memeluk tubuh Ayang. "Nak, percayalah Allah lebih sayang pada Bundamu."
Tubuh Ayang lemah seketika dalam pelukan hajjah Rodiah. "Gak, gak mungkin! Bunda gak mungkin pergi ninggalin Ayang, ini gak mungkin! Bu Hajjah bohong, kan! Bunda gak mungkin pergi ninggalin Ayang!" gumamnya dengan air mata yang sudah berlinangan.
"Ikhlaskan lah, Nak. Agar beliau tenang di sisiNya." Hajjah Rodiah mengusap lembut puncak kepala Ayang, mencoba untuk menenangkannya.
"Bas, tolong buka pintunya, Nak," ujar hajjah Rodiah pada putranya yang juga tengah terisak di bangku kemudi.
"Iya, Umi." Laki-laki itu menyeka sudut matanya lalu turun dari mobil dan berjalan untuk membukakan pintu belakang.
"Ayang, ayo kita turun, Nak," ajak hajjah Rodiah sembari mengusap lembut punggung Ayang.
"Bastian, bantuin Umi, Nak,"
Laki-laki yang masih berdiri di samping pintu kemudi itu segera memegang tubuh Ayang membantunya turun dari mobil.
Saat ini tubuh Ayang bagai mayat hidup, hanya mulutnya yang terus bergumam menyebut bundanya.
"Ay, kenapa Lu lama sekali," Dani tiba-tiba datang menghampiri mereka.
yg ada ayang tambah stres dan membenci danil
lanjut kak/Drool/
hadirkan kebahagiaan untuk ayang
sudah 3 THN kok masih asih Tor...?
Ayahnya Ayang ada sangkut sama si Daniel?
vote untuk mu thor