Aku belum bisa mencintai sosok pria yang telah menikahiku. Kenapa? Karena, aku tak mengenalnya. Aku tidak tahu dia siapa. Dan lebih, aku tak menyukainya.
Pria itu lebih tua dariku lima tahun. Yah, terlihat begitu dewasa. Aku, Aira Humaira, harus menikah karena usiaku sudah 23 tahun.
Lantas, kenapa aku belum siap menikah padahal usiaku sudah matang untuk melaju jenjang pernikahan? Yuk, ikutin kisahku bersama suamiku, Zayyan Kalandra
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Umi Nurhuda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kisah Paman Tukimo
Malam demi malam. Dan hanya malam yang bisa membuat waktu terasa sangat panjang bagi sepasang jiwa yang telah disatukan dalam ikatan suci. Mereka berbaring berdampingan berselimutkan meja rendah. Kedua kaki mereka bercengkerama hangat di dalam kolong. Sementara, mata mereka menatap cakrawala malam dari balik pintu kaca geser balkon.
Langit di atas sana membentang megah, seperti layar bioskop tanpa batas. Bintang-bintang berkelip bagai lukisan hidup, menghiasi ruangan kecil mereka dengan cahaya-cahaya mungil yang berpendar lembut, seolah semesta sengaja mengadakan pertunjukan hanya untuk mereka berdua.
Sebuah kisah kecil sedang ditulis oleh bintang-bintang. Sebuah dongeng bisu tentang dua insan yang menemukan rumah. Sebuah film kehidupan yang disuguhkan Sang Pencipta, dengan suara hati mereka sebagai latar musiknya.
Semoga bintang-bintang itu, yang kini menjadi saksi, akan tetap bersinar untuk mereka selamanya.
...Tamat. Eh....
"Kak, di antara bintang-bintang itu... mana yang paling terang?" tanya Aira.
Zayyan melirik ke arahnya, senyuman tipis menghiasi bibirnya. "Nggak ada bintang yang lebih terang daripada bintang yang ada di sampingku ini, istriku."
Aira pura-pura manyun. "Ah, gombalan garing."
"Nggak suka, ya?" Zayyan mengernyit.
Bibir Aira pun melengkung, cukup memberi tanda bahwa gombalan suaminya berhasil membuatnya tersenyum malu-malu kucing. Lalu, menyenggol lengan suaminya dengan manja.
"Aih~ suka kok."
"Lucu banget kalo kek gitu."
Jari telunjuk Aira terangkat, menari-nari di udara, seolah menggambar sesuatu di antara hamparan bintang. "Aku bisa menggambar wajahmu di langit itu, kak," katanya, matanya bersinar riang.
"Mana?" sahut Zayyan, tertawa kecil.
Aira masih memutar-mutar jarinya di udara. "Yaa... harus pake mantra dulu lah."
"Apa mantranya?"
Dengan ekspresi lucu, Aira berseru, "Bismillaahirrahmaanirrahiim!"
Lalu ia menunjuk... "Tara! Udah jadi!" Ke arah suaminya. "Itu wajahmu!"
Zayyan terkekeh. "Idih, bisa aja kamu," ucapnya, memandang Aira dengan penuh sayang.
Aira menatap Zayyan lebih serius. "Kak, menurut kamu... aku udah bener belum sih? Ikut tinggal di rumah baru ini sama Kamu, bukan di rumah Ibu Sukamti?"
Zayyan mengernyit kecil, lalu memandang Aira dengan penuh perhatian. "Kenapa kamu tiba-tiba kepikiran begitu?"
Aira menarik napas panjang, seperti merangkai kata-kata dalam hatinya. "Soalnya... biasanya kan, menantu itu tinggalnya bareng mertua. Apa aku egois ya, ninggalin Ibu? Apa aku malah kayak anak yang durhaka?"
"Bukan durhaka, Aiku," ucap Zayyan lembut, "Hanya saja... aku juga nggak terbiasa hidup bersama mereka. Karena itu, aku rasa lebih baik kalau kita punya rumah sendiri."
Aira memiringkan kepala, menatap suaminya dengan rasa ingin tahu yang bening. "Kamu... emang nggak terlalu dekat sama mereka, ya?"
"Gimana ya," Zayyan menggaruk pipinya yang tak gatal, "aku sendiri bingung... kenapa Ibu Sukamti nggak pernah bisa menerimaku sepenuhnya. Dan itu membuat kami jadi nggak bisa deket."
Aira mengernyit geli, "Jangan-jangan, dulu kamu pernah nakal dan bikin Ibu Sukamti kecewa berat?"
Zayyan tertawa pelan, "Nakal gimana, hum?" lalu menjepit pipi Aira hingga mengerucut lucu. "Aku berusaha rajin belajar, patuh, nggak membantah, bahkan kerja keras buat ngebanggain beliau. Tapi... tetap saja, hatinya seakan tidak bisa kululuhkan."
Ia menghela napas panjang, lalu menatap langit malam yang bertabur bintang, "Aku bahkan... nggak pernah bisa melihat sosok seorang ibu di mata Ibu Sukamti. Entahlah, sampai sekarang pun aku tak tahu kenapa beliau membenciku begitu dalam."
Aira terdiam, mendengarkan.
Zayyan melanjutkan, "Malah, justru Paman Tukimo dan keluarga Paman Sukimo yang menerima aku dengan tangan terbuka. Mereka membiayai sekolahku, dan Paman Tukimo mengajakku merantau di kota."
Aira menggeser tubuhnya, memeluk lengan suaminya erat-erat. "Perjuanganmu keras juga ya, Kak," gumamnya dengan suara sendu. "Meskipun aku sedih mendengar sikap Ibu Sukamti, tapi aku bersyukur... ada Paman Tukimo dan keluarga Paman Sukimo yang memperlakukanmu seperti keluarga sendiri. Aku bahagia, karena kamu pun layak untuk dicintai sepenuh hati."
Zayyan menoleh, tersenyum kecil, lalu mengusap kepala istrinya penuh sayang. "Kalau begitu... cintai aku terus ya, Humairaku," bisiknya.
Aira mengangguk.
Zayyan menunduk perlahan, mengecup bibir Aira dengan penuh kelembutan. "Emh~"
Aira tersenyum di tengah sentuhan itu. Tatapan mereka bertemu dalam keheningan yang hangat, saling menyelam ke kedalaman mata masing-masing.
Perlahan, ciuman itu tidak hanya tersambut, tapi juga terajut di antara keduanya, menghangatkan jarak, mempererat keintiman, dan mengukuhkan rasa seperti taman rahasia di dalam hati. Langit luas tersenyum, memberi ruang bagi cinta mereka untuk bernafas lebih dalam.
Dan...
Ketenangan langit malam itu seolah mengantarkan kisah ke sudut lain dunia. Sebuah warung kecil di pinggir jalan, tempat beberapa pria paruh baya berkumpul, membiarkan waktu berlalu sambil duduk santai di atas bangku kayu tua.
Paman Tukimo, dengan tubuh bersandar malas, menatap langit sambil mengepulkan asap cerutu ke udara malam. Matanya berbinar kecil, seakan menemukan secercah harapan di antara bintang-bintang yang bertaburan.
"Langitnya tenang banget malam ini," gumamnya, suara parau namun penuh kehangatan. "Aku yakin, si Jay-boy-ku lagi menikmati malam penuh bintang bareng istrinya tercinta."
Ia tersenyum kecil, seraya menatap kosong ke kejauhan. "Melihat kalian bahagia, itu sudah cukup bagi Paman, Le. Kalau hidup Paman harus berakhir di bawah langit seindah ini, Paman rela," bisiknya pelan, hampir seperti doa yang dibisikkan pada semesta.
Suasana yang syahdu itu mendadak pecah oleh teriakan sahabatnya. "Hoi, Tukim! Ente mau mati sambil ngabisin dua bungkus cerutu itu?!" seru pria bertopi lusuh, membuat yang lain tertawa lepas.
"Udah, jangan cuma ngudud terus," sahut satu lagi sambil menyodorkan secangkir kopi hitam dan piring singkong goreng hangat. "Ini lho, kopi sama singkong buat nemenin main karambol. Jangan malah jadi arwah penasaran di sini."
Namun Tukimo hanya tersenyum samar, seolah suara teman-temannya mengalir begitu saja tanpa mampu mengusik hatinya. Dengan lirih, ia menyebut nama yang telah lama bersarang di sudut terdalam jiwanya,
"Kasandra..."
Asap cerutu melayang tinggi, mengaburkan pandangan matanya yang perlahan berkaca-kaca. Menyimpan rindu, kenangan, dan cinta yang tak pernah benar-benar padam.
Dengan gerakan perlahan, Tukimo merogoh tas selempang lusuh yang setia tergantung di dadanya. Dari dalamnya, ia mengeluarkan sebuah buku kecil. Kulitnya sudah usang, sudut-sudutnya mengelupas, namun bagi Tukimo, buku itu lebih berharga dari emas manapun di dunia ini.
Buku kecil itu, dialah 'diary' rahasia Paman Tukimo. Tempat di mana ia mengunci semua kenangan, semua rasa yang tak pernah bisa ia ucapkan.
Tukimo membuka lembar-lembar usang itu. Di dalamnya, tergurat tulisan tangan yang kadang bergetar, kadang tegas. Dan semuanya itu, tentang satu nama: Kasandra Kinanthi.
Ia teringat tentang masa muda mereka, tentang tawa Kasandra yang dulu pernah mengisi hari-harinya. Tentang harapan kecil yang tumbuh diam-diam di hatinya.
Namun segalanya hancur, ketika Dikromo mengotori segala yang Tukimo jaga dengan kasih. Laki-laki rakus itu tergoda oleh kecantikan lembut Kasandra. Ia berani menodai kehormatan Kasandra yang polos.
Tergila-gila dan ia hancurkan batasan sampai mengabaikan akal sehatnya sendiri.
Dan dari luka itu, lahirlah bocah kecil yang tak pernah diminta untuk lahir, namun membawa serpihan cinta yang tak pernah padam di hati Tukimo.
😢💔😔