Malam itu, Ajela dijual oleh ibunya seharga satu miliar kepada seorang pria yang mencari gadis perawan. Tak ada yang menyangka, pria tersebut adalah aku! Aku yang membeli Ajela! Dia dipaksa menjalani sesuatu yang belum pernah dia lakukan sebelumnya, dan Mama masih tega menganggap Ajela sebagai wanita panggilan?
Ajela dianggap tak lebih dari beban di keluarganya sendiri. Hidupnya penuh penderitaan—dihina, diperlakukan tidak adil, bahkan sering dipukuli oleh ibu dan kakak tirinya.
Demi mendapatkan uang, Ajela akhirnya dijual kepada seorang pria yang mereka kira seorang tua bangka, jelek, dan gendut. Namun, kenyataan berkata lain. Pria yang membeli Ajela ternyata adalah pengusaha muda sukses, pemilik perusahaan besar tempat kakaknya, Riana, bekerja.
Bagaimana Riana akan bereaksi ketika menyadari bahwa pria yang ia incar ternyata adalah orang yang membeli Ajela? Dan bagaimana nasib Ajela saat malam kelam itu meninggalkan jejak kehidupan baru dalam dirinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Banggultom Gultom, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
"Itu tidak mungkin, Tante. Kalau pun janin yang dikandung wanita itu benihnya Alvian, apa Tante mau menikahkan mereka?"
"Tidak! Jangan sampai itu terjadi, Riana!"
Tiba-tiba Mama Veny merasakan dadanya terasa sesak tak terpungkiri, disusul dengan denyutan di kepala yang membuat sekeliling terasa memburam dalam penglihatannya. Ia bahkan merasa seluruh tenaga yang dimilikinya menghilang.
Hingga akhirnya ia ambruk dan tak sadarkan diri lagi.
Melihat itu, Riana pun jadi sangat panik. Ia tak pernah menyangka bahwa reaksi Mama Veny akan seperti ini. Padahal niatnya tadi hanyalah agar Mama Veny mendesak Alvian supaya cepat meresmikan hubungan mereka.
"Tante? Bangun, Tante!"
**
**
Akhir-akhir ini Alvian sangat membenci pikirannya sendiri.
Bayangan Ajela tak pernah lepas dari ingatan. Selalu saja menghantui. Bahkan saat Alvian mencoba melupakan dengan menyibukkan diri di kantor.
Namun, hasilnya sama saja.
Apalagi semalam ketika menemui Ajela di kamar kost.
Alvian terfokus dengan perutnya yang membesar. Ada gerakan-gerakan lucu di perut yang tertangkap oleh penglihatannya. Bayi di dalam sana sangat aktif bergerak hingga muncul tonjolan kecil pada permukaan perut. Sangat menggemaskan!
"Kenapa aku jadi ingin sekali menyentuh perutnya?"
Alvian tersadar dari lamunan. Ia melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Sekarang sudah jam pulang kantor. Tadi Riana juga meminta izin untuk pulang lebih awal, tidak tahu akan ke mana. Alvian pun memutuskan meninggalkan gedung kantor.
Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Laki-laki itu menyempatkan diri mampir ke salah satu restoran favoritnya yang berada tak jauh dari kantor. Kebetulan ia memang belum makan apapun seharian ini.
Sehingga membuat perutnya terasa perih.
Alvian sudah duduk di meja favoritnya yang ada di sudut ruangan dan dekat dari jendela.
Seorang waiters datang untuk
membawakan pesanannya.
Baru akan menyantap menu lezat itu, pikirannya seketika tertuju pada semangkuk mie instan yang telah mengembang buatan Ajela . Entah mengapa memikirkan itu saja membuat hatinya terasa seperti ditusuk ribuan jarum.
Niat Alvian untuk makan pun urung. Selera makannya lenyap seketika. Ia mengangkat tangan sebagai simbol panggilan kepada seorang waiters.
"Tolong semuanya dibungkus saja. Sekalian tambah satu porsi teriyaki chicken," pintanya.
"Baik, mohon ditunggu."
Berselang beberapa menit kemudian, Alvian meninggalkan restoran. Berkendara tanpa arah dan tujuan. Pikirannya kosong. Hingga saat ia memasuki sebuah gang sempit dan berhenti di depan sebuah rumah berlantai dua. Ia baru tersadar.
Kemudian melirik makanan yang tadi dibelinya di restoran.
Sepertinya tidak apa-apa kalau ia berikan makanan itu kepada Ajela . Dari pada makanannya dibuang.
Alvian turun dari mobil dan segera menuju kamar yang ia datangi kemarin. Namun, setelah beberapa menit mengetuk tak ada respon dari penghuni di dalamnya.
"Ke mana dia? Seharusnya di jam segini sudah ada di rumah, kan?"
Pintu sebuah kamar tepat di samping kamar Ajela terbuka. Seorang wanita tampak keluar dari sana. "Cari siapa?"
"Saya mau bertemu dengan wanita yang tinggal di kamar ini.Apa dia belum pulang?"
Ada kerutan pada dahi wanita itu. Sorot matanya menyisiri tubuh Alvian dari ujung kaki ke ujung kepala. Tatapannya seakan penuh tanya. Mau apa laki-laki berpenampilan eksklusif ini mendatangi Ajela ?
"Ajela sudah pindah tadi sore," ucapnya.
"Pindah?" Alvian tampak bingung. Mungkinkah Ajela diusir oleh pemilik kontrakan karena tidak mampu membayar sewa? Tetapi, bukankah kemarin Alvian memberi perintah kepada Bara untuk membayar sewa kamar itu selama satu tahun? Atau jangan-jangan Bara tidak mengerjakan perintahnya?
"Iya. Tadi ada yang datang jemput."
"Siapa?"
"Kalau itu saya tidak tahu. Dia seorang laki-laki, mungkin seumuran Bapak. Tadi saya tidak sempat tanya-tanya, karena mereka terburu-buru. Mungkin suaminya."
"Apa jangan-jangan laki-laki yang menjemputnya adalah ayah dari anaknya?" Alvian menebak dalam hati.
Alvian termenung. Sepertinya ia melakukan kesalahan besar dengan mendatangi tempat itu hanya untuk membawakan makanan. Kenapa juga ia harus peduli dengan anak dalam kandungan Ajela ? Toh, bukan benihnya.
Baru saja Alvian akan meninggalkan tempat itu, tiba-tiba ponsel miliknya berdering. Pada layar tertera nama Riana.
"Ya, Riana," ucap Alvian sesaat setelah panggilan terhubung.
"Kamu di mana, Al?" Suara Riana terdengar sangat panik, menciptakan kerutan di kedua alis tebal Alvian.
"Di jalan, mau pulang."
"Bisa ke rumah sakit sekarang? Tante Veny tadi pingsan di kafe.Aku ada di rumah sakit sekarang!"
"Mama pingsan? Bagaimana bisa?" Tentu saja kabar itu mambuat Alvian ikut panik. Ia langsung berjalan cepat ke mobil.
"Aku tidak tahu. Tadi kami Cuma ngobrol dan tiba-tiba tante pingsan."
Alvian semakin panik.
Setahunya sang mama tidak memiliki riwayat penyakit apapun dan selama ini Mama Veny termasuk orang yang menjaga pola makannya.
"Ya sudah, kirim alamat rumah sakitnya. Aku segera ke sana."
Alvian memutus panggilan. Kemudian buru-buru meninggalkan tempat itu.
**
**
Setibanya di rumah sakit, Alvian harus dikejutkan dengan penjelasan dokter. Mama Veny mengalami serangan jantung ringan. Beruntung saat ini sang mama sudah dalam keadaan sadar dan kondosinya stabil.
Alvian sudah berada di ruangan Mama Veny. Wanita itu duduk bersandar dengan wajah pucat dan tubuh masih lemah.
"Mama kenapa bisa pingsan, sih?" tanya Alvian.
Riana yang sejak tadi berdiri di depan ruangan sudah gemetar. Bagaimana jika Mama Veny memberitahu Alvian tentang apa yang tadi ia adukan sampai Mama Veny pingsan. Tidak hanya akan ditendang dari perusahaan, Riana pasti akan ditendang jauh-jauh dari kehidupan Alvian.
"Mama juga tidak tahu. Tiba-tiba saja mama pusing dan sesak. Untung tadi ada Riana, kalau tidak, mama tidak tahu apa yang akan terjadi."
Rasa takut yang dirasakan Riana seketika menghilang. Lega. Beruntung Mama Veny bisa menjaga rahasia.
"Al, mama boleh minta sesuatu ke kamu?"
Alvian mengangguk saja.
Untuk saat ini apapun keinginan mama pasti akan ia turuti. Apalagi mama dalam keadaan sakit.
"Mama sangat berharap kamu bisa menerima Riana. Dia itu wanita yang baik dan tulus sama kamu."
Alvian bungkam. Tak tahu harus memberi jawaban apa.
"Kalau kamu memang belum siap menikah, tunangan saja dulu."
"Tapi, Mah-"
"Al, mama ini sudah tua.
Melihat kamu menikah dengan Riana adalah keinginan terbesar mama."
Alvian menghembuskan napas panjang. Beberapa menit ia habiskan untuk menimbang ucapan mamanya. Wajah wanita itu tampak sangat memelas, membuat Alvian tidak tega.
"Ya sudah kalau itu keinginan mama. Tapi, aku belum mau menikah. Aku dan Riana akan tunangan dulu."
"Benar, Al?"
"Iya, Mah."
Larut dalam rasa bahagia, Mama Veny memeluk putranya itu. "Terima kasih, Al. Maafin mama yang agak memaksa. Mama cuma takut kamu akan terjebak dengan wanita yang tidak baik di luar sana. Jangan sampai kamu terjebak dan punya anak di luar nikah. Mama lebih baik mati daripada itu terjadi ."
Di luar ruangan, Riana tak dapat menyembunyikan kebahagiaannya. Seperti seseorang yang baru saja memenangkan undian besar. Jika saja tidak sedang berada di tempat umum, ia pasti sudah melompat kegirangan.
"Yes! Ada gunanya juga menakut-nakuti Tante Veny. Ah, sekarang Ajela dan anaknya sekalipun tidak akan bisa menghalangi aku untuk memiliki Alvian."
**
**
Waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam ketika Ajela berjalan kaki dengan menyeret sebuah koper kecil. Udara malam itu cukup dingin menusuk ke tulang. Bumi sedang diguyur hujan deras. Sebuah halte bus menjadi pilihan Ajela untuk mengistirahatkan kakinya yang pegal sekaligus berteduh.
Malam ini Ajela tak tahu harus ke mana. Tak ada teman atau saudara untuk tempatnya mengadu. Ia sendirian. Sebatang kara. Sementara ada nyawa yang bersemayam di dalam rahimnya yang butuh perlindungan.
"Sayang, kamu yang kuat, ya.
Kita pasti bisa melewati semua ini. Begitu kamu lahir nanti, mama akan bekerja lebih keras, supaya kamu tidak kekurangan apapun."
Ajela membuka tas dan mengeluarkan sebuah dompet. Ia masih memiliki beberapa ratus ribu. Mungkin masih cukup untuk membayar kontrakan baru yang sederhana. Dan sisanya bisa untuk bekal hidup beberapa hari ke depan sambil mencari pekerjaan baru.
Ajela tidak akan membiarkan anaknya nanti mengalami kemalangan sepertinya di masa kecil. Dia akan hidup dalam limpahan kasih sayang, dan Ajela akan melakukan apapun untuk itu.
Perhatian Ajela tertuju pada sebuah brosur yang menempel di dinding kaca halte bus. Sebuah iklan lowongan kerja di katering. Mungkin tidak ada salahnya jika Ajela melamar kerja di sana. Ia memiliki pengalaman bekerja di katering dan bisa memasak beberapa menu.
**
**
Sementara di seberang sana Alvian sedang mengemudi. Menatap derasnya guyuran hujam malam ini. Rencananya ia akan pulang sebentar ke rumah untuk mandi dan ganti baju. Kemudian ke rumah sakit lagi untuk menemani mama malam ini. Kata dokter, jika kondisi mama sudah membaik, besok pagi sudah boleh pulang.
Sepanjang jalan Alvian memikirkan apakah keputusannya untuk menerima perjodohan dengan Riana sudah tepat atau tidak. Entah akan ada penyesalan di hari mendatang atau tidak. Ia tak tahu. Yang pasti ia melakukan semua hanya untuk mamanya.
Sekilas Alvian melirik ke arah halte. Dari sana ia dapat melihat seorang wanita sedang duduk seorang diri dengan menyilangkan kedua tangan di depan dada.
Mungkin sedang menahan tikaman udara dingin.
"Aku pasti sudah gila. Kenapa aku seperti melihat Ajela ?"
Lagi,-lagi pikiran Alvian tertuju pada Ajela . Bagaimana jika Ajela sedang kedinginan, kehujanan atau bahkan sedang kelaparan di luar sana. Namun, pikiran konyol itu ia buang jauh-jauh.
Alvian menekan pedal gas, membuat mobil melaju meninggalkan tempat itu.
**
**
Di rumah Riana tampak penuh semangat ketika memberitahu kejadian tadi pada Bu Nana. Ia berbicara dengan mata berbinar-binar.
"Alvian sudah menyetujui keinginan Tante Veny untuk menjodohkan kami, Bu. Akhirnya aku akan mendapatkan Alvian!"
"Wah, itu benar-benar berita bagus, Riana! Ibu ikut senang. Ingat, kalau nanti kamu menikah dengan Alvian dan hidup senang jangan lupakan ibu."
"Tidak lah, Bu. Pokoknya Ibu juga akan ikut hidup senang kalau aku menikah dengan Alvian nanti. Aku akan beli rumah yang lebih besar untuk Ibu."
Keduanya tertawa bahagia. Namun, kemudian Bu Nana ingat semalam saat Riana mengamuk membabi buta dan menghancurkan seisi kamarnya karena marah pada Ajela .
"Tapi bagaimana dengan Ajela ? Bukannya kamu bilang Ajela sedang hamil anak Alvian?"
"Aku sudah bereskan dia, Bu.
Aku komplain pakai nama Alvian agar dia dipecat dari kafe itu. Tadi aku juga mendatangi dia di kontrakannya."
"Untuk apa kamu ke kontrakannya?"
"Buat ancam dia lah. Aku juga habis sogok tetangga sebelah kamarnya. Pokoknya urusan Ajela sudah beres, Bu. Sekarang tidak ada lagi yang bisa menghalangi aku mendapatkan Alvian."
**
**
Satu minggu kemudian ....
Berita tentang pertunangan Alvian dan Riana tersebar begitu cepat di kalangan karyawan.
Banyak yang mengeluh-eluhkan keberuntungan Riana yang akhirnya mendapatkan big boss, padahal ia hanya seorang sekretaris.
Acara pertunangan pun akan digelar dalam beberapa hari mendatang. Riana dan Mama Veny sudah sibuk menyiapkan acara pertunangan yang rencananya akan digelar di sebuah hotel mewah.
"Pertunangan kamu dengan Riana bikin heboh seisi kantor," ucap Galih, yang tiba-tiba masuk ke ruangan Alvian dengan membawa beberapa map.
Alvian yang masih berkutat dengan laporan perusahaan hanya melirik sekilas. Nyatanya ia tidak begitu peduli dengan berita-berita yang beredar. Semuanya terasa hampa. Tak ada sedikit pun rasa bahagia di hatinya.
"Oh ya, aku masih penasaran apa yang membuatmu mau menerima perjodohan itu.
Bukannya kamu tidak suka dengan wanita karier dan lebih suka wanita rumahan?" lanjut Galih, memandang Alvian penuh tanya.
"Ini demi mama. Lagi pula saat ini aku belum punya calon lain. Kupikir tidak ada salahnya menuruti keinginan mama."
"Wow!" Galih terpukau.
Seorang Alvian yang selama ini menentang perjodohan itu dengan keras kini tunduk pada kekuasaan ibunda ratu. "Ajaib sekali. Ini benar-benar di luar prediksi BMKG."
"Dan akan di luar prediksi Suku Maya kuno kalau kamu tidak cepat-cepat keluar dari sini!" balas Alvian.
Mendadak suasan ruangan itu terasa horor bak kuburan bagi Galih. Apalagi setelah melihat wajah Alvian yang datar.
**
**
Riana sedang merasa menduduki tahta tertinggi. Sejak Alvian memutuskan untuk menerima perjodohan itu, ia jadi besar kepala dan kerap berbuat seenaknya terhadap staf lain. Ia tidak akan segan-segan menegur atau memarahi siapapun yang melakukan kesalahan sekecil apapun.
Siapapun yang berani membantah akan ia beri ancaman berupa pemecatan. Sebagai calon istri bos, tentu saja banyak yang akan ketakutan dengan ancaman itu.
Seperti saat ini, ia sedang merasa kesal setengah mati setelah hampir terpeleset di lobi. Seorang petugas kebersihan pun tak luput dari amukannya.
"Kamu ini kalau kerja yang benar. Ingat saya adalah calon istri Tuan Alvian dan saya bisa memecat kamu kapan saja!"
"Saya benar-benar minta maaf, Bu. Saya akan pel ulang lantainya." Wanita itu menundukkan kepala.
Tak lagi berani mengangkat kepala untuk menatap wanita di hadapannya. Beberapa hari belakangan ini sikap Riana memang semakin arogan.
"Yang bersih, saya tidak mau terpeleset lagi karena kerjaan kamu yang tidak becus!"
"Baik."
Riana yang sibuk memarahi karyawan bahkan tidak menyadari kedatangan Mama Veny.
Mama Veny berada dalam posisi cukup berjarak dengan Riana, namun masih dapat mendengar suara bentakan keras Riana.
Mama Veny sedikit terkejut. Sebab ini pertama kalinya ia melihat Riana menegur seorang pekerja dengan kalimat yang menurutnya cukup kasar. Padahal Alvian saja yang pemilik perusahaan tidak pernah memperlakukan karyawannya sekasar ini.
Pelan-pelan wanita itu mendekat dan berdiri tepat di belakang Riana. Petugas kebersihan yang ada di sana tampak menunduk.
"Setelah ini bersihkan ruangan saya! Awas kalau kerjaan kamu tidak beres!"
"Riana...."
Riana seketika tersentak mendengar suara yang menyapa dari belakang. Tentu saja ia hafal benar pemilik suara itu.
Ragu-ragu ia menoleh. Riana hanya dapat mengulas senyum saat wanita itu menatapnya penuh tanya.
"Ada apa, Riana? Kenapa kamu marah-marah?"
Gugup, Riana mengusap punggung lehernya. "Aku tidak marah, Mah. Aku cuma menegur karyawan yang kerjanya kurang bagus. Lantainya terlalu licin. Kalau ada yang jatuh kan bahaya."
Riana melirik wanita petugas kebersihan tadi. Sikapnya yang galak tadi berubah ramah seketika.
"Oh ya, tumben Mama tiba-tiba ke kantor?" Sejak menyetujui perjodohan itu, Riana mengganti panggilan dari 'tante' menjadi 'mama'.
"Mama ke sini untuk menanyakan soal mami kamu. Mami kamu akan pulang di hari pertunangan kalian, kan?"
Pertanyaan itu membuat sekujur tubuh Riana terasa meremang.
Mami? Mami dari mana?
Mami yang selama ini mengurus perusahaan tambang di luar negeri hanyalah karangan bebas Riana semata. Tokoh fiktif yang dibuatnya dengan penuh kebohongan.
Bersambung ~