"Ingat, saat di kampus kita adalah dosen dan mahasiswa, jadi bersikap sewajarnya."
"Hayolo, dosen mana yang ngajak mahasiswanya ke rumah?"
~
Lolos SNBP jurusan keperawatan ternyata tak membuat impian Jihana Soraya menjadi perawat bisa terkabul. Besarnya biaya yang harus dikeluarkan membuat bunda melarangnya kuliah. Apalagi bunda memang menganggap kuliah itu sia-sia.
Kecewa dengan pemikiran pendek bundanya, Jihan malah tanpa sengaja berkeluh kesah pada tetangga barunya yang ia panggil Om Lino. Pria itu cukup ramah, tapi dia tampak sangat kaku dan bahasanya pun baku sampai Jihan menggelarinya KBBI berjalan.
Om Lino menyarankan satu solusi pada Jihan, yang menurutnya sangat gila. Menikah dengan pria itu, maka dia akan membiayai seluruh pendidikan Jihan. Tadinya Jihan menolak, tapi ketika keadaan semakin mendesak dan ia tidak memiliki pilihan lain, Jihan pun menerimanya.
Jihan seketika merasa Om Lino sudah seperti sugar daddynya saja. Tapi tunggu dulu! Ternyata Om Lino juga dosennya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Licia Bloom, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Phobia Kucing
“AAAAAAA!”
Dengan refleks, aku langsung lari sekencang-kencangnya, menjauh dari makhluk berbulu oranye yang mengeong itu. Tapi gila, bukannya berhenti, kucing itu malah mengejar aku seperti anjing!
“Ini sejak kapan kucing jadi kayak anjing, sih?! Jangan kejar aku, woi!” aku teriak sambil terus berusaha menjauh. “BUNDAAA!”
Aku panik dan langsung berlari ke pintu rumah Om Lino. Tapi … pintunya nggak bisa dibuka! Tanganku gemetaran mencoba membuka kunci pintu yang ternyata pakai sistem PIN. Sial, kenapa hidupku jadi seperti adegan film horor begini?
“Meow!”
“Diem di sana! Jangan deket-deket aku!” Aku mengibas-ngibaskan tangan, mencoba mengusir si kucing. Tapi bukannya pergi, dia malah makin mendekat, berusaha menggosokkan tubuhnya di kakiku.
“Hush! Hush!” aku makin panik, sementara tangan terus berusaha membuka pintu. Tapi sia-sia.
“Om! Tolong! Om Lino!” aku teriak sekencang-kencangnya.
Nggak lama, aku mendengar langkah kaki yang cepat mendekat. Om Lino muncul di ambang pintu ruangan lain dengan ekspresi bingung.
“Jihan, ada apa?” tanyanya dengan nada khawatir.
Begitu Om Lino mendekat, kucing oranye itu berlari ke arahnya. Tapi, yang bikin aku makin syok, ada dua kucing lain yang muncul di belakang Om Lino!
Aku langsung lemas. Kakiku gemetar.
“Jihan?” Om Lino mendekat, tapi aku langsung mengangkat tangan, menyuruhnya berhenti.
“Jangan mendekat!” seruku sambil mundur ke dinding.
Om Lino berhenti, menatapku dengan bingung. “Kamu kenapa?”
Aku mendengus frustrasi. Bukannya jelas, ya? “Om, jauhin kucingnya! Saya nggak suka sama kucing!”
“Kamu takut dengan kucing?” Om Lino terlihat terkejut, seolah nggak percaya.
“Iya, Om! Cepetan jauhin mereka!” Aku memelototi tiga kucing itu yang sekarang berdiri di sekitar Om Lino.
Om Lino mengangguk, lalu memanggil satu persatu kucingnya dengan nada lembut. “Kinako, Minto, Dorito, ayo sini.”
Serius? Nama mereka Kinako, Minto, Dorito? pikirku sambil memandang Om Lino seperti dia alien.
Tapi, bukannya menjauh, salah satu kucing, yang kurasa bernama Kinako, malah mendekat lagi. Kali ini dia benar-benar menggosokkan tubuhnya ke kakiku.
“Om! Apa-apaan ini?! Kok malah makin deket?!” aku teriak dengan napas terengah-engah.
“Kinako, sini!” Om Lino mencoba memanggilnya lagi, tapi kucing itu tetap ngeyel.
Aku sudah nggak kuat. Rasa takut bercampur frustrasi membuatku langsung berlari ke arah Om Lino untuk meminta perlindungan.
Tapi, sial, langkahku terlalu cepat. Aku kehilangan keseimbangan dan … bruk! Aku hampir jatuh, kalau saja Om Lino nggak sigap menangkap tubuhku yang menerjangnya.
“Om, jauhin kucingnya! Saya udah bilang saya nggak suka kucing! Saya geli banget lihatnya! Nggak cuma geli lagi, saya takut! Tolong jauhin mereka, Om!” aku teriak setengah histeris, memeluk erat apa saja yang bisa kupegang.
Om Lino tampak bingung, mencoba menenangkan. “O-oke, Jihan. Tapi turun dulu—”
“Cepetan jauhin, Om! Saya tuh phobia kucing!”
“Iya, tapi—”
“HUAA! Si oren kenapa makin deket?! Hush! Hush!” aku semakin panik, tanganku sibuk mencoba mengusir si oren yang masih saja mendekat.
“Om Lino, tolong jauhin mereka!”
Om Lino akhirnya berhenti mencoba bicara dengan sabar dan malah menatapku dengan alis terangkat. “Bagaimana saya bisa menjauhkan mereka kalau kamu saja tidak mau turun dari gendongan saya?”
Hah? Apa?!
Aku langsung membeku. Baru sadar, dari tadi aku melingkarkan tangan di leher Om Lino dengan kaki di pinggangnya seperti anak kecil yang takut jatuh.
Astaga, posisi apa ini?
“Om, maaf banget. Tapi bisa tolong bawa saya keluar?” pintaku dengan suara kecil. Aku bahkan nggak berani menatap wajahnya. “Saya nggak berani turun, huhu.”
Om Lino menghela napas, lalu tanpa komentar mulai berjalan ke arah pintu depan. Dengan aku yang masih bergelantungan di tubuhnya, dia membuka pintu dan melangkah keluar rumah.
Begitu kami sudah di luar, dia berhenti dan menatapku datar. “Sekarang sudah mau turun?” tanyanya dengan nada lelah.
“I-iyah. Maaf, Om.” aku buru-buru turun, wajahku terasa panas karena malu. Begitu kakiku menyentuh tanah, aku langsung mengatur napas, mencoba menenangkan diri.
Untungnya, kucing-kucing itu tetap berada di dalam rumah. Om Lino memastikan pintunya tertutup rapat. Aku menghela napas lega, meskipun rasa malu masih menggerogoti.
“Om—” Aku baru mau bicara ketika tiba-tiba Om Lino terdiam. Pandangannya tertuju ke arah belakangku dengan ekspresi kaget.
“Bunda kamu ...,” gumamnya.
“Hah? Apa?” aku langsung menoleh ke belakang.
Dan … astaga. Di sana berdiri Bunda, dengan tangan di pinggang dan tatapan tajam yang penuh tanda tanya.
“Jihan!” serunya keras. “Kalian tadi habis ngapain?!”
Mati aku!
Wajahku memerah seketika. “B-bunda, ini bukan seperti yang Bunda pikirin!” buru-buru aku mencoba menjelaskan. Tapi, melihat ekspresi Bunda yang semakin curiga, aku tahu ini bakal panjang.
Sementara itu, Om Lino hanya menundukkan kepala sedikit, lalu menatapku dengan tatapan you’re on your own.
.........
"Kan udah dibilang, Jihan sama Om Lino gak ngapa-ngapain, Bundaaa!" Aku berusaha menjelaskan sambil menatap Bunda dengan wajah setengah memelas. Ini sudah kesekian kalinya karena sampai di rumah pun, bunda masih menatapku curiga.
“Halah. Kalau gak ngapa-ngapain, kenapa kamu sampai digendong dia? Mana gendong depan lagi. Kalian habis ngelakuin yang enggak-enggak, ya?” suara Bunda semakin nyaring, matanya menyipit penuh curiga.
“Astaghfirullah, Bunda! Jihan itu anak yang sholehah, ya!” Aku hampir memekik. “Mana berani Jihan kayak gitu. Dosanya gede tau!”
“Sholehah apanya? Sholat aja kalau gak diingetin masih bolong-bolong!”
Aku langsung terdiam. Skakmat banget.
“Aish ... pokoknya Jihan sama Om Lino gak ngapa-ngapain, Bun! Jihan udah bilang, itu gak sengaja. Refleks aja karena takut sama kucing Om Lino.” aku mencoba menenangkan nada suaraku, berharap Bunda percaya. “Kan Bunda tau, Jihan phobia kucing.”
“Gak usah banyak alasan—”
“Masa Bunda gak percaya sama Jihan, sih? Dikira anaknya cewek gak bener apa?” aku menatap Bunda, merasa sakit hati dengan tuduhannya.
Bunda menghela napas berat. “Ya udah iya, Bunda percaya. Tapi kenapa kamu lama banget di rumah dia? Ngantar brownies doang sampai satu jam lebih.”
“Soalnya Jihan bantuin Om Lino beres-beres rumahnya.”
“Apa? Beres-beres rumah sendiri aja jarang, sok-sokan beresin rumah orang lain?”
“Bunda tuh!” aku mendengus kesal dan membuang pandangan ke arah lain. Rasanya capek banget kalau Bunda mulai nyerocos kayak gini.
Aku udah balik ke rumah sekarang, tapi kejadian tadi masih bikin telingaku panas. Tadi Om Lino hampir kena interogasi Bunda juga. Untung aku buru-buru melarang. Lagian, ini kan bukan salah dia, malah aku yang ngerepotin mulu.
“Kamu suka ya sama dia?”
“Hah? Siapa?” aku langsung menoleh, alis terangkat.
“Ya dia, si tetangga baru itu.”
“WHAT THE—?!” aku hampir tersedak udara. “Bun! Apaan, sih? Ngaco banget pertanyaannya!”
“Kenapa ngaco? Orangnya baik, ganteng, keliatannya mapan juga. Siapa yang gak suka coba?”
“Masa iya aku suka sama om-om?!”
“Itu mah kamu aja yang nyebut dia om-om. Padahal masih muda gitu.”
“Aish, tau ah!” aku bangkit dari kursi, nggak mau lanjut debat.
“Jihan, mau ke mana kamu?”
“Keluar! Ada janji sama temen!”
“Keluyuran terus!”
Aku nggak peduli lagi sama teguran Bunda. Dengan langkah cepat, aku keluar dari rumah. Biar aja. Aku nggak mau ngomong sama Bunda dulu. Kepala udah penuh dan hati rasanya tambah kesal karena tuduhan tadi.