Diaz, CEO yang menjual bunga dan coklat setiap hari Sabtu. Dia mencari wanita yang cocok dengan sepatu kaca biru milik ibunya. Apa sebenarnya tujuan mencari wanita itu? Memangnya tidak ada wanita lain? Bukankah bagi seorang CEO sangat mudah mencari wanita mana pun yang diinginkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon El Nurcahyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tanda di Leher Eriva
Bab 8
Suasana di ruang tamu rumah Pak Wahyu berubah hening setelah Eriva dan Diaz hampir adu fisik. Tatapan tegas wanita itu cukup untuk membuat Diaz sedikit menahan amarahnya, meski tidak sepenuhnya mereda.
Namun, situasi semakin rumit ketika langkah berat terdengar mendekat, diikuti oleh sosok Kakek Guru yang dihormati semua orang, disusul Tuan Gunawan yang langsung memandang Diaz dengan sorot kecewa.
"Diaz!" suara Tuan Gunawan memecah keheningan, nada bicaranya penuh wibawa. "Aku tidak menyangka kau meninggalkan pertemuan penting hanya untuk... tindakan memalukan seperti ini. Menekan seorang wanita? Apa yang ada di pikiranmu?"
Diaz hendak membela diri, tapi Tuan Gunawan mengangkat tangannya, memberi isyarat agar Diaz tidak berbicara. "Tidak ada alasan yang cukup kuat untuk membenarkan perilaku ini. Sebaiknya kau pulang sekarang. Besok ada acara besar untuk kelangsungan perusahaan kita. Jangan sampai masalah ini merusak konsentrasi kita."
Diaz mengepalkan tangan, rasa frustrasi menguasainya. Biasanya, dia tidak pernah menerima teguran tanpa melawan. Namun, kali ini dia diam. Mungkin karena keberadaan Eriva, yang membuatnya enggan terlihat seperti pria pembangkang di hadapan wanita dengan kedudukan setinggi itu.
Atau mungkin karena rasa hormatnya pada Kakek Guru, yang berdiri memandangnya dengan tatapan bijak namun tegas.
“Baik,” jawab Diaz singkat, akhirnya mengalah.
Saat Diaz berbalik untuk pergi, Tuan Gunawan menghentikannya lagi. “Diaz, kau antar Nona Eriva ke hotel. Supaya dia bisa segera beristirahat.”
Diaz menoleh dengan kening berkerut. “Kenapa harus aku? Ada sopir keluarga, bukan?”
Sebelum Diaz bisa menolak lebih jauh, Tuan Gunawan memotongnya. “Aku dan Kakek Guru masih ada urusan di sini. Ini urusan sesepuh. Tidak pantas jika kami meninggalkan tamu sendirian. Lagipula, kasihan Nona Eriva jika terlalu malam sampai di hotel.”
Diaz masih tampak enggan. Namun, kali ini Kakek Guru berbicara. “Bukan soal tidak percaya pada sopir keluarga, Diaz. Tapi aku akan lebih tenang jika kau yang mengantar. Kau tahu etika, dan kau bisa menjaga kehormatan keluarga.”
Tuan Gunawan mengangguk, mendukung pendapat itu. “Anggap saja ini penghormatan untuk tamu besar. Kita sebagai tuan rumah harus menunjukkan sikap yang layak.”
Akhirnya, Diaz tidak punya pilihan selain menurut. Dengan enggan, dia mengangguk. “Baiklah, saya akan antar.”
Eriva tersenyum kecil, tanpa mengatakan apa pun. Diaz hanya menghela napas dan berjalan keluar bersama wanita itu, meninggalkan Tuan Gunawan dan Kakek Guru di rumah Pak Wahyu, yang tampaknya masih memiliki urusan lain yang tidak Diaz ketahui.
"Samir, kau ikut!" seru Diaz saat sudah di teras.
Samir berlari kecil menghampiri sahabatnya, "Aku sama Om akan --,"
"Ikut aku. Kau dengar!" Perintah Diaz, memotong ucapan Samir. Dengan intonasi lebih tinggi.
Dengan langkah lesu, Samir mengikuti sahabatnya di belakang. Sedangkan Diaz dan Eriva berjalan hampir beriringan. Mereka melewati jalan bebatuan dengan dikelilingi makam dari orang yang meninggal.
Entah kenapa, Pak Wahyu sebagai kuncen TPU tersebut lebih memilih tinggal di tengah lahan kuburan. Padahal Tuan Gunawan sudah menawarkan tempat layak huni, tak jauh dari TPU.
Eriva melirik sekilas ke kanan, ke arah sebuah makam yang masih bertabur bunga segar. Pandangannya terhenti ketika Eriva tiba-tiba meminta Diaz untuk diam sebentar.
“Tunggu,” kata Eriva, suaranya tenang namun tegas.
Diaz mengerutkan dahi. “Apa lagi sekarang?”
Tanpa menjawab, Eriva membuka tas kecilnya dan mengeluarkan setangkai bunga lili pemberian Diaz tadi. Ditaruhnya bunga itu tepat di tengah makam milik Naura.
Diaz dengan cepat mencegah tangan Eriva. “Hei! Apa yang kau lakukan? Jangan sembarangan menaruh bunga di pusara orang yang tidak kau kenal!”
Eriva tidak langsung menanggapi. Dia berlutut di depan pusara, meletakkan bunga dengan hati-hati. Setelah itu, dia berdiri dan menatap Diaz, yang tampak marah.
“Siapa bilang aku tidak mengenalnya?” jawab Eriva dengan tenang, namun nada suaranya mengandung tantangan.
Diaz melipat tangan di dada, matanya tajam menusuk. “Itu makam Naura, adik dari Leri. Orang penting dalam hidupku. Aku tidak suka ada orang asing yang mengusiknya.”
Eriva mengangkat alis, lalu menatap Diaz lurus. “Orang penting? Memangnya siapa dia? Kau tidak pernah cerita apa-apa tentangnya, Diaz.”
Diaz terdiam. Dadanya terasa sesak. Wajah Lili yang dulu penuh senyum melintas di benaknya. Namun, dia menolak menjawab pertanyaan Eriva.
“Bukan urusanmu,” balas Diaz dingin, kemudian melanjutkan langkahnya dengan cepat menuju mobil.
Namun, Eriva tidak menyerah. “Mungkin bukan urusanku. Tapi, jika dia memang orang yang penting bagimu, kenapa kau tidak menjaga pusaranya dengan lebih baik?” teriak Eriva, dia juga berjalan cepat mengimbangi Diaz.
Kata-kata itu membuat Diaz berhenti sejenak, tapi dia tidak menoleh. Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Diaz mengambil kunci mobil dari saku baju Samir.
Diaz melirik Samir yang bersiap menuju kursi pengemudi. Dengan suara tegas, Diaz berkata, “Samir, biar aku saja yang mengemudi.”
Samir langsung mengerutkan dahi, terkejut mendengar permintaan itu. “Tidak, Diaz. Om Gunawan dengan jelas memerintahkanku untuk memastikan Nona Eriva diantar dengan baik. Tugasmu adalah menjaga beliau, bukan menggantikan aku sebagai sopir.”
Diaz, yang jarang menerima penolakan, mendesah panjang, lalu menatap Samir dengan intens. “Aku tetap bersikeras. Duduk saja di kursi depan, kalau kau merasa canggung duduk di belakang bersama Nona Eriva.”
Namun, Samir tetap bergeming. “Tidak pantas, Diaz. Kau tahu aturan kita sebagai tuan rumah. Tamu tidak boleh dibiarkan duduk sendirian di belakang. Itu tidak sopan.”
Perdebatan mereka terus berlanjut, hingga akhirnya suara tenang namun tajam memotong.
“Sudah, biar aku saja yang mengemudi,” kata Eriva tiba-tiba.
Samir dan Diaz sama-sama menoleh dengan ekspresi terkejut.
Diaz langsung memprotes. “Apa? Tidak mungkin. Aku tidak akan membiarkan tamu kehormatan keluargaku menyetir. Ini tanggung jawab kami.”
Eriva menatap Diaz dengan pandangan penuh percaya diri, lalu berkata, “Tanggung jawab kalian adalah memastikan aku sampai dengan selamat, bukan memutuskan siapa yang duduk di mana. Lagipula, aku cukup mahir mengemudi. Jadi, ini tidak akan menjadi masalah.”
Samir tampak ragu, tetapi Eriva melangkah menuju pintu kemudi, tanpa menunggu izin. Diaz berusaha menghentikannya dengan berdiri di depan pintu, tetapi Eriva hanya mengangkat alis, seolah berkata bahwa Diaz tidak punya pilihan.
“Dengar, Diaz,” kata Eriva sambil menatapnya tajam. “Aku tidak mau perjalanan ini menjadi ajang adu ego. Kau ingin melindungiku, kan? Baik, aku setuju. Tapi caranya tidak harus seperti ini. Sekarang, minggir.”
Bersambung...