Adinda Aisyah Zakirah adalah gadis berusia 19 tahun.
"Kakak Adinda menikahlah dengan papaku,"
tak ada angin tak ada hujan permintaan dari anak SMA yang kerapkali membeli barang jualannya membuatnya kebingungan sekaligus ingin tertawa karena menganggap itu adalah sebuah lelucon.
Tetapi, Kejadian yang tak terduga mengharuskannya mempertimbangkan permintaan Nadhira untuk menikah dengan papanya yang berusia 40 tahun.
Adinda dihadapkan dengan pilihan yang sangat sulit. Apakah Adinda menerima dengan mudah lamarannya ataukah Adinda akan menolak mentah-mentah keinginannya Nadhira untuk menikah dengan papanya yang seorang duda itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 25
Keesokan paginya, Baruna masih terlelap dalam tidurnya. Adinda yang melihat suaminya masih tidur padahal sudah jam enam pagi.
“Om Baruna tumben belum bangun, padahal waktu shalat subuh sudah mau habis, apa aku bangunin saja yah.”
Adinda masih memakai mukenahnya sambil mendekati suaminya, dia duduk di tepi ranjangnya dan memperhatikan seksama wajah pria yang masih memejamkan matanya.
“Bulu matanya lentik kayak cewek, hidungnya yang mancung kayak perosotan, dagunya runcing, alisnya tebal sungguh ciptaan Allah SWT yang nyaris sempurna,” cicitnya Adinda yang mengagumi ketampanan paripurna suaminya itu.
Adinda sampai-sampai tidak berkedip sedikitpun menatap mahakarya Tuhan Yang Maha Kuasa yang ada di depan matanya.
“Apa benar om Baruna sudah benar-benar sayang padaku? Apakah perkataannya semalam adalah kesungguhan hatinya?”
Baruna diam-diam mendengarkan apa yang dikatakan oleh istri kecilnya itu. Dia sudah lama bangun ketika Adinda mulai naik ke atas ranjang. Tapi, dia ingin mengetahui apa yang bakal dilakukan oleh istrinya.
“Bagaimana kalau cintaku pada Om Baruna cinta bertepuk sebelah tangan? Jangan-jangan semalam apa yang dikatakan Om Baruna tujuannya karena dia ingin berbuka puasa sehingga berbicara seperti itu?”
Adinda takut dan mencemaskan hal-hal yang belum tentu terjadi seperti apa yang dipikirkannya.
“Ya Allah kalau Om hanya modus dan php saja, pasti hatiku bakal sedih dan sakitnya tuh di sini,” lirih Adinda.
Adinda bangkit dari posisi duduknya karena dia takut semakin menatap suaminya hatinya semakin sakit.
“Sudahlah mungkin kisah pernikahan kami hanya sekedar balas budi dan ingin melihat Nadhira selamat,”
Sebuah tangan kekar menariknya dengan kuat hingga tubuhnya terjatuh menindih tubuhnya Baruna.
“Argh!!” Teriaknya Adinda.
“Jangan teriak-teriak dong sayang, entar orang-orang di luar mengira Om lagi ngapain-pain kamu lagi,”
Adinda memukul pelan dada bidang suaminya,” masalahnya Om sih yang tarik-tarik tanganku segala jadi jatuh pasti teriak!”
Adinda salah tingkah karena ketahuan memperhatikan suaminya, “Om sudah lama bangunnya?”
“Belum lama sih, cuma tadi ada orang yang diam-diam memuji ketampananku, selain memuji gadis manis itu juga mengatakan perasaannya, apa kamu tahu siapa gadis manis itu?”
Adinda tertunduk, wajahnya berseri-seri karena kedapatan mengagumi paras rupawan suaminya sendiri.
“Wajar saja kamu mengagumi suamimu, sah-sah saja tidak perlu takut karena itu bukan perbuatan melanggar hukum,”
Adinda tidak sanggup memandangi suaminya. Dia salah tingkah dan nervous diperhatikan intens seperti itu dari jarak dekat.
“Makasih banyak istriku kamu sudah jujur kalau kau mencintaiku, Om sungguh bahagia mendengarnya,” ngaku Baruna.
Baruna tersenyum simpul melihat tingkahnya yang dimatanya sungguh imut dan lucu.
“Jangan menunduk sayangku, suamimu ini tidak bisa melihat kecantikan wajahmu,” Baruna menangkupkan kedua tangannya di kedua sisi pipinya Adinda.
“Ish Om, kenapa sih harus berpura-pura tidur!? Kalau sudah lama bangun kenapa ga shalat!” ketusnya Adinda.
Baruna terkekeh melihat Adinda yang marah-marah, Baruna mencapit hidungnya Adinda.
“Alasannya simpel hanya ingin mendengarkan kejujuran kamu sih, meskipun kamu belum berani langsung mengatakannya di depan Om tapi itu sudah lebih dari cukup bagiku,”
Adinda wajahnya semakin bersemu merah merona mungkin kedua pipinya sudah seperti kepiting rebus saja.
“Kamu cantik banget sayangku kalau pakai mukenah, sudah sholat, Kenapa gak bangunin suamimu? Hemph!”
“Aku ga tega bangunin Om pasti capek dan ngantuk banget karena gara-gara ngerjain tugasku sampai Om jadi kesiangan,” sesalnya Adinda.
Baruna membingkai wajahnya Adinda, “Enggak apa-apa kok lagian kamu juga sudah bantuin Om.”
“Kalau gitu bangun Om buruan shalat subuh keburu habis waktunya,” Adinda buru-buru bangkit dari atas tubuhnya Baruna.
Adinda merasakan di bawah sana ada yang keras tapi bukan batu, ada yang berdiri tapi bukan tiang, ada yang tegak tapi bukan keadilan.
Adinda bergidik geli dan ngeri-ngeri sedap mengingat semalam yang mereka lakukan.
“Kamu kenapa tiba-tiba diam?” Tanyanya Baruna.
“Nggak apa-apa kok Om, cepat mandi terus ambil wudhu,” tampik Adinda yang tidak mungkin berkata jujur.
Adinda berpaling ke arah lain sambil menunjuk ke arah bawah suaminya,” itu Om lele dumbonya kayaknya bangun deh.”
Adinda buru-buru bangkit dari posisi duduknya karena takut jika si lele dumbo ingin memuntahkan cairan bibit unggul lagi seperti semalam.
Baruna mengarahkan pandangannya ke arah tepat dikedua selang**kangannya. Tawanya seketika meledak.
“Hahaha!! Jadi kamu takut rupanya. Ya Allah suatu saat nanti kalau kamu sudah rasakan nikmatnya lele dumbonya suamimu pasti bakal minta setiap hari. Bukan setiap hari malah setiap waktu,”
“Takut!!” Adinda berlari ke arah dalam walk in closetnya.
Baruna geleng-geleng kepala melihat tingkah lakunya Adinda yang masih sangat polos tapi lihai memanjakan lele dumbonya sampai merem melek dibuatnya.
Baruna gegas berjalan ke arah dalam kamar mandi karena dia tidak ingin melewatkan waktu shalat subuhnya.
Adinda telaten menyiapkan pakaian seragam suaminya sebelum bersiap ke kampus.
Setiap hari seperti itulah yang dilakukan oleh Adinda, memang hubungan suami istri di ranjang belum mereka lakukan, tetapi masalah tanggung jawab sebagai seorang istri tetap dipenuhi karena mendiang ibunya selalu mengajarkan kepadanya dulu tentang tugas dan tanggung jawabnya sebagai seorang istri.
Bahkan Adinda membeli beberapa buku referensi menjadi istri yang sholeha yang bertanggung jawab kepada suami dan anaknya.
“Om pakaiannya sudah aku siapkan di dalam, aku mandi dulu mau ke kampus soalnya,” Adinda berjalan ke arah kamar mandi ketika Baruna bersiap untuk sholat.
Sesibuk apapun Baruna selalu melaksanakan kewajibannya sebagai umat muslim. Baginya kehidupan harus seimbang antara dunia dan akhirat.
Tuntutlah duniamu seolah kamu akan hidup kekal dan kejarlah akhiratmu seolah esok kamu akan pergi untuk selamanya.
Berselang beberapa menit kemudian…
Pasangan suami istri itu sudah duduk di meja makan, tetapi terjadi kecanggungan karena Nadhira terus menatap intens ke arah ibu sambungnya itu.
Nadhira cekikan mengingat kejadian semalam ketika ada bayi besar yang dikelonin oleh istri bocahnya.
“Pah, apa proses launching adeknya sudah gol?” Tanyanya remaja tujuh belas tahun itu.
Adinda dan Baruna yang sama-sama menyantap makanannya tersedak mendengar pertanyaan dari anaknya.
Uhuk… uhuk…
Bibi Asih dan bibi Lia tertawa melihat tingkah kedua pasangan pengantin baru itu.
“Ini minumnya Non Adinda,” bi Lia membantu Adinda minum.
Nadhira yang mengambilkan papanya air tapi tak berhenti tertawa terbahak-bahak melihat papanya dan Adinda yang kompak terbatuk-batuk.
“Makasih banyak Bi Lia,”
“Sayang bisa gak jangan bahas masalah adek dulu. Aku kan masih mau kuliah belum ada rencana untuk memberikan kamu adek,” ujarnya.
“Ups!” Nadhira menutup mulutnya.” Maaf lupa Mah, kepengen sih cepat-cepat dapat adek kayak temannya Nadhira yang baru-baru ibunya melahirkan soalnya.”
Baruna membelai rambut panjangnya Nadira,” kamu harus sabar yah sayang, tiga tahun lebih baru Mama program hamil kasihan mama kamu kalau hamil dan punya debay sambil kuliah, enggak apa-apa kan sayang kalau kamu menunggu lebih lama.”
Nadhira awalnya nampak kecewa tapi ketika membayangkan Adinda hamil terus bolak balik ke kampus dia menggelengkan kepalanya.
“Aku pasti bisa bersabar, tapi kalian janji setelah mama lulus kuliah nanti harus hamil dan wajib tidak boleh ditunda lagi!"
"Insha Allah sedapatnya saja sayangku, kita serahkan kepada Allah SWT yang Maha Kuasa atas segala-galanya," sahutnya Baruna.
"Pengen sih sebenernya tapi aku gak boleh egois memaksa mama untuk cepat-cepat hamil,"
Adinda memeluk anak sambungnya itu," makasih banyak sayangku sudah ngerti dengan kondisinya kami. insha Allah doakan kami saja sayang."
Setelah ketiganya menghabiskan sarapannya. Baruna terlebih dahulu mengantar putrinya ke sekolah kemudian mengantar Adinda ke kampusnya.
“Kalau mau pulang telpon saja, jangan keliuran kemana-mana tanpa ijin dari suamimu,” nasehat Baruna ketika Adinda selesai mencium punggung tangannya.
Di luar dugaan, Adinda mencium bibir suaminya itu. Baruna sampai-sampai dibuat terhipnotis hingga terdiam seperti layaknya patung Pancoran.
“Makasih banyak sudah dianterin suamiku, love you.”
Adinda buru-buru turun dari mobil karena takut kalau suaminya meminta hal lebih dari sekedar ciuman.
Baruna menyentuh bibirnya seraya tersenyum,” kamu mulai nakal sayangku. Nanti malam suamimu akan balas.”
Adinda berjalan ke arah kelasnya, tapi tiba-tiba ada seseorang yang mencekal pergelangan tangannya.
“Bebs kami butuh penjelasan dari kamu!”