--Balas dendam terbaik adalah dengan menjadi pemenang sejati--
Setelah dicampakkan ayahnya dan diputus status sebagai Tuan Muda saat usia delapan tahun karena kutukan, Xavier bangkit sebagai sisi yang berbeda setelah dewasa. Mengusung nama besar Blood dengan menjadi panglima perang sejati dan pebisnis andal di kekaisaran.
Namun ... pada akhir dia tetaplah sampah!
---Ekslusif di NOVELTOON---
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eka Magisna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ɛpɪsoʊd 8
Semua mata dalam posisi nyalak.
Beberapa mulut menganga lebar.
Keadaan tiba-tiba hening.
Semua perhatian tertuju ke titik sama.
Xavier!
Pria itu turun ke dasar sekali lompat, mengentak hiburan mereka menjadi keterkejutan tak sederhana.
“Mau apa anak itu?!” Balthazar De Jongh yang baru tiba di sana terperanjat.
Keelan yang juga bersama langsung memasang senyuman sinis. “Apa dia juga mengincar seorang pelayan rendahan? Atau sungguh ingin mati karena tak tahan dengan hinaan?! Grim Hills dan istri yang tidak waras seharusnya sudah termasuk anugerah untuk seorang busuk seperti dia, 'kan? Ckk! Pada akhir mati adalah pilihan bagus." Dia mencibir puas.
Wanita pelayan yang dijadikan tumbal dalam acara ini pun sampai menutup mulut dan mendesis dengan tidak percaya saat melihat Xavier turun ke arena tarung, “Kenapa Kapten juga ikut turun?! Apa dia--”
Asumsinya bercabang dan satu pun belum bisa dipastikan kebenarannya.
Apakah Xavier mengingkan uang, dirinya, atau hanya penasaran dengan singa yang besar itu? Atau ... menghindari nasib buruknya dan memilih kematian?
Hanya butuh sekian waktu untuk menemukan sebuah jawaban, yakni saat acara gila ini usai.
Balthazar menggeram. “Bocah gila!” Dia benar-benar tak habis pikir. “Dia sungguh senang mencari perhatian!”
“Untung saja istrinya gila.” Keelan menambah cibirnya. “Kalau putri sehat, niscaya dia akan mati di atas ranjang.”
Di posisi Xavier ....
“Aku akan masuk!” katanya pada penjaga pintu jeruji Hugo.
“Ta-tapi, Kapten---”
“Buka!”
Mata yang merah menyala itu cukup berhasil menakuti penjaga yang berjumlah dua, mereka mengalah dan membukakan kunci untuk Xavier. Keduanya bahkan tak ada waktu menoleh ke arah Kaisar demi sebuah perizinan.
“Tapi Kapten bahkan datang dari tribun yang sama dengan Kaisar, jadi sudah pasti mendapat izin,” pikir mereka seraya mendorong pintu jeruji.
Tapi sebelum itu, yang dilakukan Xavier ....
SRIING!
Sebilah pedang milik seorang prajurit istana tak jauh di sana ditariknya dari sarung yang terkait di pinggang prajurit itu. Kilat mata tajamnya menatap mata pedang dari pangkal hingga ke ujung, lalu melupakan dan mengayunnya di sisi tubuh. Dia kemudian masuk ke dalam kandang dengan langkah yang tanpa beban.
Bau kutukan dalam tubuhnya menyatu dengan bau amis darah para ksatria yang tumbang sebelum-sebelumnya.
Di depan sana, Hugo mulai menguar suara-suara menyeramkan dari mulut yang berliur. Mata yang hijau terang menatap tajam ke arah Xavier yang kini berdiri tepat di tengah-tengah.
“Entah sudah berapa lama Kaisar tidak memberinya makan. Dari matanya, aku tahu ... hewan buas ini sangat kelaparan. Tapi maaf, Hugo.. meski begitu ... kau tidak sepatutnya memakan daging manusia!”
Semua pasang mata melebar dalam kecemasan besar. Singa Hugo mulai melangkah menyongsong Xavier dengan sikap intai. Insting menerkam sudah matang tertampung dalam pelupuk. Jika otaknya bekerja baik, hewan itu mungkin berpikir, akan mengentaskan lawan satu ini dengan cara sama seperi ksatria-ksatria sebelumnya yang dia bunuh.
Mulutnya yang lebar menyuarakan geraman yang keras dan menyeramkan.
Xavier langsung awas, pedang dinaikannya ke atas dibentengi kuda-kuda tipis, dan ....
Satu detik, dua detik, tiga, empat, lima, enam ....
Keadaan hening dan menegangkan.
Sampai kemudian ....
BRRUGGG!
HAP!
Total sepuluh detik saja.
Kaki Xavier mendarat kokoh tepat di samping Hugo. Dari ujung mata pedang yang digenggamnya, menjatuhkan tetesan darah yang masih segar, semakin mengotori lantai yang sudah kotor.
Hugo si singa besar langsung ambruk hanya dengan dua tusukan cepat di bagian leher.
Xavier membalik badan pelan, menatap mata Hugo yang perlahan mulai meredup, lantas menurunkan tubuh dengan kaki zigzag di depan kepala besar dengan surai lebat milik singa yang mati itu.
“Maaf, Teman. Setidaknya dengan begini kau tidak akan tersiksa lagi.” Dengan sentuhan lembut, dia mengusap mata Hugo yang sudah benar-benar terkatup.
Keadaan yang hening mulai gaduh saat Xavier bangkit dan berjalan menuju pintu jeruji untuk keluar. Mulai lagi suara-suara mereka seperti anak ayam hilang induknya.
“Dia berhasil membunuh singa raksasa Hugo, apakah dia akan mengambil hadiahnya?”
“Kita lihat saja!”
Sekarang Xavier berdiri tepat di depan prajurit yang tadi dia pinjam pedangnya untuk melawan singa nahas yang baru saja meregang nyawa.
“Kubur pedang ini bersama binatang itu. Aku akan mengganti pedangmu dengan yang baru."
Dengan tangan gemetar, prajurit itu menerima pedangnya. “Ba-baik, Kapten!”
Air wajah datar dan pakaian penuh cipratan darah, membuat Xavier terlihat seperti iblis. Tidak satu pun berani menyela perbuatannya. Mulut-mulut yang kotor tetap hanya berani menghujat jalan belakang.
Bahkan Kaisar sendiri, tetap bungkam walau Xavier sudah kembali duduk di samping Ashiana seperti semula sebelum dia turun membunuh Hugo.
Putra Mahkota Arion meliriknya dengan perasaan ngeri, tidak ada kata.
Putri Anolla yang meskipun merasakan sama, dia cukup merasa senang. Terlihat dari rautnya yang terpulas senyuman halus.
“Selain karena pendarahan akibat dua tusukan pedangmu, Hugo juga memiliki asfiksia. Ada masalah dalam oksigen dalam otaknya. Dia singa yang penyakitan. Jadi terima kasih sudah memperpendek penderitaannya ... Kakak Ipar.”
Xavier melengak ke wajah Putri Anolla, cukup terkejut dengan yang baru disampaikan gadis berdarah Kaisar itu tentang asfiksia yang diderita Hugo. Lalu mengangguk tipis sembari menempelkan satu telapak tangan di depan dada. “Terima kasih, Yang Mulia Putri Anolla.”
Tanggapan Anolla cukup saja dengan senyuman.
Sedang Kaisar, “Aku bahkan tak punya kalimat. Entah harus membunuh ... atau memberinya selamat. Dia membuat beberapa hal menjadi sulit.”
Seorang petinggi istana kemudian mengkode pembawa acara untuk meneruskan tugasnya.
Dengan jantung masih berdebar, pria kurus pembaca acara itu langsung berkoar, “HEBAT! DENGAN BEGINI SUDAH JELAS. PEMENANG DALAM PERTARUNGAN KSATRIA MELAWAN HUGO KALI INI ADALAH ... KAPTEN BLOOD! SILAKAN KAPTEN NAIK KE PODIUM UNTUK MENERIMA HADIAH!”
PATS!
Tatapan tajam Xavier menyorot lelaki yang berposisi cukup jauh darinya itu ....
Sebagai tanggapan, “Tidak!”
Pembawa acara bingung menambah kata.
Tidak apa maksud Xavier?
Semua menunggu lanjutan kalimat yang dijedanya.
Apakah dia akan menolak hadiah-hadiah itu?
“Aku tidak perlu naik ke podium! Kirimkan saja hadiah-hadiahnya ke kamar pengantinku!”
JRENG!
Semua terpelongo. Tentu saja! Siapa yang tak tergiur dengan dua peti emas.
Tapi yang mencengangkan, ternyata dia juga mengambil wanita yang ditumpuk bersama dua peti emas sebagai hadiah itu, diminta pula dibawa ke dalam kamar.
Setelah mengatakan itu, beralih pandangan Xavier pada Kaisar. “Hamba pamit undur diri, Yang Mulia. Putri Asha terlihat sangat lelah dalam posisi terikat seperti ini. Saya juga harus mengganti pakaian.”
“Te-tentu saja, Kapten! Silakan!”
Bahkan Kaisar saja menjadi tolol dalam sekejap.
Dibantu seorang prajurit kepercayaan yang sedari tadi berdiri tak jauh di belangkangnya, dua ikatan tangan Ashiana dilepas.
Xavier menuntun istrinya berdiri, lalu mengejutkan semua orang yang belum tahu. Ashiana kembali naik ke pangkuan depannya.
Meski bukan sihir, tapi membuat Ashiana diam seperti itu sudah melebihi keajaiban.
Kutukan busuk dalam tubuhnya seperti tak pernah ada.
Kini para wanita mulai merasa iri, ingin diperlakukan seindah itu.
Xavier sudah turun, diikuti dua prajurit di belakangnya.
Sisa perasaan kacau di antara keluarga Kaisar.
“Firasatku mengatakan, menjadikan manusia sejenis dia sebagai menantu Kaisar bukanlah putusan benar.” Putra Mahkota Arion berbicara sembari menatap punggung Xavier yang mulai jauh dari pandangan. “Dia bisa membuat segala hal seperti ada dalam genggamannya.”
Kaisar Bjorn tercenung di wajah Arion, memikirkan persepsi putranya tentang Xavier sangat mendalam. “Kau benar, Putra Mahkota. Sepertinya aku telah salah dalam hal ini.”
Anolla berdiri, sudut bibirnya tertarik lagi. “Aku tidak mau ikut rumit seperi kalian. Aku ingin berendam dengan bunga untuk mengusir bau amis darah yang menempel pada tubuhku. Dah Ayah, dah Kakak!” Diikuti dayangnya lekas, dia berlalu dengan nyanyian kecil.
Arion mencibir adiknya, “Putri konyol! Apa dia juga mulai tergoda oleh bedebah itu?!”
Di tangan Xavier, berubah menjadi tanah mematikan ( untuk musuh2nya )...
/Drool//Drool//Drool/
👍