"Meskipun aku ditodong dengan pisau, aku tidak akan pernah mau menjadi pacarnya. Kalau begitu aku permisi."
"Apa?! Kau pikir aku bersedia? Tentu saja aku juga menolaknya. Cih! Siapa yang sudi!"
Raga heran kenapa setiap kali di hadapkan pada gadis itu selalu akan muncul perdebatan sengit. Bri jelas tak mau kalah, karena baginya sang tetangga adalah orang yang paling dibencinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Karangkuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 30
Pagi itu, cuaca cerah dan udara segar memenuhi setiap sudut kota. Alun-alun di pusat kota menjadi tempat yang ideal untuk berolahraga, terutama untuk lari pagi yang ramai diikuti oleh warga. Bri, yang memang tidak terlalu suka berolahraga, memutuskan untuk ikut karena ajakan dari Dita dan suaminya. Meskipun awalnya ia tidak berminat, Bri akhirnya setuju juga karena mereka semua sangat bersemangat, lalu Bri ingat bahwa dari kemarin malam dia ingin sekali makan bubur ayam, nanti sepulang olahraga dia akan menuntaskan keinginannya itu.
"Bri! Kamu harus ikut. Rasanya seru," ucap Dita yang mengajak dengan semangat tinggi.
Bri mengangguk pelan, merasa agak jengah tapi tetap ikut saja. Ini juga kesempatan baginya untuk sedikit keluar dari rutinitas yang membosankan.
Sementara tidak jauh dari tempatnya berdiri tampak Raga yang datang dengan Jelita. Mereka berdua berbicara dengan sangat akrab, seolah dunia mereka berputar bersama tanpa memperhatikan orang lain.
Bri melihat Raga dan Jelita dengan sorot mata yang tidak bisa disembunyikan. Ada perasaan aneh yang menggelayuti hatinya, meskipun ia berusaha untuk tidak terlalu memikirkan itu.
Tetangga yang lain tampak senang dan semangat untuk mengikuti lari pagi. Mereka mulai berjalan ke garis start, sementara Bri dan Dita yang sedang hamil berjalan dengan langkah lebih lambat, mencoba mengabaikan kenyataan bahwa Raga sedang bersama Jelita. Bri tahu, seharusnya ia tidak perlu merasa terganggu, tetapi entah kenapa perasaan itu tetap ada.
Olahraga pagi pun dimulai dengan semangat dari semua orang. Bri menemani Dita yang sedang berjalan pelan namun tetap stabil. Ia sesekali melirik ke arah Raga yang tampak lebih bersemangat. Jelita berada di sampingnya, berlari dengan kecepatan yang tampaknya juga tidak kalah dari Raga. Mereka sesekali bercerita lalu tertawa bersama, jelas siapapun yang melihatnya mungkin akan beranggapan mereka sepasang kekasih.
Setelah mengitari satu putaran Dita pamit pada Bri untuk beristirahat di sebuah bangku yang terbuat dari coran semen. Bri yang masih dalam keadaan prima memutuskan untuk berlari pelan untuk membakar beberapa kalori. Di sampingnya ada seorang pemuda yang lebih muda darinya melemparkan kerlingan nakal tanda ia sedang menggoda Bri. Bri yang tidak suka memberikan balasan tatapan tajam padanya.Tanpa diduga, Bri tersandung batu kecil yang tersembunyi di jalan. Dengan kekuatan gravitasi yang tiba-tiba menariknya ke bawah, Bri kehilangan keseimbangan dan terjatuh, membentur aspal. Sebelum ia bisa menyadari apa yang terjadi, langkah Jelita yang ada di belakanh Bri juga tersandung, dan wanita itu pun ikut jatuh bersamanya.
Keduanya terjatuh dengan sangat kencang, dan Bri merasakan sakit di kakinya. Ketika ia berusaha bangkit, rasa sakit itu semakin terasa.
“Argh!” teriak Bri kesakitan, berusaha mengangkat tubuhnya.
Namun, Raga yang melihat kejadian itu langsung berlari menuju mereka. Matanya terbelalak melihat kedua wanita yang terjatuh, dan ia segera mendekat. Tanpa berpikir panjang, Raga langsung membungkuk, mengangkat Jelita yang terlihat sangat kesakitan memegang kakinya.
“Jelita, kamu baik-baik saja?” tanya Raga cemas.
Bri yang masih mencoba bangkit, hanya bisa menatap dengan perasaan cemas, tapi juga marah. Ia merasa tubuhnya yang terluka tidak sebanding dengan perhatian yang diberikan Raga pada gadis itu. Terkadang, dalam hidup, ada momen ketika kita merasa seperti tidak berarti bagi orang lain.
Bri merasakan perasaan panas yang naik ke wajahnya. Ia berusaha untuk berdiri, tetapi kakinya terasa sangat sakit, dan ia hampir jatuh lagi. Di saat itu, Raga berbalik dan melihat Bri yang tampaknya kesulitan untuk bangkit.
“Apa kau baik-baik saja?” tanya Raga dengan nada khawatir, sambil bergegas menghampiri Bri.
Namun, perhatiannya langsung teralihkan ketika ia melihat Jelita yang mulai menitikan air mata. Tanpa berpikir panjang, Raga membungkuk untuk menggendong Jelita yang masih merasa kesakitan, sementara Bri hanya bisa menatapnya dengan perasaan campur aduk. Bri merasa seperti angin yang tak dihargai, seperti tak pernah ada dalam lingkaran perhatian mereka.
Raga meletakkan Jelita pada salah satu bangku dan bergegas menuju Bri. Bri tekah berhasil bangkit berdiri dan mencoba berjalan ketika tangan Raga terulur mencoba untuk menolongnya.
"Sini biar kubantu," ucap Raga namun Bri menepisnya dan berjalan sendiri menahan rasa sakit itu.
"Tidak perlu." Raga masih tetap berdiri dan mencoba menolongnya lagi sampai Rifan suami Dita datang menghampiri mereka dan Bri minta bantuan untuk memapahnya sampai depan. Raga hanya bisa terdiam memandangi wanita itu pergi.
"Dasar keras kepala," gumamnya.
Raga yang ternyata sangat dekat dengan Jelita, tidak sadar bahwa ada perasaan lain yang membuncah dalam diri Bri. Ia hanya melihat Jelita sebagai teman atau mungkin adik, seorang yang sudah lama ia kenal. Namun, baginya, Bri adalah sosok yang lebih kompleks—seseorang yang kadang ia perlakukan dengan hati-hati, namun jauh di dalam hatinya dia menyimpan rahasia besar untuk Bri.
Di depan pintu keluar, Bri yang merasa sudah agak mendingan karena tadi sudah mendapatkan pertolongan dari para pekerja medis yang memang siap siaga di tempat itu—berjalan pelan dengan wajah yang datar. Ia tidak ingin menunjukkan perasaan kesalnya kepada siapa pun. Namun, hatinya berbicara lebih keras dari kata-kata yang bisa diucapkan. Cemburu, bingung, dan frustasi—semua bercampur menjadi satu.
Ketika ia akhirnya sampai di pintu keluar, Raga dan Jelita sudah lebih dulu berada di sana, terlihat lebih akrab dan lebih ceria daripada sebelumnya. Bri merasa seperti kehilangan banyak hal, bahkan jika ia tahu seharusnya ia tidak merasa begitu. Jelita berjalan dengan pelan dan dipapah oleh Raga, Bri berusaha baik-baik saja.
"Apa kau baik-baik saja?" Raga bertanya dengan nada yang lebih santai kepada Bri yang ada di depannya.
Bri hanya mengangguk, berusaha menjaga ekspresi wajahnya. "Tentu saja," jawabnya singkat.
Namun, dalam hatinya, ia tahu ada sesuatu yang harus diselesaikan. Entah apa itu, Bri merasa perasaannya semakin sulit untuk dijelaskan. Perasaan yang semakin dalam dan semakin tidak terkendali, meskipun ia berusaha untuk menutupi semuanya dengan senyuman.
Sesampainya di rumah Bri kembali mengompres kakinya yang terlihat agak membengkak. Dia membersihkan diri dan turun ke bawah untuk menunggu kurir mengantarkan makanan yang tadi ia pesan.
Tak lama kemudian terdengar suara teriakan dari luar. Bri bergegas keluar dengan langkah terseok mengambil makanan itu. Ketika dia hendak masuk kembal, dia mendapati sebuah kantong yang terletak diatas meja yang terletak di teras. Dilihatnya apa isi dari kantong tersebut dan ternyata beberapa obat untuk menyembuhkan kaki terkilir lengkap dengan pesan di secarik kertas:
"Jangan banyak bergerak."
Awalnya Bri memasang muka datar dan tidak mau untuk mengeluarkan ekspresi apapun, namun ketika masuk kembali ke dalam dia tersenyum tipis sambil memandangi kantong yang kini sedang dipegangnya itu. Dan di hari itu dia merasa emosinya sangat labil.