Pohon Neraka Dunia terbelah, membebaskan miliaran jiwa pendosa ke dunia para ninja. Sementara itu di gunung yang berada di bawah kekuasaan Klan Naga Badai, tetua Klan Naga Badai memilih prajurit muda untuk mewarisi gulungan Dewa Badai dan Dewa Bayangan.
Inilah kisah Ren yang memulai perjalanan panjangnya menguasai peninggalan-peninggalan Dewa kuno serta pertempuran tanpa akhir melawan jiwa-jiwa yang terbebas.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon After Future, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 8: Roda Api
CHAPTER 8 – RODA API
Di dunia ini, roda nasib terus berputar tanpa ampun, menyeret setiap jiwa ke dalam arusnya. Tak ada yang luput, termasuk Ren Ren dan Alvien—dua sosok yang saling berkelindan di pusaran takdir penuh api dan kehancuran.
Ren Ren: Bayi Naga yang Terbangun
Ren Ren hanyalah seorang anak yatim piatu, hidup terombang-ambing di antara lorong kelam dan dinginnya malam. Namun segalanya berubah saat ia diadopsi oleh Miku Mika, seorang sensei terhormat dari akademi ninja. Dalam dekapan Miku Mika, Ren Ren seolah menemukan harapan baru.
Namun, seperti roda api yang membara, takdir itu tak bertahan lama. Dalam perjalanan pulang menuju akademi, sekelompok ninja pengkhianat menyerang mereka dengan brutal. Miku Mika, yang terluka parah, tak lagi sanggup mengasuh Ren Ren. "Maafkan aku, Ren," bisiknya dengan air mata bercucuran, sebelum menyerahkan Ren Ren kembali pada kerasnya dunia jalanan.
Namun nasib tak sepenuhnya kejam. Seorang pria berjubah gelap, tangan kanan dari Ketua Klan Naga Badai, memungutnya dan memperkenalkannya pada seni bela diri. Tahun-tahun berlalu, dan Ren Ren tumbuh menjadi ninja junior yang kuat. Dengan elemen angin dan api yang mengalir dalam nadinya, ia menjadi Ace tak tertandingi di akademi.
Gulungan Emas dan Ramalan Kegelapan
Pada suatu malam yang sunyi, saat Ren Ren sedang berlatih di hutan, pandangannya terpaku pada gulungan kuno yang memancarkan cahaya keemasan. Dengan rasa ingin tahu yang membara, ia membuka gulungan itu.
"Ini... ini ramalan kehancuran dunia?" gumamnya, membaca kata-kata yang menggambarkan invasi iblis, kematian, dan kehancuran total. Namun, Ren Ren menepis ramalan itu sebagai omong kosong belaka. Sebuah kesalahan yang kelak ia sesali.
Ketika invasi benar-benar terjadi, semuanya sudah terlambat. Akademi, cinta pertamanya, bahkan dirinya sendiri hancur dalam satu malam penuh darah dan api.
Skenario Baru: Jika Ren Ren Percaya
Namun, bagaimana jika Ren Ren memilih untuk percaya sejak awal? Dalam versi lain dari semesta ini, Ren Ren mengambil gulungan emas itu sebagai panggilan untuk bertindak. Ia mendalami Fuinjutsu, seni ninjutsu yang dikhususkan untuk menyegel kekuatan besar.
Latihan itu berjalan mulus hingga suatu malam, saat lilin di kamarnya terguling dan membakar tikar tempatnya berlatih. Api itu melahap tubuhnya dengan cepat, membakar habis setiap jengkal kulitnya. Ren Ren terjebak di antara hidup dan mati.
Kedatangan Alvien: Api yang Menyala Kembali
Di dunia lain, Alvien hanyalah seorang pemuda yang menghabiskan hari-harinya dengan membaca buku. Namun, sebuah buku misterius yang ia baca menyedot jiwanya ke dalam semesta yang tak dikenalnya. Ia terbangun di tubuh hangus milik Ren Ren.
"Di mana aku?" gumam Alvien, matanya terbelalak saat menyadari tubuhnya perlahan kembali utuh. Semua luka bakar memudar, meninggalkan tubuh Ren Ren dalam keadaan semula. Namun kini, jiwa Alvien tinggal di dalamnya, membawa serta pengetahuan tentang ramalan dan kehancuran yang tertulis dalam buku yang membawanya ke dunia ini.
Penerimaan Takdir
Berbeda dengan Ren Ren yang semula meragukan ramalan, Alvien memeluk takdirnya dengan hangat. Kehidupan sebelumnya yang hampa kini terasa lebih hidup di tubuh Ren Ren. "Jadi, ini kekuatan dunia ini?" ujarnya dengan mata berbinar, mencoba teknik angin dan api yang kini menjadi miliknya.
Bertahun-tahun berlalu, Alvien mengembangkan jutsu elemen petir (Raiton). Sampai sekarang jutsu itu telah menjadi ciri khasnya, sementara jutsu asli Ren Ren mulai dilupakan.
Dengan tekad baru, Ren—atau Alvien—berlari menuju Pohon Persik Seribu Tahun yang diramalkan menjadi kunci penyelamatan dunia. Namun ia tidak sendiri. Di lapangan luas penuh cahaya bulan, bayangan para ninja seusianya mulai bermunculan, semuanya mengincar hal yang sama.
"Jadi ini seperti di novel," gumamnya dengan senyum kecil. "Baiklah, ayo kita mulai."
Dan roda api terus berputar, membawa Ren Ren—atau Alvien—ke dalam babak baru yang penuh percikan darah dan kilatan senjata.
Hutan itu dipenuhi bayangan ninja. Cahaya rembulan yang menembus dedaunan menciptakan siluet mereka di tanah. Puluhan ninja bersiap, menanti buah persik seribu tahun yang diramalkan muncul malam ini. Ren Ren, berdiri di pinggir lapangan, mengamati mereka satu per satu dengan ekspresi tak puas.
"Dengan mereka di sini, aku tak mungkin menguasai jutsu rahasia klan Naga Badai," pikirnya. "Haruskah aku menaklukkan mereka satu per satu? Tidak, aku tak boleh membunuh mereka. Harus ada cara lain."
Perutnya yang keroncongan menginterupsi rencananya. Ren mendesah dan berjalan menuju kios makanan terdekat. Ia memesan sepiring sushi dan semangkuk ramen untuk mengisi kembali tenaganya. Setelah itu, ia membawa makanannya menuju tepi hutan yang lebih sepi.
Namun, di tengah langkahnya, naluri tajamnya menangkap sesuatu.
Ren berhenti dan meletakkan mangkuk ramen di atas batu besar. Ia memandang lekat ke arah hutan yang gelap. "Keluarlah! Aku tahu kau mengikutiku sejak kemarin!" teriaknya, membuat beberapa ninja lain yang berada di sekitar menoleh dengan tatapan heran.
Untuk sesaat, hanya angin yang menjawab. Namun, tak lama kemudian, seorang ninja wanita melangkah keluar dari balik pohon. Penampilannya memukau—dengan rambut hijau muda panjang yang berkilauan di bawah sinar bulan dan mata tajam berwarna ungu yang memancarkan rasa percaya diri.
"Ba—bagaimana kau bisa tahu aku mengikutimu? Aku menjaga jarak cukup jauh," tanya Zenin dengan nada heran, alisnya terangkat.
Ren menyeringai kecil, menatapnya dengan tatapan menggoda. "Jauh di mata bukan berarti jauh di hati," jawabnya santai, sembari menyerahkan semangkuk ramen kepada Zenin.
Zenin terkejut. Pipinya bersemu merah.
"Kenapa merona begitu? Aku cuma memberimu ramen, haha. Kau ini lucu sekali," ejek Ren sambil terkekeh.
Zenin buru-buru menutupi rasa malunya, "Mukaku merah karena uap ramen! Jangan berpikir yang aneh-aneh!" balasnya dengan nada kesal. Padahal dalam hati, ia memerah karena membaca sekilas pikiran Ren.
Ren tertawa kecil dan mengangkat bahu. "Iya, iya. Terserah kau saja."
Keduanya akhirnya duduk di dahan pohon besar, menikmati makanan mereka. Keakraban mereka menarik perhatian beberapa ninja lain yang memperhatikan dari jauh, terutama mereka yang masih ‘tidak berpasangan’.
Setelah beberapa saat, Ren memulai percakapan. "Sebegitu rindunya kau padaku, ya, Zenin? Sampai-sampai kau mengikuti ke mana pun aku pergi," godanya.
Zenin mendengus kecil, menatap Ren dengan mata menyipit. "Pertama-tama, aku tidak rindu padamu. Aku hanya penasaran. Dan ya, aku memutuskan untuk secara aktif mengikutimu," jawabnya sambil melipat tangan di dada.
Ren menyeringai, tidak menggubris protes Zenin. "Harusnya kau datang saat aku di rumah. Di sini aku cuma bisa menyambutmu dengan semangkuk ramen. Kalau di rumah, aku bisa membuatkanmu teh hangat juga."
Zenin menggeleng, berusaha menahan senyum yang hampir muncul di bibirnya. "Sahabat tidak perlu bersikap formal, Ren," jawabnya akhirnya.
Ren tertawa pelan, menatap ke arah bulan yang menggantung di langit. "Baiklah, sahabatku yang tidak formal. Terima kasih telah datang menemaniku, meskipun caramu cukup aneh."
Zenin hanya tersenyum kecil, tanpa kata. Di antara bayangan pepohonan dan cahaya bulan, mereka berbagi momen yang tenang—sebuah jeda sebelum badai yang akan segera datang.