Gray adalah seorang anak yang telah kehilangan segalanya karena Organisasi jahat yang bernama Shadow Syndicate dia bahkan dijadikan Subjek Eksperimen yang mengerikan, namun dalam perjalanannya untuk menghentikan Organisasi tersebut, ia menemukan teman yang mengalami nasib sama sepertinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GrayDarkness, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
018 - Neraka Hardcore (3)
Setelah istirahat singkat, Jazul menghampiri mereka dengan raut wajah serius. Di belakangnya berdiri seorang pemuda kurus dengan rambut hitam kusut dan mata yang sayu, luka-luka memar menghiasi lengan dan wajahnya.
"Ini Rabu,"
Kata Jazul, memperkenalkan pemuda itu.
"Dia yang berteriak minta tolong sebelumnya. Dia berhasil kabur dari kelompok monster lain."
Rabu mengangguk lesu, matanya menatap lantai. Suasana menjadi hening sejenak sebelum Jazul melanjutkan, suaranya berat.
"Ada kabar buruk,"
Katanya,
"Beberapa anak... beberapa anak yang diculik bersama kita...mereka sudah mati."
Keheningan yang lebih berat turun di antara mereka. Gray merasakan dadanya sesak. Ia ingat Kelund, senyumnya yang selalu ceria. Bayangan wajah-wajah anak lain yang pernah ia lihat sekilas di ruang bawah tanah terlintas di benaknya. Mereka semua adalah korban.
"Mereka... mereka diserang saat mencoba melarikan diri,"
Jazul meneruskan penjelasannya, suaranya bergetar.
"Monster-monster itu...mereka lebih kejam dari yang kita kira."
Taro menaruh tangannya ke bahu Jazul,
"Kita akan membalaskan dendam mereka, Jazul. Kita harus kuat."
Anya mengangguk, matanya berkaca-kaca.
"Kita akan menemukan cara untuk menghentikan semua ini,"
Katanya, suaranya tegas meskipun gemetar. Ren hanya diam, namun tatapan matanya yang tajam menunjukkan tekad yang kuat. Rabu mengangkat wajahnya, matanya penuh dengan kesedihan,
"Aku... aku melihatnya. Mereka... mereka tersiksa."
Ia terisak, kata-kata selanjutnya tertahan oleh isak tangisnya.
Gray merasakan amarah membakar dadanya. Bukan hanya sekadar menyelamatkan dunia, tetapi juga membalaskan dendam teman-teman mereka yang telah tiada. Rabu, dengan suara terbata-bata, menceritakan apa yang ia saksikan, memberikan informasi yang mungkin bisa menjadi petunjuk penting. Mereka mendengarkan dengan saksama, mencari celah dan petunjuk dalam kesedihan dan kehilangan. Pertempuran mereka belum berakhir. Perjalanan mereka, kini, dipenuhi oleh dahaga akan pembalasan.
Setelah Rabu menceritakan kesaksiannya yang memilukan, kesunyian menyelimuti kelompok kecil itu. Angin berdesir melalui rerumputan, membawa aroma tanah dan sedikit bau anyir darah yang masih tertinggal dari pertempuran sebelumnya. Satu persatu, mereka memperkenalkan diri dengan lebih detail. Anya, dengan lembut, menjelaskan kemampuan penyembuhannya yang terbatas, mengatakan bahwa ia masih harus berlatih untuk menguasai sihirnya sepenuhnya. Ren, dengan ekspresi datar namun penuh determinasi, mengungkapkan bahwa ia adalah seorang ahli bela diri, terlatih dalam berbagai gaya pertarungan, dan pencariannya untuk adiknya—yang menurutnya mungkin juga masih hidup—memberinya motivasi yang tak tergoyahkan. Taro, elf pendiam itu, menjelaskan pengetahuannya yang luas tentang sejarah dunia dan lokasi-lokasi penting yang mungkin dapat membantu mereka.
Jazul, setelah semua pengenalan itu, menoleh kepada Gray.
"Apa yang harus kita lakukan selanjutnya, Gray?"
Tanyanya, matanya mencerminkan kebimbangan dan harapan.
Gray menarik napas dalam-dalam. Bayangan wajah-wajah teman-teman yang telah tiada masih menghantui pikirannya, tetapi ia memaksa dirinya untuk fokus.
"Aku dan Taro,"
Katanya, suaranya terdengar lebih dewasa dari usianya,
"Akan mencoba bertahan sampai waktu yang ditetapkan untuk…ujian ini… berakhir. Rencananya adalah mengumpulkan orang-orang yang selamat. Kita menggabungkan kekuatan, membuat kemungkinan bertahan hidup lebih tinggi."
Taro mengangguk setuju.
"Memang benar. Kita membutuhkan lebih banyak orang, lebih banyak kekuatan. Tapi kita juga harus berhati-hati. Mengumpulkan orang-orang berarti juga memperbesar risiko terdeteksi oleh musuh."
Ren menyela,
"Aku setuju dengan strategi itu. Akan tetapi, di mana kita akan mencari orang-orang ini? Dan bagaimana kita bisa memastikan mereka bisa dipercaya?"
Anya menambahkan,
"Dan bagaimana kita bisa melindungi mereka dari serangan-serangan selanjutnya? Kekuatan kita masih terbatas."
Jazul berpikir sejenak.
"Kita bisa memulai dengan mencari tempat persembunyian yang aman. Tempat tersembunyi, di mana kita bisa berlatih dan merencanakan langkah selanjutnya. Kemudian, kita bisa menyebarkan informasi secara diam-diam, mencari orang lain yang selamat."
Ia mengeluarkan sebuah kartu poker dari sakunya, menggerakkannya dengan cepat di antara jarinya.
"Aku bisa menggunakan sihir ini untuk membantu mencari jejak energi dari orang-orang yang memiliki kekuatan seperti kita. Itu mungkin sulit, tapi lebih baik daripada tidak sama sekali."
Rabu, yang hingga saat itu hanya mendengarkan dengan mata berkaca-kaca, mengatakan lirih,
"Aku… aku tahu sebuah tempat. Sebuah kastil tersembunyi di pegunungan, tidak jauh dari sini. Aku pernah menemukannya ketika aku di teleportasi secara acak."
Tatapan semua orang tertuju pada Rabu. Seberkas harapan kecil, meski rapuh, muncul di tengah keputusasaan. Petualangan mereka belum berakhir. Malah, baru saja dimulai.
“Kalau begitu,”
Kata Gray, matanya menyapu wajah-wajah rekan-rekannya,
“Mari kita amankan kastil dulu. Kita butuhkan tempat berkumpul, titik pusat, dan markas yang aman.”
Seketika, keraguan terlihat di wajah beberapa dari mereka. Anya menggigit bibirnya.
"Kastil? Itu sangat berbahaya, Gray. Kastil pasti dijaga ketat oleh monster, mungkin ada monster yang sangat kuat disana."
Taro mengangguk setuju,
"Memang benar. Itu resiko besar, dan kita belum siap untuk menghadapi pertempuran skala besar. Kekuatan kita masih terbatas."
Ren, biasanya tenang, menunjukkan sedikit keraguan dalam suaranya,
“Kita perlu mempertimbangkan strategi yang lebih hati-hati. Menyerbu kastil secara langsung adalah bunuh diri.”
Jazul, yang biasanya ceria, tampak serius. Ia mengocok kartu pokernya dengan tenang, “Kalian benar. Kastil adalah target yang terlalu mudah terlihat. Namun, jika kita bisa menguasainya, itu akan menjadi keuntungan strategis yang luar biasa. Bayangkan, sumber daya, informasi, mungkin bahkan senjata yang dapat kita gunakan.” Ia menatap Gray, menunggu respon.
Gray menatap setiap wajah di sekitarnya, mencerna semua pertimbangan dan saran yang baru saja disampaikan. Ia sadar ini keputusan yang sangat beresiko, namun jika mereka ingin melawan kekuatan monster-monster yang menginvasi dunia, mereka membutuhkan basis operasi yang kuat.
Setelah perdebatan singkat, Gray mengambil keputusan.
“Baiklah,”
Katanya, suaranya tegas,
“kita pergi ke kastil dan melihat situasinya. Jika dirasa terlalu berbahaya, kita mundur dan mengumpulkan cukup kekuatan.”
Suasana tegang menyelimuti mereka. Anya terlihat khawatir, tangannya gemetar sedikit saat ia mengecek kembali persediaan ramuan penyembuhannya. Taro menatap langit yang gelap, mendung tebal menutupi matahari, membuat siang hari terasa seperti senja. Ren, dengan tenang, memeriksa kembali senjata dan perlengkapannya, memastikan semuanya dalam kondisi prima.
Jazul, tanpa sepatah kata pun, mulai menyusun strategi kecil di kepalanya, kartu-kartu pokernya tersusun rapi di tangannya. Hanya Rabu yang tampak sedikit lebih tenang, entah karena telah terbiasa dengan kegelapan atau karena sudah mempersiapkan diri untuk hal ini. Mereka semua mengerti resikonya. Kastil mungkin adalah jebakan maut, namun kesempatan untuk mendapatkan basis operasi yang kuat terlalu berharga untuk dilewatkan begitu saja. Setelah menghabiskan waktu beristirahat dan tidur, menunggu hingga pagi hari dengan matahari yang tampak agak redup karena awan tebal, mereka pun berangkat. Perjalanan menuju kastil berlangsung sunyi.
Langkah kaki mereka terdengar samar di antara dedaunan kering dan rerumputan liar. Keheningan itu diselingi oleh derit ranting yang patah di bawah kaki mereka dan suara angin yang berbisik di antara pepohonan. Tidak ada yang berani berbicara, masing-masing fokus pada perjalanannya, dan pikiran mereka dipenuhi dengan kekhawatiran dan tekad. Sesampainya di dekat kastil, suasana berubah drastis. Udara terasa lebih dingin, lebih berat. Bau anyir darah masih sangat kuat tercium di udara.
Di kejauhan, mereka bisa mendengar suara samar-samar, mungkin suara penjaga atau bahkan monster yang berpatroli. Gray memberikan isyarat kepada rekan-rekannya untuk bersembunyi di balik reruntuhan bangunan tua yang terletak tidak jauh dari kastil. Dari tempat persembunyian mereka, mereka mengamati situasi dengan saksama, mencari celah dan peluang. Misi mereka baru saja dimulai.