"The Regret of My Seven Older Brothers"
Di balik kehidupan mewah dan kebahagiaan yang tampak sempurna, delapan bersaudara hidup dalam kesejahteraan yang diidamkan banyak orang.
Namun, semuanya berubah ketika kecelakaan tragis merenggut nyawa sang ayah, sementara sang ibu menghilang tanpa jejak.
Si bungsu, Lee Yoora, menjadi sasaran kemarahan dan penilaian keliru ketujuh kakaknya, yang menyalahkannya atas kehilangan yang menghancurkan keluarga mereka.
Terjebak dalam perlakuan tidak adil dan kekejaman sehari-hari, Yoora menghadapi penderitaan yang mendalam, di mana harapan dan kesedihan bersaing.
Saat penyesalan akhirnya datang menghampiri ketujuh kakaknya, mereka terpaksa menghadapi kenyataan pahit tentang masa lalu mereka. Namun, apakah penyesalan itu cukup untuk memperbaiki kerusakan yang telah terjadi?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 21: Seorang pelayan
Sudah hampir seminggu Jihwan dirawat di rumah sakit untuk menjalani masa pemulihannya pasca operasi, sedangkan Yoora sudah kembali lebih awal dibandingkan dengan dirinya. Jihwan menatap langit-langit ruang rumah sakit yang membosankan, jelas terlihat bahwa dia sudah tidak betah.
“Hyung… kapan aku akan pulang?” tanya Jihwan, nada suaranya penuh harap dan sedikit cemas.
“Hyung sudah bicara dengan dokter. Kamu sudah bisa kembali sekarang,” jawab Seonho, tersenyum lembut pada sang adik. Senyumnya menyiratkan rasa lega, seolah mengangkat beban yang selama ini mengganggu pikirannya.
“Benarkah?, Aku sudah tidak betah dengan bau rumah sakit ini.” ujar Jihwan bertanya lagi, matanya berbinar penuh harapan.
“Ya, mari bersiaplah! Kita akan segera pulang ke rumah.” ujar Seonho, penuh semangat.
“Hyung, bisa bantu aku bangkit?," pinta Jihwan, dia terlihat agak kesulitan untuk bergerak.
“Pasti, aku di sini untuk itu, Hyung tidak menyangka kamu lebih kuat dari yang kami kira. Ingat, kita sudah melewati ini semua bersama.” jawab Seonho sambil mengulurkan tangannya, menolong Jihwan untuk duduk.
" Aku tahu .. terimakasih untuk semuanya Hyung - Nim " ujar jihwan.
“Ayo, Jihwan! Setelah kita pulang, kita bisa nonton film bareng. Ini janji ya?” ucap Haesung yang sejak tadi memperhatikan, ikut menambahkan.
" Tapi Hyung selalu sibuk ! " Ujar jihwan yang tahu sesibuk apa haesung.
" Hyung bisa meluangkan waktu untuk itu " jawab haesung lagi .
“Benarkah?, aku ingin nonton semua film yang kalian suka. Sepertinya itu akan jadi hal yang menyenangkan.” ucap Jihwan tersenyum lemah.
“Bagaimana dengan makanan favoritmu? Kita bisa pesan pizza besar!” ucap Seonho, sambil melihat sekeliling ruangan sejenak, memastikan tidak ada yang mengganggu momen mereka.
“Pizza! Aku sudah merindukannya!” seru Jihwan dengan semangat, wajahnya cerah seolah semua rasa sakit dan ketidaknyamanan yang dialaminya selama ini seketika hilang.
"Bagus, Hyung akan belikan untukmu, tapi setelah ini, kamu tidak boleh bekerja terlalu keras. Jika perlu, berhenti saja," jawab Seonho dengan nada tegas.
''Hyung, itu impianku, tolong jangan hentikan mimpi ku," lirih Jihwan, matanya berbinar penuh harapan.
"Eh, aku hanya bercanda! { Seonho tertawa ringan } Tapi tolong, pastikan kamu menjaga dirimu dengan baik, dan jangan bekerja terlalu keras," Lanjutnya lagi, Dia menepuk lembut bahu Jihwan, memberi dorongan sekaligus peringatan.
“Bagus! Setelah kita pulang, kita akan merayakan kebebasanmu!,” ujar Haesung dengan semangat, seolah dia yang baru saja keluar dari rumah sakit.
Jihwan mengangguk penuh semangat, dan dalam hatinya, dia merasa bersyukur bisa kembali ke rumah, dikelilingi orang-orang yang mencintainya. Dia menatap wajah-wajah penuh kasih itu, merasa seolah-olah semua kesulitan yang dialaminya terbayar lunas dengan kebersamaan ini.
Mereka semua berkemas dan bergegas untuk kembali pulang. Kondisi Jihwan pun kembali pulih seperti sediakala. Ginjal yang dia dapat dari pendonor ternyata cocok dengannya, yang menyebabkan satu ginjalnya yang tersisa pun perlahan-lahan mulai mengalami perubahan yang membaik. Jihwan merasa seolah hidupnya kembali bersemangat.
Semua keluarga tentunya bahagia karena Jihwan berhasil dengan operasinya. Namun, hingga saat ini pun tidak ada yang tahu siapa pendonor untuk Jihwan, begitu juga dengan Jihwan yang tidak mengetahui jika operasi yang sudah dia lakukan adalah operasi transplantasi ginjal, karena seonho hanya mengatakan jika operasi ini bagian dari proses penyembuhan nya saja , dan Jihwan pun tidak banyak bertanya, karena memang sepenuhnya percaya pada kakak tertua nya itu.
Setelah menyelesaikan segala prosedur rumah sakit, kini semua keluarga Lee kembali ke rumah mereka dengan perasaan bahagia. Tak bisa dipungkiri, sebelumnya kesedihan selalu menghantui keluarga Lee, tetapi kini harapan baru menyelimuti mereka.
Tidak memakan waktu yang begitu lama, akhirnya mobil yang mereka tumpangi sampai di kediaman mereka. Namun, Jihwan sedikit mengernyitkan keningnya saat melihat dua mobil yang terparkir di depan mansion tersebut. Tanda tanya yang sama seolah dipikirkan oleh semua saudaranya yang lain.
"Hyung, mobil siapa itu?" tanya Jihwan dengan nada penasaran.
"Hyung tidak tahu. Kalian ada yang kenal dengan mobilnya?" Seonho bertanya kepada semua adiknya yang lain.
"Tidak..." jawab semuanya secara bersamaan, menggelengkan kepala.
"Ayo turun..." ujar Yongki, mendorong semua orang untuk segera keluar dari mobil.
Semua orang langsung turun dari mobil dan bergegas masuk ke dalam mansion. Saat langkah kaki tujuh pria tampan itu menyentuh lantai ruang tamu, mereka melihat dua wanita yang tidak asing di pandangan mereka, terutama dalam pandangan Namjin dan Seonho.
"Ji-won..." tutur Namjin, matanya melebar saat mengenali sosok wanita itu. Rasa kaget dan kerinduan bercampur aduk di hatinya.
"Ji-eun..." ujar Seonho juga, tak kalah terkejut. Wajahnya seolah kehilangan warna sejenak.
Kedua pria tersebut nampak terkejut melihat kehadiran dua wanita yang mereka kenal di sana. Kedua wanita tersebut langsung bangkit dan mendekati mereka dengan langkah ceria. Ji-eun bahkan sampai memeluk Seonho yang masih terdiam dalam keterkejutan.
"Heyyy... apa kabar?" ujar Ji-eun, suaranya ceria dan hangat, seolah semua rasa cemas hilang dalam pelukan itu.
"A... aku baik," gugup Seonho, merasakan denyut jantungnya semakin cepat. Dia berusaha menyembunyikan rasa terkejutnya di balik senyuman yang canggung.
"Kamu kenapa? Kenapa diam begitu?" Tanya Ji-eun, menyadari perubahan pada ekspresi Seonho.
"Tidak... Tidak ada. Ayo masuk," tutur Seonho, berusaha mengalihkan perhatian dengan mengajak semua orang untuk masuk dan melanjutkan berbincang di ruang tamu.
Kini, semua orang tengah duduk di ruang tamu yang dikelilingi oleh suasana hening yang berat, seolah waktu berhenti sejenak. Suara detak jam yang monoton menggantikan obrolan yang biasanya hangat. Beberapa saat berlalu dalam keheningan ini, hingga akhirnya Seonho membuka suara, memecah kesunyian yang mengendap di antara mereka.
"Kenapa tiba-tiba datang? Seharusnya bilang dulu, aku bisa menjemputmu," tutur Seonho, suaranya mencerminkan rasa bingung dan sedikit kesal.
"Maafkan aku, Seon... Aku hanya ingin melihat kondisi Jihwan dan datang sembari memberikan kejutan. Maaf jika apa yang aku lakukan membuat kalian tidak nyaman," jawab Ji-eun, wajahnya menunjukkan rasa bersalah yang mendalam.
"Emmm... Aku pun sama, aku minta maaf," ujar Ji-won, menambahkan ketidaknyamanan yang dirasakan oleh mereka berdua, merasa tak enak atas kehadiran yang mendadak ini.
"Tidak... Bukan itu maksudku, kalian datang tiba-tiba, kami tidak sempat menyiapkan apapun, tapi kami tidak keberatan dengan kehadiran kalian," Seonho berusaha menjelaskan, meski nada suaranya terlihat datar.
"Begitu kah...?" Tanya Ji-won sedikit ragu, tetapi senyumnya mulai merekah saat Seonho mengangguk mengiyakan.
"Sudahlah, karena sudah datang, aku mau memberikan hadiah untuk adikku," ujar Ji-eun, semangatnya tampak saat ia mendekati Jihwan.
"Ji... Ini untukmu, dari kami berdua" katanya sambil mengulurkan sebuah kotak kecil dengan senyuman cerah.
"Untukku?" Tanya Jihwan, kebingungan melintas di wajahnya, seolah tidak percaya dengan apa yang terjadi.
"Tentu! Seon bilang kamu menyukai hal seperti ini," jawab Ji-eun dengan antusias, menganggukkan kepala seolah meyakinkan Jihwan.
"Terima kasih... Noona," ujar Jihwan, senyumnya canggung namun tulus, seolah dia baru saja menerima harta paling berharga.
( Catatan: "Noona" (눈나) atau "nunna" (누나) dalam bahasa Korea berarti "kakak perempuan" dan digunakan oleh laki-laki untuk menyebut kakak perempuan kandung mereka ataupun perempuan yang lebih tua dari mereka. Ini adalah istilah yang menunjukkan rasa hormat dan keakraban. Tetapi dua kata ini bisa memiliki arti yang berbeda dalam konteks lain , seperti "nunna" (누나) yang kadang-kadang di gunakan dalam konteks romanisasi, ketika seorang pria yang lebih muda memanggil kekasih nya , sebagai rasa hormat. Sedangkan "Noona" (눈나) lebih ke hubungan antara kakak -beradik secara umumnya . Koreksi jika author salah ).
Dia memang sudah sering bertemu dan cukup dekat dengan Ji-eun, begitu pun dengan Ji-won, karena kedua wanita ini adalah orang terdekat dengan semua Hyung-nya.
"Sama-sama. Jangan lupa kamu makan, ya," ujar Ji-eun sambil mengusap lembut kepala Jihwan, membuat semua orang menatapnya dengan rasa heran.
"Nee..." jawab Jihwan dengan sedikit canggung, merasa tidak biasa mendapatkan perhatian seperti itu.
"Soo-ah, Tae-ah, ini untuk kalian, ji-won membawanya dari jepang" ujar Ji-eun sambil menyodorkan sebuah paper bag kepada mereka dengan senyuman lebar.
"Kami juga dapat?" tanya mereka berdua serentak, dengan rasa ingin tahu yang tergambar di wajah mereka.
"Tentu saja. Kalian juga adik kami," ujar Ji-eun sambil tersenyum manis, seolah memastikan kedekatan mereka sebagai keluarga.
Jungsoo dan Taehwan ikut terdiam, merasakan rasa canggung di antara mereka berdua, meskipun mereka sudah sering bertemu sebelumnya.
"Terima kasih..." ucap Seonho mewakili keterdiaman adik-adiknya, suaranya tegas namun hangat.
"Hahaha... iya, kalian ini kenapa sih? Aku bukan orang asing kan di sini, kenapa canggung sekali?" tutur Ji-eun, berusaha menghilangkan suasana tegang di antara mereka.
"Mereka canggung karena sudah lama tidak bertemu dengan kalian berdua," jelas Haesung sambil tersenyum, mengamati interaksi mereka.
"Akh, begitu ya... santai saja. Kenapa harus seperti itu?" tutur Ji-won, merasa tidak nyaman dengan ketegangan yang ada.
"Kamu terbang dari Jepang hanya untuk menjenguk Jihwan?, tidak ada mengabari ku " tanya Namjin dengan nada penasaran.
"Tidak, oppa. Aku ingin sekalian melihat keluargaku. Kebetulan eoni Ji-eun mengajak aku ke sini, jadi aku ikut saja," jawab Ji-won, merasa lega bisa menjelaskan.
" Yang membuat ku terkejut karena kalian datang bersamaan" jawab Seonho.
" Akhh.. aku tidak sengaja bertemu dengan jie-eun eoni , saat jalan - jalan di mal tempo hari " ujar Ji-won yang di angguki oleh Ji-Eun.
"Akhh.. begitu, lalu ada masalah dengan keluargamu, Ji-won?" tanya Seonho dengan serius, memperhatikan setiap detail di wajahnya.
"Tidak ada, oppa. Aku hanya merindukan mereka," jawab Ji-won sambil tersenyum tulus kepada Seonho, berusaha menunjukkan bahwa semua baik-baik saja.
"Baguslah kalau begitu..." ujar Seonho, senang mendengar jawaban itu.
"Jihwan, pergi ke kamar dan istirahat," perintah Seonho, suaranya tegas namun penuh kasih sayang.
"Iya, Hyung. Terima kasih untuk hadiahnya, Noona," ujar Jihwan sambil berlalu, meninggalkan semua orang di ruang tamu.
"Kami akan ikut dengan Ji-hyung," ujar Jungsoo dan Taehwan, berdiri bersiap untuk meninggalkan ruangan.
"Baiklah..." ucap Seonho dengan nada menyetujui.
"Terima kasih juga untuk hadiahnya, Noona," sambut keduanya sambil tersenyum, lalu mengikuti langkah Jihwan dan meninggalkan ruang tamu, meninggalkan semua kakak mereka dan dua wanita tersebut.
"Kenapa mereka canggung sekali?" ujar Ji Eun sambil terkekeh geli, menciptakan suasana ringan di antara mereka.
"Maklumi saja, namanya juga sudah lama tidak bertemu, ini pertama kalinya kalian datang ke sini, setelah sekian lama," jawab Seonho dengan nada santai, berusaha meredakan ketegangan.
"Iya... oh ya, oppa, tadi aku melihat seorang wanita cantik yang menyambut kedatangan kami itu. Siapa?" Tanya Ji-won, pertanyaannya langsung menciptakan ketegangan di antara mereka.
"Wanita cantik?" tanya Namjin, rasa penasaran menggantikan suasana santai.
"Iya, dia baik dan ramah sekali," ujar Ji Eun, menambahkan rasa ingin tahunya.
"Dia anaknya Bibi Ahn..." Ujar Seonho dengan nada santai, namun pandangan adik -adik nya langsung tertuju padanya, terutama Namjin yang tampak berpikir keras.
"Bibi Ahn? Pelayan keluarga kalian itu?" tanya Ji-won, jelas penasaran.
"Iya, Ji-won..." tuturnya, berusaha terdengar tidak terlalu terbebani.
"Aku tidak menyangka jika putrinya begitu cantik. Dia terlihat seperti imo," ujar Ji Eun, mengisyaratkan wajah ibu Seonho yang cantik, membuat Seonho terdiam sejenak.
( Catatan: Dalam bahasa Korea, "imo" (이모) digunakan untuk merujuk pada bibi dari sisi ibu. Kata ini merupakan istilah yang umum digunakan untuk menyapa atau merujuk kepada bibi yang memiliki hubungan darah dengan seseorang melalui ibu mereka. Koreksi jika author salah ) .
"Kalian menyamakan ibuku dengan dia?" tanya Seonho, sedikit membentak , dia menatap Ji Eun dengan tatapan tajam. Emosi campur aduk melintas di wajahnya.
"Akh... tidak begitu, oppa. Aku minta maaf, aku hanya terkesima dengan wajahnya, seolah aku sedang menatap imo saat masih muda," tutur Ji Eun, merasa tidak enak pada Seonho.
"Namjin oppa... seingatku, kamu pernah bilang punya adik perempuan, apa aku salah?" tanya Ji-won, wajahnya mencerminkan kebingungan dan rasa ingin tahunya yang mendalam.
Namjin menatap Seonho dengan wajah lirih, merasakan beban yang tak terucapkan. Haruskah dia mengatakan bahwa orang yang sedang mereka bicarakan adalah adik mereka? Namun, bagaimana dengan Seonho yang sudah menjelaskan bahwa Yoora adalah anak dari pelayan mereka? Dalam benaknya, keputusan ini terasa berat, seolah terjerat dalam jaringan kebohongan yang semakin rumit.
"Kami tidak punya adik perempuan, Ji-won," tutur Seonho memecahkan keheningan yang menggelayuti ruangan.
"Akhh, begitu kah? Mungkin aku hanya asal mengingat saja. Yasudah, kalau begitu," ujar Ji-won, mencoba mengalihkan perhatian dari kebingungannya meski nada suaranya masih tampak ragu.
"Kalian sudah makan?" tanya Yongki yang sedari tadi hanya diam, mengamati situasi dengan cermat.
"Belum... hehehe," kekeh Ji-eun, terlihat ceria meskipun ada ketegangan yang tersisa di antara mereka.
"Kalau begitu, ayo makan bersama. Aku sudah memesan makanan dari luar," tutur Yongki, tersenyum sambil menatap semua orang, berusaha mencairkan suasana.
"Wah... serius? Kapan oppa memesannya?" tanya Ji-eun dengan mata berbinar.
"Saat kalian sibuk menginterogasi Seon Hyung dan Namjin," jawab Yongki datar, membuat Ji-eun tertawa. Namun, Ji-won masih terdiam, tampak merenung, seolah ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya.
"Baguslah... ayo makan bersama. Oh ya, Hae-ah... bisa panggilkan mereka?" tuturnya, berusaha mengalihkan perhatian.
"Aku akan panggil Jihwan dan yang lainnya," ujar Haesung sambil berlalu meninggalkan semua orang di sana.
Siang itu, semuanya makan siang sambil sesekali melemparkan canda gurau bersama, tetapi suasana tampak berbeda bagi Namjin dan Ji-won. Keduanya terlihat hanya diam saja, seolah masing-masing terjebak dalam pikiran dan perasaan yang tak terucapkan, saling berbagi kebingungan di tengah kebahagiaan yang mengelilingi mereka.
Acara makan siang berjalan dengan baik tanpa ada gangguan sedikit pun. Ji-eun berencana mengajak Jungsoo dan Taehwan pergi bersama setelah ini. Namun, Ji-won yang tampak diam sejak tadi menarik perhatian Namjin.
"Ada apa?" tanya Namjin, mencuri perhatian Ji-won yang terlihat gelisah.
"Akhh... T... tidak ada." Ji-won berusaha tersenyum, tetapi senyumnya terlihat canggung dan penuh ketidakpastian.
"Ada apa?" Seonho juga merasa aneh dengan tingkah Ji-won yang terlihat berbeda.
"Tidak ada, oppa. Seperti nya aku harus segera pulang." Ia berusaha mengalihkan pembicaraan, matanya melirik ke arah jam tangan, seolah menghitung waktu.
" Sungguh? " Tanya seonho yang di angguki oleh Ji-won, dia berusaha tetap tersenyum di hadapan semua orang meskipun hati nya memendam sesuatu yang ingin dia katakan.
"Yongki oppa, terima kasih untuk makan siangnya. Lain kali mampir lah ke rumah kami juga," ujar Ji-won dengan senyum tipis, berusaha menciptakan suasana hangat meski ada rasa tidak nyaman di dalam hatinya.
"Sama-sama..." jawab Yongki singkat, tampak acuh seperti biasanya. Semua orang memang sudah tahu dengan sikapnya yang dingin, jadi tidak ada yang pernah mempermasalahkan hal itu.
"Jihwan... Cepat sembuh ya. Semoga kamu suka dengan hadiah mu," tambah Ji-won sembari tersenyum, berusaha menunjukkan rasa perhatian.
"Aku suka... terima kasih banyak, noona," balas Jihwan dengan senyum tulus.
"Emm... Kalau begitu, aku pamit pulang. Aku akan berkunjung ke sini lagi lain kali," ujarnya sambil berdiri dari tempat duduk.
"Aku antarkan," ucap Namjin yang ikut bangun, dari Tempat duduk nya.
"Tidak perlu, Oppa," Ji-won menolak dengan lembut, tetapi ada nada tegas dalam suaranya, seolah ingin menjaga jarak.
"Ada yang ingin aku bahas juga, tentang buku itu," kata Namjin, mencoba merespons penolakannya, meskipun tahu itu mungkin bukan alasan yang sepenuhnya serius.
Namun, sepertinya Ji-won juga paham dengan kode yang Namjin berikan. Seolah mengerti kegelisahan yang mendekap di dalam dirinya, Ji-won akhirnya mengangguk. Dia mengiyakan hal tersebut dan membiarkan Namjin mengantarnya pulang.
"Akhh... baiklah, kami pamit dulu. Eoni, aku duluan ya," tutur Ji-won berpamitan kepada Ji-eun yang masih duduk di tempatnya.
"Hati-hati di jalan," jawab Ji-eun dengan senyuman, meskipun dalam hatinya ada kekhawatiran yang tak terucapkan.
Namjin kini benar-benar pergi untuk mengantarkan Ji-won kembali ke rumahnya. Sepanjang perjalanan, keheningan mengisi ruang di antara mereka, hanya dipecah oleh alunan musik ringan yang mengalun lembut.
"Oppa..." Ujar Ji-won, mencoba memecah keheningan yang kian menekan.
"Eummm..." Jawab Namjin tanpa menoleh, fokus pada jalan di depan sambil menggenggam kemudi.
"Wanita itu... { Ucapnya, ragu-ragu seolah berat untuk melanjutkan} benar-benar anak dari bibi Ahn?, jika iya lalu di mana adikmu ? Aki yakin tidak dalah ingat," Tanya Ji-won.
Namjin terdiam sejenak, seolah merenungkan pertanyaan itu. Dia menarik napas panjang sebelum akhirnya menghentikan mobilnya di bahu jalan.
"Jika aku mengatakan yang sebenarnya, apa yang akan kamu lakukan?" Tanya Namjin, menatap Ji-won dengan tatapan serius.
"Aku akan ikut seperti apa yang akan oppa lakukan," jawab Ji-won dengan tegas.
"Dia... adikku " ungkap Namjin, menatap Ji-won dalam-dalam.
"Adik... adikmu?" Tanya Ji-won terkejut, matanya membesar.
"Iya, dia satu-satunya anak perempuan di keluarga Lee " Namjin menjelaskan, suaranya penuh beban.
"Lalu kenapa Seon oppa mengatakan jika dia adalah anak bibi Ahn?" Ji-won mengernyitkan dahi, kebingungan.
"Mereka semua membencinya. Aku pun dulu termasuk orang yang membencinya, mereka semua menyalahkan kematian Daddy dan kepergian Mommy dalam hidup kami." " ujar Namjin, nada suaranya sarat penyesalan.
"Kepergian samcheon? Selama itu?" Tanya Ji-won tak percaya.
"Selama itu..." Namjin mengangguk, merasakan kembali sakit yang terpendam.
"Ya Tuhan... Apa ini? Oppa, tahu aku melihatnya seperti anak yang baik dan begitu penurut " Ji-won menghela napas, air mata mengalir di pipinya. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya hidup seperti Yoora.
"Dia selalu baik. Aku benci melihatnya tidak pernah bisa mengekspresikan kesedihannya. Apapun yang terjadi, dia selalu tersenyum. Aku bahkan tidak tahu seberapa dalam luka di hatinya " Namjin mengungkapkan isi hatinya, suaranya bergetar.
"Oppa, tahu... Aku hampir percaya dengan apa yang Seon oppa katakan karena dia sendiri juga mengatakan hal yang sama " Ji-won menambahkan, menatap Namjin dengan penuh empati.
"Apa?" Namjin terkejut, tidak percaya.
"Eummm... Saat aku dan eonii Ji-eun datang ke sana, kondisi rumah terlihat sepi. Hanya ada beberapa penjaga saja. Ketika kami datang, Dialah yang menyambut kami. Awalnya, aku kira dia istri salah satu di antara kalian, tapi setelah beberapa saat kami berbicara, dia sendiri yang mengatakan bahwa dirinya adalah seorang pelayan di sana " jelas Ji-won, mengenang kejadian sebelumnya.
"Lalu kenapa kamu bertanya lagi tentang dia pada kami?" Tanya Namjin, ingin tahu.
"Kami penasaran saja. Dia terlalu cantik untuk sekelas orang yang bekerja sebagai pelayan " Ji-won menjawab, memperlihatkan ketertarikan yang tulus.
"Dia baru pulang dari asrama setelah menyelesaikan urusan sekolahnya, jadi dia tidak hadir di rumah sakit saat Jihwan melakukan operasi " Namjin menjelaskan.
"Asrama... Apa hal seperti itu masih ada?" Tanya Ji-won, terkejut.
"Seon Hyung yang mengatur semua urusan tentang pendidikan Yoora. Sedangkan aku, tidak bisa melakukan apapun untuknya. Aku membiarkannya menangis sendirian, aku bahkan tidak pernah ada saat semua saudara ku menyakiti dia " kata Namjin, nada suaranya penuh kecewa.
"Oppa... Kenapa kamu tidak membawa Yoora pergi dari rumah saja? Kamu kan punya banyak sekali properti di luar sana. Bahkan aku yakin jika hanya untuk menghidupi satu atau dua orang, di pundakmu kamu tidak akan keberatan. Bukankah terlalu menyedihkan membiarkannya hidup dalam tekanan seperti itu selama bertahun-tahun?" Ji-won berusaha memberikan saran yang mungkin bisa membantu Namjin.
"Sudah berulangkali aku mencobanya, tapi Yoora tetap bersikeras untuk bertahan di sana. Aku tidak tahu bagaimana cara membujuknya. Ditambah lagi, aku tidak berani melanggar perintah dari Seon Hyung. Jungsoo pun akan begitu marah jika tahu aku mengajak Yoora untuk tinggal bersamaku. Kamu tahu, aku juga sangat menyayangi Jungsoo. Itulah yang membuatku terlihat seperti seorang pengecut, bukan?" jawab Namjin, mencurahkan semua perasaannya kepada Ji-won.
"Aku paham dengan kondisi yang membingungkan ini. Lalu sekarang, kamu akan terus membiarkan semua ini terjadi begitu saja?" tanya Ji-won, menatap Namjin dengan harapan.
"Aku memikirkan Jungsoo juga. Terakhir kali ada ketegangan di antara kami karena Jungsoo memukuli Yoora hingga dia tak sadarkan diri. Tapi saat itu, Seon Hyung masih terus membela kesalahan Jungsoo dan menyalahkan semuanya pada Yoora. Saat itu, Jungsoo memintaku untuk memilih antara menjauhi Yoora atau menjauhinya. Akhirnya, aku memilih untuk menjauhi Yoora karena desakan dari semua saudara ku " tutur Namjin, mengingat momen pertengkaran yang menyakitkan itu.
" Itu terdengar begitu rumit. Ternyata ada rahasia sebesar ini yang disembunyikan keluarga Lee dari dunia luar " ucap Ji-won, tertegun dan kehabisan kata-kata untuk menanggapi ucapan Namjin.
"Ji-won... Bisakah kamu rahasiakan semua ini dari keluargaku dan orang lain?" Tanya Namjin, suaranya penuh harap.
"Jika itu yang terbaik menurutmu, aku akan melakukannya " jawab Ji-won, menggenggam tangan Namjin dengan erat, seolah ingin memberikan kekuatan.
" Aku percaya padamu!!" Ucap Namjin sembari tersenyum mendengar penuturan wanita di samping nya .
"Aku akan bantu dia hingga mendapatkan keadilan yang selama ini tidak dia dapatkan. Mereka terlalu kejam karena telah menyembunyikan Yoora dari dunia. Bagaimana bisa mereka menyalahkan seseorang atas takdir yang sudah Tuhan gariskan untuk mereka?" ujar Ji-won, semangatnya menggebu.
"Dahulu, aku pun sama buruknya dengan mereka. Aku juga ikut menyalahkannya atas kematian Daddy dan kepergian Mommy dari hidupku. Aku berpikir jika saja hari itu tidak terjadi, mungkin Daddy masih hidup sampai saat ini, dan kami tidak perlu kehilangan Mommy " ungkap Namjin, suara penuh penyesalan.
"Pemikiran seperti itu yang kalian pegang terhadap Yoora. Tidakkah kalian berpikir jika Yoora adalah yang paling tersakiti di sini? Dia yang paling kecil di antara kalian, kehilangan segalanya. Pasti bukanlah hal yang mudah baginya. Kenapa kalian malah ikut menyudutkannya? Aku tidak habis pikir dengan pemikiran kalian. Bahkan seorang pria berpendidikan tinggi seperti kalian bisa melakukan hal sebodoh dan Serendah- Han itu " ujar Ji-won, kemarahan dan kekecewaan terlihat jelas di wajahnya.
"Aku tahu. Dan sekarang, aku kembali mengulangi semuanya lagi. Aku menjauhinya untuk menepati janjiku pada Jungsoo. Aku tahu aku salah, tetapi aku tidak ingin saudara-saudaraku yang lain semakin menyakiti dia karena aku yang selalu membelanya " kata Namjin, matanya menatap Ji-won penuh penyesalan.
"Huff... bahkan seekor itik yang ditenggelamkan oleh ibunya pun akan lebih baik dibandingkan dengan nasib Yoora " desah Ji-won, frustasi. Namjin hanya terdiam, menarik napas panjang atas ucapan Ji-won yang menyentuh hatinya.
"Terima kasih sudah mendengarkan ceritaku. Tapi aku mohon, jangan ceritakan ini pada siapapun. Berpura-pura lah tidak tahu jika sedang ada di hadapan semua orang " tutur Namjin, nada suaranya serius.
"Aku benci hal seperti ini, tetapi demi kamu, akan aku coba " jawab Ji-won lirih.
"Terima kasih " ucap Namjin, mengangguk penuh rasa syukur.
Keduanya melanjutkan perjalanan tanpa ada percakapan lebih lanjut. Ji-won masih terkejut dengan fakta yang baru dia dengar. Pantas saja firasatnya mengatakan bahwa Yoora ada hubungannya dengan keluarga Lee. Walaupun Ji-won tidak begitu mengenal keluarga Lee yang merupakan keluarga sahabatnya sendiri, tapi dia juga tidak lupa bahwa keluarga Lee memang memiliki seorang putri. Namun, entah mengapa, semua orang hanya menyebut bahwa mereka memiliki tujuh putra. Sekarang dia tahu mengapa hal itu terjadi.