Seorang gadis yang tidak percaya cinta karena masa lalunya, tidak percaya dengan dirinya sendiri. Kemudian dihadapkan dengan seseorang yang serius melamarnya.
Jika dia akhirnya menerima uluran tangannya, akankah dia bisa lepas dari masa lalunya atau semakin takut ?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gama Lubis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Duo Jail
Semua selamat. Itu kabar baik pertama yang Malik dengar ketika matanya terbuka, masih terasa berat. Bang Rizal memberitahunya kabar terbaru. Sekitar setengah pendaki sudah dievakuasi ke pos lebih aman. Udara dingin masih menusuk, meski hujan sudah reda sejak tadi. Helikopter penyelamat bergemuruh dari kejauhan, mengingatkan bahwa bencana kecil ini meninggalkan pelajaran besar bagi mereka semua.
Malik menarik napas dalam, rasa lega yang pelan-pelan meresap saat mendengar kabar bahwa semua pendaki, termasuk Naima, selamat. Hembusan udara dingin masih terasa menusuk, tetapi tidak lagi mematikan seperti sebelumnya. Tabung oksigen yang sempat menemaninya sudah dilepas, dan meski tubuhnya terasa lemah, ia bersyukur bisa melewati cobaan ini.
Suara helikopter kembali terdengar, memecah keheningan di pos penyelamat. Pintu ruangan terbuka, memperlihatkan beberapa pendaki yang baru saja bergabung, termasuk Naima. Gadis itu masih mengenakan jaket tebal, berjalan pelan dengan pandangan tertunduk. Tangannya memeluk tubuhnya erat, seolah berusaha mengusir sisa-sisa dingin yang membekukan.
"Malik," suara Bimo membuyarkan lamunan Malik. Bimo langsung duduk di sampingnya dengan ekspresi lelah namun tetap menyiratkan semangat khasnya. "Asli, gw panik banget waktu Lo tiba-tiba ambruk. Tuhan aja yang tau gimana perasaan gw," katanya dengan nada dramatis, lalu merebahkan tubuhnya di matras yang baru saja digunakan Malik.
Malik tersenyum kecil, tapi matanya lebih tertuju pada Naima yang berdiri ragu di belakang Bimo. Gadis itu tampak bingung, seperti tidak tahu harus apa. Matanya melirik ke arah pintu, tanda bahwa ia mempertimbangkan untuk pergi. Namun sebelum ia sempat melangkah, Malik menahan ujung jaketnya.
"Naima," ucap Malik pelan, "duduk dulu. Istirahat. Kamu pucet banget tadi."
Naima menoleh, menatap Malik sejenak dengan ekspresi campur aduk. Ia kemudian melirik ke arah Bimo, memastikan bahwa lelaki itu benar-benar tertidur dan tidak akan menggodanya seperti biasanya. Tidak ada tanda-tanda kejailan di wajah Bimo yang kini terlelap, hanya kelelahan yang terlihat jelas.
Naima menghela napas panjang, akhirnya menyerah pada permintaan Malik. Ia duduk di sampingnya, diam-diam menatap kedua tangannya yang masih bergetar halus. Kejadian di gunung itu masih terngiang jelas di kepalanya, dari hujan deras, udara dingin yang menusuk, hingga perjuangan Malik untuk mencari bantuan.
“Kamu udah mendingan?” tanya Malik lagi, kali ini lebih lembut, tapi dengan tatapan yang tak lepas dari Naima. Ada kekhawatiran yang jelas di sorot matanya.
Naima mendengus pelan, sedikit canggung. “Haha, harusnya gw yang tanya itu, kan?” jawabnya, tanpa menoleh. Tangannya erat memeluk lutut, pandangannya terbenam di tanah di depannya. Dia menghindari kontak mata, entah kenapa rasanya terlalu berat untuk menatap Malik saat ini.
Malik tertawa kecil, nadanya ringan. “Ah, kamu khawatir ya?” tanyanya, setengah bercanda tapi serius di saat yang sama. “It’s okay, aku baik-baik aja,” lanjutnya, sambil menyandarkan punggungnya ke dinding. Senyumnya tetap ramah seperti biasa.
Keduanya saling terdiam, seolah kehilangan topik pembicaraan. Suasana di antara mereka sunyi, hanya diiringi suara angin yang masih berhembus lembut dari luar gubuk. Namun, diam itu tak bertahan lama. Bimo yang sejak tadi berpura-pura tidur, akhirnya tak tahan juga untuk ikut campur.
“Lo tau ga, Malik,” ucap Bimo tiba-tiba, dengan suara serak khas orang yang baru bangun. “Pas Naima datang tadi, dia nanyain lo, tau.”
Naima yang tadinya masih tenggelam dalam keheningan langsung tersentak. “He? Kapan gw ngomong gitu?” protesnya, matanya membola, mencoba membantah tuduhan Bimo. Tapi rona merah di pipinya justru mengkhianati usahanya.
Bimo mengangkat alis, wajahnya dipenuhi ekspresi jail. “Idih, tuh mukanya merah. Ga usah bohong, Aim. Gw liat kok,” tambahnya, sambil nyengir lebar.
“Woi, diem Lo, Bimo!” seru Naima, suaranya meninggi. Tangannya dengan refleks memukul ringan bahu Bimo, tapi wajahnya tetap memerah, mencoba menyembunyikan rasa malunya. Dia tak berani melirik Malik.
Malik, yang sejak tadi menyimak interaksi mereka, hanya tersenyum kecil. Dia tak berkata apa-apa, tapi matanya berbinar melihat sisi Naima yang lebih ekspresif. Mungkin Bimo memang usil, tapi sedikit banyak, itu membantunya merasa lebih santai.
Naima menghela napas berat, lalu berdiri tiba-tiba. “Gw ambil minum dulu,” katanya buru-buru, tanpa menunggu respons dari keduanya. Dia berjalan ke arah lain, menjauh untuk menenangkan dirinya.
Setelah Naima pergi, Malik menggeleng pelan sambil tersenyum. “Lo emang usil banget ya, Bim.”
Bimo hanya terkekeh, tanpa rasa bersalah. “Ah, itu gw bantu Lo aja, bro. Biar ada kemajuan dikit, gitu. Jangan cuma diem-dieman aja,” jawabnya, sambil mengedipkan sebelah matanya.
Malik tertawa kecil, lalu menatap ke arah pintu di mana Naima tadi pergi. Mungkin benar, Naima yang seperti ini memang tandanya dia baik-baik saja.
Bimo memiringkan kepalanya sedikit, menyipitkan mata dengan ekspresi penuh rasa ingin tahu. “Oiya, gw penasaran deh. Lo tertarik sama Naima ya, heh?” tanyanya, wajahnya mendekat dengan gerakan lambat, memberikan aura intimidasi yang cukup untuk membuat Malik salah tingkah.
Malik refleks mundur, menghindari kedekatan Bimo. “Ah… gw…” ucapnya gugup, kalimatnya menggantung seperti seseorang yang tertangkap basah melakukan sesuatu.
Melihat reaksi Malik, senyum tipis terlukis di bibir Bimo. Dia menegakkan tubuhnya kembali, namun matanya masih menatap Malik dengan tajam. “Kalo Lo cuma penasaran, sebaiknya Lo berhenti,” ucapnya tegas, nada suaranya lebih serius dari sebelumnya. “Waktu kita liat sunrise, gw denger Naima udah dilamar. Gw liat dia ngobrol sama Bang Rizal soal itu.”
Perkataan Bimo menusuk telinga Malik. Ia memiringkan kepala sedikit, ekspresi bingung muncul di wajahnya. “Dilamar?” gumamnya.
“Iya, bro. Yang dilamar aja masih digantung, apalagi Lo yang cuma tertarik doang. Langsung ditendang, bro,” ucap Bimo, sambil mengangkat bahu seperti memberi peringatan terakhir.
Namun, alih-alih terlihat panik, Malik justru menghela napas panjang, lalu berkata pelan, “dan mereka ada orang yang sama.”
Bimo berhenti. Tubuhnya membeku sejenak, seperti otaknya sedang sibuk memproses kata-kata Malik. Beberapa detik berlalu sebelum akhirnya ekspresi kaget terpampang di wajahnya. Dia menatap Malik dengan mata membelalak. “HEH, SERIUS LO YANG LAM—!”
Kalimatnya terputus karena Malik dengan cepat melangkah maju dan membekap mulutnya. “Diam, bro! Jangan teriak!” desis Malik dengan nada putus asa, matanya melirik sekeliling untuk memastikan tidak ada yang mendengar.
Namun, kejadian itu justru menarik perhatian Susi yang kebetulan melintas tidak jauh dari mereka. Matanya langsung menangkap pemandangan aneh—Malik dan Bimo terlihat terlalu dekat, dengan Malik membekap mulut Bimo. Alisnya terangkat, dan dengan langkah cepat dia mendekati mereka.
“Woi, kalian ngapain?!” serunya, suaranya menggema hingga membuat beberapa orang lain ikut melirik ke arah mereka.
Bimo langsung menepis tangan Malik dari mulutnya. Ia dan Malik dengan cepat memasang jarak aman, mencoba terlihat normal. Namun, tatapan curiga Susi tidak beranjak. Dia menyipitkan matanya, menatap mereka berdua dengan intensitas yang semakin membuat Malik gelisah.
Bimo, yang merasa situasi sudah tidak bisa diredam, mendekatkan wajahnya ke Susi. Dengan gerakan cepat, dia menutup mulutnya sendiri dengan tangan, memastikan hanya Susi yang bisa mendengar. Malik, di sisi lain, memukul dahinya sendiri, menyadari kesalahan fatal yang baru saja terjadi.
“Malik ngelamar Naima,” bisik Bimo dengan suara pelan tapi cukup jelas untuk membuat Susi tertegun.
Susi membelalakkan matanya. Coki-coki yang sedang ia kunyah terlepas dari mulutnya, jatuh ke lantai tanpa ia sadari. “HEH, NGELAM—!”
“Diam, Sus!” potong Bimo cepat, kali ini giliran dia yang membekap mulut Susi. “Suaranya, bro! Jangan bikin semua orang tau!” desisnya panik.
Namun, teriakan singkat Susi tadi sudah cukup untuk menarik perhatian beberapa orang di sekitar mereka. Beberapa kepala mulai menoleh, memperhatikan ketiganya dengan penasaran. Melihat situasi semakin aneh, Bimo hanya bisa nyengir kuda, mencoba memberi isyarat bahwa semuanya baik-baik saja.
“Iya, reaksi Lo sama kayak gw tadi,” kata Bimo dengan nada kesal. “Sekarang paham kan kenapa gw tadi teriak?” lanjutnya, memutar matanya seolah ingin mengingatkan Susi betapa hebohnya dirinya barusan.
Susi akhirnya mengangguk pelan, tampaknya masih sibuk mencerna informasi baru tersebut. Bimo melepaskan tangannya dari mulut Susi, yang kini berdiri terpaku dengan tatapan bingung, sementara Bimo mulai mengamati Malik dengan pandangan penuh selidik.
Malik, yang sejak tadi tidak bisa menemukan celah untuk melarikan diri, hanya bisa menghela napas panjang. Tatapannya jatuh ke tanah, menyalahkan dirinya sendiri. “Aduh,” gumamnya pelan, hampir tidak terdengar. “Kenapa juga gw ngasih tau mereka...”
Kini, Bimo dan Susi berdiri di hadapannya, memandang Malik seperti dua detektif yang menginterogasi seorang tersangka. Malik tahu, penjelasan panjang lebar pasti akan segera diminta darinya.
“Malik…” kata Susi pelan, tapi nadanya penuh tuntutan. “Kapan? Gimana caranya? Kenapa kita ga tau?” serunya, kini mulai bersemangat dengan ribuan pertanyaan yang menumpuk di benaknya.
Bimo ikut menyambung, melipat tangannya di dada. “Iya, bro. Lo punya banyak banget yang harus dijelasin sekarang.”
Malik mendongak perlahan, menatap kedua temannya dengan tatapan lelah. “Udahlah, jangan banyak tanya dulu. Serius, kepala gw udah pusing.” Suaranya terdengar frustrasi, namun tidak cukup untuk memadamkan rasa ingin tahu Susi dan Bimo.
Keduanya saling bertukar pandang, lalu kembali menatap Malik, kali ini dengan senyum jahil yang sama-sama mereka kenakan. Malik hanya bisa menghela napas lagi, menyadari bahwa dirinya tidak akan bisa lolos dengan mudah dari kejaran mereka.
“Tenang, Malik,” ucap Bimo, menepuk bahu Malik dengan penuh percaya diri, “serahkan ini pada yang berpengalaman.”
Malik mengernyit, bingung dengan maksud Bimo. “Yang berpengalaman apaan?” tanyanya curiga.
Susi menyela, menimpali dengan nada antusias sambil mengangguk-angguk. “Betul tuh, betul! Yang penting sekarang Lo harus nurut aja. Kita urus semua.”
Keduanya saling bertukar pandang, lalu meledak dalam tawa. Suara mereka menggema di ruangan kecil itu, membuat beberapa orang lain melirik penasaran.
Malik memandang mereka dengan tatapan setengah frustrasi, setengah tak percaya. Melihat mereka berdua tertawa lepas, Malik hanya bisa menghela napas panjang, menundukkan kepala, dan menutup wajah dengan kedua tangannya. “Astaga, gw bakal mati konyol gara-gara kalian…” gumamnya.
Namun, Bimo dan Susi sama sekali tidak peduli. Mereka sibuk menikmati ide-ide mereka sendiri, seolah menemukan permainan baru yang sangat menyenangkan.
Melihat semangat mereka yang tidak terbendung, Malik hanya bisa menggelengkan kepala, menyerah pada kegilaan yang sedang mereka rencanakan. Dalam hati, ia hanya berharap Naima tidak mendengar semua ini, atau dia akan kehilangan harga dirinya untuk selamanya.
Jangan lupa mampir juga di novel terbaru aku "Bertahan Luka"
Ditunggu ya kak