Seorang pengguna roh legendaris, yang sepanjang hidupnya hanya mengenal darah dan pertempuran, akhirnya merasa jenuh dengan peperangan tanpa akhir. Dengan hati yang hancur dan jiwa yang letih, ia memutuskan mengakhiri hidupnya, berharap menemukan kedamaian abadi. Namun, takdir justru mempermainkannya—ia terlahir kembali sebagai Ferisu Von Velmoria, pangeran ketiga Kerajaan Velmoria.
Di dunia di mana setiap orang memiliki kesempatan untuk menjalin kontrak dengan roh, Ferisu justru dikenal sebagai "Pangeran Sampah." Tidak ada roh yang mau menjawab panggilannya. Dipandang sebagai aib keluarga kerajaan, ia menjalani hidup dalam kemalasan dan menerima ejekan tanpa perlawanan.
Tetapi saat ia masuk ke Akademi Astralis, tempat di mana para ahli roh belajar tentang sihir, teknik, dan cara bertarung dengan roh, sebuah tempat terbaik untuk menciptakan para ahli. Di sana Ferisu mengalami serangkaian peristiwa hingga akhirnya ia menunjukkan siapa dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Katsumi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 31 : Manticore
Ferisu terus melangkah mantap di lantai gelap itu, punggungnya yang kokoh menopang tubuh Erica yang terdiam dengan wajah memerah. Ia tetap waspada, matanya bergerak memindai setiap sudut ruangan untuk mengantisipasi kemungkinan serangan tiba-tiba dari monster. Suasana yang sepi hanya diisi oleh suara langkah kaki dan napas mereka.
Erica, yang belum berkata apa-apa sejak tadi, merasa dirinya dipenuhi campuran rasa malu, nyaman, dan aman—perasaan yang jarang ia rasakan. Ia mencoba menenangkan pikirannya, tapi jantungnya tetap berdegup kencang. Akhirnya, ia memecah keheningan.
"Hei..." Erica memanggil pelan, suaranya hampir tenggelam dalam suara langkah Ferisu.
"Apa?" Ferisu menjawab dengan nada datar, tak sedikit pun menoleh.
"Tadi... sebelum Minotaur itu muncul, kau ingin mengatakan sesuatu, kan? Jawaban kenapa kau menyusulku turun ke sini..." Erica bertanya dengan penuh rasa penasaran.
Ferisu terdiam sejenak, mencoba mengingat. "Hmm... ah," gumamnya, "Tentunya karena kau tunanganku," ucapnya singkat, seperti itu adalah jawaban yang paling wajar.
"Hah!? Hanya itu?" Erica membelalak, tak percaya dengan jawaban yang begitu sederhana.
"Memangnya ada alasan lain?" Ferisu balas bertanya, suaranya tetap tenang.
Erica mendesah panjang. "Tak bisa dipercaya... kau yang selalu tak peduli padaku, suka bermalas-malasan, dan bertindak seenaknya?"
Ferisu menghela napas, langkahnya tetap mantap meski membawa beban di punggungnya. "Kau tahu... aku memang membenci pertunangan ini."
Mendengar itu, Erica tersentak. "Kalau begitu, kenapa?"
Ferisu terdiam sesaat sebelum menjawab. "Tapi... orang tua kalian mempercayakan kalian padaku—pada Seorang pangeran yang dianggap sampah dengan segudang rumor buruk. Setidaknya, aku ingin menjawab rasa percaya mereka. Jadi, aku akan menjaga kalian, apa pun yang terjadi," ucap Ferisu, kali ini menoleh sedikit ke belakang dengan senyum tipis yang terukir di wajahnya.
Erica yang melihat senyum itu merasa dadanya berdesir. Ia cepat-cepat memalingkan wajahnya, tak ingin Ferisu melihat rona merah di pipinya. "Kenapa... kenapa aku tak berani melihat wajahnya?" gumam Erica pelan, heran dengan perasaannya sendiri.
Jantungnya berdetak lebih kencang dari sebelumnya. Kata-kata Ferisu tadi terus terngiang di kepalanya, membuatnya tak menyangka bahwa pria yang selama ini ia anggap dingin dan apatis, mampu berkata sesuatu yang begitu tulus.
.
.
.
Ferisu terus berjalan sembari menggendong Erica di punggungnya. Namun, setelah cukup lama, mereka akhirnya mencapai sebuah tebing tinggi yang menjulang di hadapan mereka.
"Mungkin kita bisa naik ke atas sana," ucap Ferisu sambil menatap tebing itu, matanya menyisir kemungkinan jalur pendakian.
"Bagaimana caranya?" Erica bertanya, masih terkejut dengan ide Ferisu yang tampak begitu percaya diri.
"Pegangan yang erat!" seru Ferisu mendadak sembari memasang kuda-kuda.
"Hah!? Tunggu—" Erica terperanjat, tak siap dengan aba-aba mendadak itu. Namun, sebelum sempat memprotes, Ferisu sudah melesat dengan kecepatan luar biasa.
Refleks, Erica memeluk Ferisu erat-erat, wajahnya terkubur di punggungnya. Ferisu bergerak lincah, menggunakan setiap tonjolan di dinding tebing sebagai pijakan. Langkahnya presisi, setiap lompatan dihitung dengan sempurna. Hembusan angin yang menyentuh wajah Erica membuatnya semakin menyadari betapa tinggi dan cepat mereka bergerak.
Tak lama kemudian, mereka mencapai puncak. Ferisu mendarat dengan stabil, kemudian menoleh ke belakang dengan tenang. "Kau bisa membuka matamu. Kita sudah sampai," ujarnya lembut.
Erica perlahan membuka matanya. Saat ia menoleh ke belakang, ia tertegun. Tebing yang mereka panjat tampak sangat curam dan tinggi, sesuatu yang menurutnya hampir mustahil dilalui tanpa bantuan sihir.
"Dia benar-benar memanjat tebing ini tanpa bantuan sihir atau energi roh?" gumam Erica dalam hati, tatapan tak percayanya masih terpaku pada Ferisu.
Ferisu menatap Erica sejenak. "Apa kau sudah bisa berjalan sendiri sekarang?" tanyanya.
"Eh? Ah..." Erica terkejut mendengar pertanyaan itu. Sebetulnya, ia sudah merasa cukup pulih untuk berjalan sendiri. Namun, entah kenapa, ia tak ingin turun. "Maaf, tapi... aku masih cukup lelah," ucapnya pelan, wajahnya sedikit memerah.
Ferisu hanya menghela napas. "Baiklah," jawabnya singkat, lalu melanjutkan perjalanan sambil tetap menggendong Erica di punggungnya.
Setelah berjalan beberapa saat, mereka tiba di sebuah ruangan yang sangat berbeda dari sebelumnya. Ruangan itu begitu luas, dindingnya dipenuhi kristal bercahaya lembut yang memancarkan cahaya biru keunguan, menciptakan atmosfer yang magis dan memukau, hampir seperti dunia lain.
"Indah sekali..." gumam Erica, matanya terpaku pada keindahan kristal-kristal itu. Namun, kekagumannya segera berubah menjadi kegelisahan. "Tapi kenapa rasanya... tempat ini terasa aneh?"
Ferisu menghentikan langkahnya, matanya menyisir seluruh ruangan dengan penuh kewaspadaan. "Ya, terlalu tenang untuk ukuran dungeon," jawabnya dengan nada rendah, tubuhnya bersiap menghadapi ancaman yang mungkin muncul.
Tiba-tiba, tanah di bawah mereka bergetar hebat. Sebuah celah besar terbuka di tengah ruangan, diikuti oleh suara gemuruh yang memekakkan telinga. Erica hampir terjatuh karena getaran itu, namun Ferisu segera menopangnya.
Dari celah besar itu, muncul makhluk raksasa berbentuk gabungan singa, kelelawar, dan kalajengking. Tubuhnya dilapisi sisik yang memantulkan kilauan cahaya kristal, dan ekornya yang seperti kalajengking bergetar, siap menyerang. Aura yang dipancarkan makhluk itu begitu mencekam hingga udara di ruangan terasa berat.
Ferisu memandang makhluk itu dengan ekspresi tenang, meskipun bahaya besar terpancar jelas dari setiap gerakannya. "Jadi ini bosnya," gumamnya pelan. Matanya menyipit, menilai lawan di hadapannya.
Erica yang berdiri di belakangnya terbelalak, tubuhnya gemetar. "Makhluk apa itu? Aku belum pernah melihatnya sebelumnya!" serunya dengan nada panik.
"Manticore, monster rank A. Gabungan kekuatan dan kecepatan. Ini bukan lawan yang bisa dianggap remeh," jawab Ferisu santai, seolah menghadapi monster selevel itu adalah hal biasa baginya.
Ferisu meletakkan Erica dengan hati-hati ke tanah, memastikan ia bisa berdiri tegak. "Dengar, Erica. Tetap di belakangku dan jangan lakukan sesuatu yang gegabah. Aku akan mengurus ini," katanya sambil mencabut pedangnya. Pedang itu berkilau samar, namun tidak ada energi sihir atau roh yang melingkupinya.
"Kau... kau yakin bisa melawan itu?" Erica bertanya, suaranya gemetar antara cemas dan ragu.
Ferisu menoleh, menatapnya sejenak, lalu tersenyum tipis. "Tenang saja. Kau cukup dukung aku dari belakang. Sisanya, percayakan padaku."
Erica masih merasa ragu, tapi saat melihat punggung Ferisu yang tegap dan penuh keyakinan, rasa cemasnya perlahan memudar. Ia mengepalkan tangannya, mencoba mengumpulkan keberanian. "Baiklah. Tapi jangan bertindak sembrono, Ferisu."
Ferisu hanya mengangguk ringan tanpa melihat ke arahnya. Dengan langkah mantap, ia maju menghadapi manticore yang sudah bersiap menyerang. Setiap langkahnya memancarkan ketenangan, seolah ia sudah tahu cara menghadapi monster besar itu.
Manticore itu mengeluarkan raungan keras, mengibaskan ekornya yang besar dan tajam, bersiap melancarkan serangan pertama. Namun, Ferisu hanya berdiri diam di tempat, pedangnya terangkat, matanya fokus penuh pada pergerakan lawannya.