Lintang Ayu Sasmita merasa terguncang saat dokter mengatakan bahwa kandungannya kering dan akan sulit memiliki anak. Kejadian sepuluh tahun silam kembali menghantui, menghukum dan menghakimi. Sampai hati retak, hancur tak berbentuk, dan bahkan berserak.
Lintang kembali didekap erat oleh keputusasaan. Luka lama yang dipendam, detik itu meledak ibarat gunung yang memuntahkan lavanya.
Mulut-mulut keji lagi-lagi mencaci. Hanya sang suami, Pandu Bimantara, yang setia menjadi pendengar tanpa tapi. Namun, Lintang justru memilih pergi. Sebingkai kisah indah ia semat rapi dalam bilik hati, sampai mati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gresya Salsabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keterkejutan Pandu
Keesokan harinya, Lintang bangun pagi-pagi sekali. Bahkan, sebelum fajar menyingsing. Entah berapa lama dia tertidur semalam, sepertinya tak sampai tiga jam.
Pertama kali beranjak dari ranjang, Lintang langsung menuju lemari pakaian. Ia ambil lagi obat yang semalam, kemudian ia pindahkan ke tempat lain. Sekilas, Lintang melirik ke arah Pandu, memastikan bahwa suaminya itu masih tertidur dan tidak melihat yang ia lakukan.
Setelah berhasil memindahkan obat ke tempat yang aman, Lintang duduk di kursi kamar tersebut. Ia menunduk sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan. Banyak hal yang kembali melintas dalam ingatan, mengacaukan pikiran dan membuatnya merasakan kecemasan lagi.
Dengan posisi yang sama, Lintang menggeleng dengan cepat, seolah mengusir segala bentuk bisikan yang membuat perasaannya tertekan. Lantas, ia juga memegangi kepalanya sendiri. Ia cengkeram dengan kuat sebagian rambut yang terurai. Rasanya cukup sakit. Namun, masih tak bisa mengusir sakit yang ada dalam batinnya.
"Sayang, apa kepalamu masih pusing?"
Lintang tersentak karena mendapat teguran yang tiba-tiba. Lantas, ia melepas cengkeraman di kepalanya dan menoleh ke ranjang. Lagi-lagi Pandu sudah duduk di tepi ranjang.
"Sedikit, Mas." Akhirnya, Lintang menjawab lirih.
Pandu pun beranjak dan mendekati Lintang, memeluknya dan mengusap-usap kepalanya.
"Kalau gitu kamu istirahat aja, Sayang, biar aku yang masak."
Lintang menggeleng. "Nggak apa-apa kok, Mas, pusingnya cuma dikit. Nanti juga ilang sendiri."
"Tapi ...."
"Nggak apa-apa, beneran." Lintang mencoba tersenyum untuk meyakinkan Pandu. Kemudian, ia bangkit dan mulai berjalan ke kamar mandi.
Pagi itu pun, Lintang memasak sarapan seperti biasanya. Namun, Pandu tidak melepasnya sendirian. Ia turut membantu karena khawatir dengan keadaan sang istri, yang ia yakini tidak sepenuhnya baik.
Benar saja. Ketika memasak, kerap kali Lintang melakukan kesalahan. Mulai dari memasukkan sayur ketika air belum mendidih, sampai menuang garam ketika menyeduh kopi. Meski turut tertawa ketika Lintang membuat kesalahan itu, tetapi Pandu menyimpan kekhawatiran yang lebih dalam. Ia sama sekali tak menganggap hal itu hanya lupa sesaat yang kadang terjadi pada setiap orang. Pandu meyakini ada hal lain yang terjadi pada istrinya.
Hari itu, Pandu berangkat kerja lebih awal dari biasanya, dengan alasan mengurus ajuan pinjaman dari klien yang kemarin belum kelar.
"Tutup aja pintunya. Kalau ada tamu nggak usah dibukain. Kamu istirahat yang tenang di rumah. Jangan telat makan lagi."
Sederet pesan dari Pandu sebelum ia meninggalkan rumah. Lintang tak membantah. Dia sudah paham siapa yang dimaksud tamu, tak lain dan tak bukan adalah ibunya atau ibunya Pandu sendiri.
Demi menghindari kejadian tak mengenakkan seperti kemarin, Lintang pun menuruti apa kata Pandu. Ia tutup pintunya dengan rapat dan tak lupa menguncinya. Lantas, ia kembali ke kamar dan diam di sana.
Sementara itu, Pandu tak langsung menuju bank tempatnya bekerja. Lelaki itu lebih dulu singgah di apotek terdekat. Ada hal penting yang akan ia lakukan di sana.
"Mau cari apa, Mas?"
Pandu tersenyum tipis. Lalu mengambil satu kaplet obat yang sempat ia ambil semalam, setelah Lintang tertidur.
"Saya cuma mau tanya, Mbak, ini ... obat apa? Bungkus luarnya botol mika transparan, nggak ada tulisan apa pun," ucap Pandu seraya menyodorkan ponselnya, menujukkan foto botol obat milik Lintang.
Penjaga apotek itu pun mengamati obat dan foto yang ditunjukkan Pandu. Lantas, ia menarik napas panjang dan menatap Pandu dengan lekat.
"Ini adalah obat tidur yang biasa dijual bebas di luaran. Mas mendapatkan ini dari mana?"
Pandu diam sejenak. Lantas menjawab, "Itu ... milik keluarga dekat saya, Mbak. Saya ingin tahu itu obat apa, bahaya atau tidak. Gitu, Mbak."
"Saran saya, sebaiknya bawa ke dokter saja keluarganya, Mas. Konsultasikan dengan dokter terkait apa yang dirasakan, karena ada beberapa faktor yang mempengaruhi pola tidur. Bisa karena capek, pekerjaan yang padat, beban pikiran, atau juga kecemasan yang berlebihan. Beda sebab, beda juga penanganannya, Mas. Jadi, lebih baik langsung konsultasikan saja. Khawatirnya kalau dibiarkan, nanti jadi punya ketergantungan dengan obat tidur. Ini bahayanya, Mas, karena obat tidur itu punya efek samping yang fatal jika dikonsumsi dalam jangka panjang."
Pandu tertegun lama. Tak terbayang dalam benaknya kalau ternyata itu adalah obat tidur? Untuk apa Lintang meminumnya? Apakah dia kesulitan tidur? Dan ... sejak kapan Lintang mengonsumsi itu?
"Mas ...."
"Mmm iya, Mbak, maaf."
"Jadi, bagaimana, Mas? Ada yang ingin ditanyakan lagi?"
Pandu berpikir sebentar. Lalu bertanya, "Apa efek sampingnya, Mbak, jika dikonsumsi dalam jangka panjang?"
"Secara fisik, obat ini bisa mempengaruhi sistem pencernaan dan reproduksi. Khususnya bagi perempuan, bisa mempengaruhi siklus menstruasi. Dampak fatalnya, mengurangi kesuburan dan menunda proses kehamilan."
Pandu tertegun lagi. Mengurangi kesuburan dan menunda proses kehamilan? Lintang ... kandungannya kering dan akan sulit hamil. Apa mungkin ... ada hubungannya dengan ini?
"Sedangkan secara psikologisnya, obat ini bisa menimbulkan kecemasan dan stress yang parah, perubahan mood yang ekstrem, serta perasaan lelah dan tidak ada gai-rah untuk beraktivitas. Dampak ini akan lebih fatal jika pengguna adalah orang yang memiliki gangguan kecemasan dari sebelumnya, seperti trauma atau depresi. Bisa meningkatkan resiko bunuh diri, Mas. Makanya, saya sarankan untuk membawa keluarganya ke dokter saja, Mas. Biar mendapat penanganan yang tepat."
Pandu masih tak menjawab. Penjelasan dari penjaga apotek bisa ia rekam jelas. Namun, ia tak bisa menanggapi sepatah kata pun.
Bersambung...
semoga aja ada orang yang merekam dan melaporkan ke pihak kepolisian dan mengusut tuntas kebenaran nya itu dan orang2 yang terlibat ditangkap serta dihukum
Konspirasi apa lg tuh antara Alby dan Utari , Rayana sekarang kamu tahu siapa suami dan bapak mu