Mbak Bian itu cantik.
Hampir setiap pagi aku disambut dengan senyum ramah saat akan menikmati secangkir kopi hangat di kafe miliknya.
Mbak Bian itu cantik.
Setiap saat aku ingin membeli produk kecantikan terbaru, maka mbak Bian-lah yang selalu menjadi penasehatku.
Mbak Bian itu cantik.
Setiap saat aku butuh pembalut, maka aku cukup mengetuk pintu kamar kost tempat mbak Bian yang berada tepat di sampingku.
Ah, mbak Bian benar-benar cantik.
Tapi semua pemikiranku sirna saat suatu malam mbak Bian tiba-tiba mengetuk pintu kamarku. Dengan wajah memerah seperti orang mabuk dia berkata
"Menikahlah denganku Cha!"
Belum sempat aku bereaksi, mbak Bian tiba-tiba membuka bajunya, menunjukkan pemandangan yang sama sekali tak pernah kulihat.
Saat itu aku menyadari, bahwa mbak Bian tidaklah cantik, tapi.... ganteng??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Difar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14. Terlalu Antusias
Aku menggigit bibir sejenak, merasa bimbang harus bercerita atau tidak.
"Cerita aja sih Cha. Tumben amat ragu-ragu segala. Biasanya kucing kosan lo kawin lagi juga lo cerita."
Ucap Cancan sambil mengangkat bahu.
Memang sih, kami berempat adalah tipe yang lebih bisa menahan lapar daripada menahan ghibah. Jadi, biasanya hal sekecil apapun pasti akan kami ceritakan. Mulai dari masalah receh seperti kang TaISo (tahu isi bakso) simpang kampus yang mirip Brad Pitt sampe masalah besar tentang politik. Kalau Cancan dan Siska nggak perlu ditanya lagi. Mungkin kalau mereka berdua ngelamar jadi admin lambe-lambean, sudah pasti mereka lolos tanpa interview. Bahkan 1 jurusan selalu mengandalkan Cancan dan Siska untuk mengorek informasi hangat dan terbaru.
"Hmm"
"Hmm"
"Hmm"
"Ebuset, berasa Nisa Sabyan lo hmm hmm doang!"
Gerutu Cancan saat aku terus menggumam.
Aku hanya nyengir kuda sambil menggaruk kepalaku yang sama sekali tidak gatal.
"Sebenarnya semalam gue juga nggak bisa tidur-"
Ucapku akhirnya, memilih menceritakan apa yang terjadi semalam.
"Terus?"
Siska mengerutkan alisnya, mendesakku untuk melanjutkan cerita.
"Ya lo tau yakan, semenjak jadi mahasiswa semester tua bangka begini gue sering ngedrakor buat ngilangin suntuk. Mulai dari drakor bertema pelakor plus suami dajjal sampe drama bertema pacaran beda planet. Bahkan gue juga udah nonton treng teng teng Uttaran berkali-kali. Gue bosan dong ya. Gue mikir cara lain yang bisa gue pakek biar ngantuk. Akhirnya gue mutusin buat ke balkon kosan. Berdiri-berdiri manja, mana tau jumpa Teteh kunti biar bisa minta di traktirin sate"
Aku menjeda kalimatku yang panjangnya mirip episode tukang bubur naik haji yang merupakan sinetron favorit tetanggaku di kosan lama. Tak lupa menyeruput boba untuk menghilangkan rasa seret di tenggorokanku.
"Terus?"
Siska mendesakku untuk kembali bercerita.
"Santuy lah sistur. Minum dulu gue, kemarau nih tenggorokan."
Gerutuku kesal.
Siska hanya mesem-mesem mendengar ucapanku, sementara Cancan menatapku dengan tatapan penasaran level maksimal. Entah apa yang menarik dari cerita tak bisa tidurku sampai mereka penasaran seperti ini.
Aku menarik nafas dalam-dalam lalu kembali bercerita
"Sebenarnya gue pengen nelpon Siska. Tapi, gitu mau nelpon, tiba-tiba gue ngelihat sesuatu yang menarik!"
"Apa?"
Siska dan Cancan lagi-lagi memajukan tubuhnya penuh antusias. Membuatku mau tak mau mendorong wajah mereka dengan jari telunjukku yang masih memiliki noda saos. Rasain deh tuh bedua, pedes pedes dah situ dahinya. Lagian antusias banget, berasa kayak lagi nyeritain gossip artis papan atas!
"Jadi, gue ngeliat penjaga keamanan kos gue yang baru lagi mukulin salah satu penghuni kos lantai 2-"
Ucapku dengan suara sepelan mungkin.
Sekalipun saat ini hanya ada kami bertiga di lab, tetap saja kami memegang prinsip yang selalu di pegang seluruh mahasiswa jurusan kami. Yaitu, dinding kampus berbicara.
Bukan tanpa alasan kami percaya dengan prinsip ini. Kami bertiga sudah pernah membuktikannya. Pernah suatu ketika saat begadang di lab kami bercerita tentang senior yang galaknya ngalah-ngalahi ibu kos yang lagi nagih tunggakan uang kos berbulan-bulan.
Besoknya, tak lama setelah matahari terbit, cerita kami sampai ke telinga si senior, membuat kami menerima tatapan maut yang membuat bulu kuduk merinding.
"Hah?"
Siska berteriak histeris, terlihat begitu terkejut dengan apa yang baru saja kuucapkan.
"Serius lo?"
Aku menganggukkan kepala
"Serius! Gue pernah nggak sih cerita tentang penghuni kos yang cantiknya lomba-lombaan dengan mbak Bian?"
Cancan dan Siska mengangguk kompak.
"Nah, yang dipukuli itu ya si mbak cantik itu, mbak Nina namanya. Gue ngeliat dengan jelas kok gimana si Johan botak mukuli mbak Nina. Sampe gue rasanya kesal sampe ke ubun-ubun!"
Jelasku berapi-api begitu mengingat kejadian semalam.
"Ya ampun! Kok ada sih laki-laki macam gitu? Potong aja udah titidnya, terus letak di tanah buat dijadiin pupuk!"
Cancan menimpali ucapanku dengan emosi yang sama.
Siska menggelengkan kepala prihatin sambil berkata
"Kalau gue jadi lo sih Cha, udah gue rekam tuh. Terus gue jadiin barang bukti deh. Biar si Johan kapok!"
"Gue rekam kok!"
Ucapku dengan tangan berkecepatan cahaya merebut potongan pizza terakhir dari incaran Cancan.
Dasar nih anak nggak ada berubahnya. Patut aja dia terlihat bersemangat memintaku bercerita. Ternyata ada maksud lain, yaitu menghabiskan makanan yang dipesankan mbak Bian untuk menemani aktivitasku di lab.
"Lo rekam?"
Aku menganggukkan kepala. Entah perasaanku saja tapi wajah Cancan dan Siska terlihat memucat.
"Terus? Rekamannya masih ada?"
Tanya Siska hati-hati.
Aku menghela nafas, teringat misteri terbesar yang kualami semalam, bahkan melebihi misteri gunung berapinya milik Mak Lampir.
"Nggak tersave sepertinya."
Lanjutku sambil mengangkat bahu.
"Oh."
Siska terlihat menghela nafas lega. Membuatku langsung menghernyitkan alis saat melihat reaksinya.
"Selain itu, Lo ngeliat hal lain nggak?"
Tanya Cancan lagi.
Aku memegang dagu, mencoba mengingat-ingat hal lain yang terjadi semalam.
"Nggak, cuma si Johan botak mukulin mbak Nina doang."
"Oh."
Kali ini Cancan yang terlihat lega. Mereka berdua ini sebenarnya kenapa sih?.
Siska meraih tisu basah yang terletak di dekat kami. Mengilap mulutnya yang sedikit belepotan saus
"Tapi bisa ajakan kalau itu cuma pertengkaran kekasih?"
Tanyanya.
Seketika aku memikirkan apa yang Siska ucapkan. Sedari semalam aku sama sekali tak memikirkan opsi ini. Aku memang pernah mendengar bahwa mbak Nina sudah mempunyai pacar. Ya, mungkin saja asumsi Siska benar mengingat sikap santai mbak Nina pagi ini saat kami berpapasan.
"Tapi tetep aja dong nggak bisa gitu!"
Seru Cancan tiba-tiba, membuatku hampir saja tersedak boba.
Cancan mengepalkan tangan kanannya lalu memukulkan kepalan tangannya itu berkali-kali ke telapak tangan kirinya.
"Mau pacaran kek, mau udah nikah kek. Kekerasan bukan sesuatu yang bisa di tolerir! Harusnya itu video tersave aja buat jadi bahan ancaman si botak biar jera dan nggak semena-mena memperlakukan perempuan!"
Aku mengangguk, setuju dengan apa yang Cancan ucapkan.
"Lagian itu si botak lahirnya dari batu apa di download dari playstore sih? Harusnya kalau dia masih terlahir dari perempuan, dia bisa menghormati perempuan dong, nggak kasar begitu!"
Timpalku.
Setelahnya aku dan Cancan terus melanjutkan menyumpahi si Johan. Mulai dari semoga rambutnya tak tumbuh-tumbuh sampai berencana menyewa jasa santet agar si botak kapok dengan tindakannya.
***
Aku merapihkan alat-alat gelas yang baru saja kugunakan, membereskan barang-barangku yang berserakan di atas meja lab.
"Mbak ojol lo dah datang tuh."
Celetuk Siska sambil menyodorkan tasku.
Aku mengerlingkan bola mata jengah. Siska dan Cancan memang sering menjuluki mbak Bian sebagai mbak ojol karena mbak Bian selalu mengantar dan menjemputku setiap hari. Sebenarnya aku ingin menghindari hang out dan pulang bersama dengan mbak Bian hari ini, mengingat pikiranku belum sepenuhnya waras. Aku bahkan meminta tolong kepada Siska dan Cancan agar mau menjadi alasanku untuk menghindari mbak Bian.
Tapi mereka dengan tegas menolak dengan alasan masih sayang nyawa. Sampai aku bingung entah apa korelasi nyawa mereka dengan menghindari mbak Bian. Aku hanya bisa menghela nafas berat, membayangkan kecanggungan yang harus kuhadapi sepanjang perjalanan nanti.