Tampan, kaya, pintar, karismatik mendarah daging pada diri Lumi. Kehidupan Lumi begitu sempurna yang membuat orang-orang iri pada kehidupannya.
Hingga suatu hari Lumi mengalami kecelakaan yang membuat hidupnya berada ditengah garis sial atau beruntung?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mesta Suntana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 19 - First
Setelah selesai bermain golf. Mereka semua berkumpul untuk makan malam. Hidangan sudah tersaji dan tertata rapih. Tidak lupa wine memenuhi gelas mereka masing-masing. Di sela makan mereka ada sedikit pembicaraan.
" Lumi dimana asisten mu? " Tanya salah satu investor pada Lumi yang sedang menyantap hidangan.
" Dia sedang istirahat, di luar. " Pak Smith membantu menjawab.
" Ah, sayang sekali. Aku ingin menuangkan anggur merah pada gelasnya. " Pak Heru sedikit kecewa sambil meminum wine di gelasnya.
" Iya memang di sayangkan, Dia tidak ada. Padahal senang rasanya ada yang manis menemani. " Respon salah satu Pria lain yang membuat Lumi menghentikan kegiatannya.
Pria itu seumuran dengan Lumi. Namanya Seon Wooyeon. Anak tunggal pemilik Typson Hotel. Sekarang ada rumor mengatakan kepemilikan akan berpindah tangan padanya. Dia Pria yang ramah dan dapat bersosialisasi dengan cepat. Tak aneh jika Dia memiliki begitu banyak teman. Tapi sisi buruk dari Dia adalah, balap liar dan suka bermain cewek.
" Kau benar, Dia begitu hebat dalam bekerja. Dia begitu cerdas dan cakap dalam memberikan jawaban. " Celetuk Pria paruh baya lainnya.
" Kau benar Lumi hebat bisa mendapatkan asisten yang hampir memiliki nilai sempurna. " Wooyeon menambahkan.
" Hampir, bukan itu nilai sempurna. " Sahut seseorang keheranan.
" Sempurna, kalau Dia memiliki tubuh yang sexy. " Wooyeon terkekeh sambil menghisap segelas wine.
" Kau benar-benar Nak, jangan seperti itu. Itu termasuk pelecehan. " Pak Smith menasehati Wooyeon dengan nada bicara yang sedikit ada penekanan.
" Aku cuma bercanda Pak Smith. Lihatlah Lumi saja tidak menghiraukannya. " Wooyeon kembali menghisap winenya. " Kalau begitu boleh Dia ku pinjam ? "
Lumi yang acuh sedari tadi, mulai sedikit terganggu. Mata Lumi kini menatap tajam Wooyeon. Pak Smith yang duduk di samping Lumi merasakan ketidak sukaan Lumi pada Wooyeon.
" Dia wanita yang cerdas, cakap, perhatian dan juga Dia tahan menghadapi mu. And you treat her like trash. So...." Tangan Wooyeon kini menyangga dagunya di atas meja. Senyum palsu yang kekanak-kanakan itu Dia tunjukkan pada Lumi. " Give her to me? "
Lumi mencoba merenggangkan ototnya yang tegang akan amarah yang Dia tahan. Satu sesapan wine yang harumnya terhirup pada hidung Lumi.
" Sayangnya itu tidak bisa. She is mine. " Tegas Lumi pada Wooyeon, mengklaim Lana adalah miliknya.
Wooyeon tersenyum tipis. " Aku kira kau tidak menyukainya, jadi akhirnya kau memiliki seseorang di sisimu. " Wooyeon terkekeh kemudian kembali menyantap makanannya.
" Kau beruntung, Lana asisten mu sangatlah perhatian padamu. Kau mungkin tidak menyadarinya tapi kami mengetahui Lana yang begitu keras meberikan yang terbaik padamu. " Puji Pak Smith.
Saat mereka berlarut dalam pertemuan mereka di dalam. Di sisi lain Lana sedang menghisap sebatang rokok di pekarangan halaman belakang. Sesapan demi sesapan, asap keluar dari mulutnya. Lana menenangkan dirinya untuk menahan tangisnya. Kini setelah menghisap rokok rasanya lebih baik. Padahal dulu Dia benci sekali asap rokok. Tapi lihatlah sekarang.
" Sebenarnya apa yang aku lakukan. " Gumam Lana di akhir hisapan rokoknya.
" Jadi kau disini. " Suara Pria terdengar dari arah samping Lana. Mata Lana melirik ke arah tersebut. Pria tinggi seumuran Lumi menghampiri Lana.
" Apakah masih ada yang tersisa? " Pria itu tersenyum ramah sambil mengacungkan dua jari tangannya.
Mata Lana sedikit terdiam dan menatap wajah pria itu. Dia mencoba menerka-nerka nama Pria tersebut.
" Ah, Seon Wooyeon. "
Lana kemudian mengeluarkan bungkus rokok pada sakunya. Bungkus yang terbuka itu hanya meninggalkan tiga batang. Wooyeon mengambil satu alhasil tinggal dua batang tersisa. Asap keluar dari mulut Wooyeon.
Suasana hening begitu tenang, suara angin berhembus terdengan samar. Dinginnya hembusan angin yang menerpa kulit mereka masih bisa ditahan.
Di saat yang sama Lumi pergi keluar untuk menghirup udara. Langkah Lumi terhenti, lalu mundur perlahan di balik tembok. Matanya menangkap Lana dan Wooyeon sedang merokok.
" Dia merokok. " Lirih Lumi sekaligus bingung kenapa Dia harus bersembunyi. Karena sudah terlanjur, Lumi mau tak mau mendengarkan pembicaraan mereka.
" Bagaimana bekerja dengan Lumi? Apakah sulit? " Wooyeon memecah keheningan.
" Tidak terlalu. " Jawab Lana singkat.
Sebenarnya Lana moodnya hari ini buruk, Dia enggan menjawab pertanyaan itu. Tapi bagaimana lagi Dia berada di atas dirinya. Lana tidak ingin membuat masalah.
" Bukankah Dia brengsek, Dia selalu merasa dirinya paling pantas. Manusia sombong. " Ungkap Wooyeon dengan nada menyindir.
Sekilas kenangan buruk Lumi semasa sekolah terlintas begitu saja. Raut wajah Lumi begitu sedih. Dia mengingat bagaimana orang-orang beropini tentang Dia. Padahal mereka tidak tahu yang sebenarnya.
" Dia seperti monster yang haus akan kekayaan. Lihat bagaimana Dia mengambil alih semua perusahaan dan saudaranya pun tidak bisa mengambilnya. Bukankah itu rakus? " Lanjut Wooyeon.
Lana merasa terganggu dengan ucapan Wooyeon. Lana merasa Wooyeon tidak pantas berkata seperti itu. Asap mengepul keluar dari mulut Lana.
" Ini tidak menyenangkan lagi. " Gumam Lana membuang rokok tersebut. Tidak lupa iya menginjak bagian ujung yang terbakar.
" Entahlah Dia rakus atau tidak. Itu bukan urusan saya. Bukankah berbicara hal buruk seperti itu dari mulut terhormat seperti anda itu terdengar anda tidak memiliki tata krama. Sebagai seorang yang memiliki nilai tinggi di mata publik berbicara juga harus memiliki etika. "
Lumi yang terhanyut kenangan yang buruk, seketika matanya terhenti karena begitu saja. Perasaan baru menjalar merayap pada hati Lumi. Lumi merasa lega dan juga senang mendengar ucapan Lana. Baru pertama kali Lumi mendapatkan pembelaan. Entah itu pembelaan atau bukan yang jelas Lumi terharu. Seperti mendapatkan sesuatu yang Dia inginkan. Lumi terus meremas dadanya.
" Dan aku tidak tahu Tuan Lumi sombong dari lahir atau bukan, yang jelas saya hanya bekerja. Tidak ada yang lain. Saya tidak terlalu dekat dengan Tuan Lumi, walaupun saya tidak menyukainya. Saya rasa saya tidak berhak menjudge Dia secara sepihak. Kita tidak tahu beban apa yang Dia tanggung. " Pungkas Lana sambil meninggalkan Wooyeon yang begitu terkejut.
Saat pergi Mata Lana tersentak. Dia melihat Lumi bersandar di tembok. Wajah Lumi seperti biasa datar dan dingin. Tapi Lana mengacuhkan keberadaan Lumi, Dia tetap berjalan pergi meninggalkan pekarangan.
Perasaan itu masih berkecamuk dalam diri Lumi. Rasanya gelombang itu terlihat jelas mengelilingi Lumi.
Gelombang perasaan berwarna biru keemasan.