NovelToon NovelToon
Pulang / Di Jemput Bayangan

Pulang / Di Jemput Bayangan

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Mata Batin / Kutukan / Hantu / Roh Supernatural
Popularitas:671
Nilai: 5
Nama Author: Novita Ledo

para pemuda yang memasuki hutan yang salah, lantaran mereka tak akan bisa pulang dalam keadaan bernyawa.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Novita Ledo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 14 Jerit dari Masa Lalu

Hutan Giripati menyimpan cerita yang tidak pernah selesai. Orang-orang desa mengatakan, setiap kali ada orang yang masuk ke dalamnya, hutan itu akan merekam jejak mereka, menyerap energi mereka, dan menjadikan cerita mereka bagian dari dirinya. Namun, ada kisah yang lebih tua, yang terlupakan, tapi tetap hidup di dalam kegelapan.

Pada tahun 1973, seorang pria bernama Pak Mahendra, seorang arkeolog muda, dan timnya memasuki Hutan Giripati. Mereka mencari reruntuhan kuno yang konon tersembunyi di tengah hutan. Reruntuhan itu diyakini sebagai pintu gerbang ke alam gaib, tempat di mana roh-roh berkumpul. Namun, tidak ada satu pun dari mereka yang kembali.

Kini, lima puluh tahun kemudian, kisah mereka kembali menghantui desa-desa di sekitar Giripati. Penduduk melaporkan mendengar jeritan di malam hari, suara langkah kaki berat, dan melihat cahaya aneh dari dalam hutan.

---

Seorang wartawan muda bernama Danu memutuskan untuk menyelidiki cerita ini. Ia adalah seorang skeptis, menganggap semua kisah tentang Hutan Giripati sebagai takhayul belaka. Bersama timnya—Alin, seorang ahli sejarah; Bimo, seorang videografer; dan Sari, seorang pemandu lokal—Danu masuk ke dalam Hutan Giripati, membawa kamera, alat perekam suara, dan perangkat GPS.

“Jadi, tujuan kita apa? Bikin dokumenter atau ngebuktiin kalau hutan ini cuma hutan biasa?” tanya Bimo, setengah bercanda.

“Dua-duanya,” jawab Danu. “Kalau ada sesuatu yang bisa dijelaskan secara logis, kita akan jadi orang pertama yang melakukannya.”

Namun, Sari tampak tidak yakin. Ia sudah lama tinggal di desa sekitar hutan dan tahu bahwa tempat itu bukan sembarang tempat.

“Hutan ini punya keinginannya sendiri,” bisik Sari pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri.

---

Saat mereka masuk semakin dalam, mereka menemukan tanda-tanda yang aneh. Batu-batu besar dengan ukiran kuno berserakan di sepanjang jalan. Alin, yang ahli sejarah, mencoba membaca simbol-simbol itu.

“Ini seperti mantra perlindungan,” katanya. “Tapi, anehnya, banyak yang tampak dirusak dengan sengaja.”

“Dirusak siapa?” tanya Bimo.

“Entahlah. Tapi, kalau ini benar mantra perlindungan, berarti ada sesuatu yang berusaha membuka jalannya.”

Mereka melanjutkan perjalanan hingga menemukan sebuah kamp tua, ditutupi lumut dan hampir hancur. Di sana, mereka menemukan barang-barang yang tertinggal: buku catatan, perlengkapan masak berkarat, dan bahkan kamera tua.

Saat membuka salah satu buku catatan itu, Danu membaca sesuatu yang membuatnya merinding:

“Kami telah menemukannya. Tapi kami tidak sendiri. Mereka mengawasi kami. Jika ada yang membaca ini, jangan teruskan perjalanan.”

---

Malam pertama di dalam hutan, mereka mendirikan tenda di dekat kamp tua itu. Saat malam semakin larut, mereka mendengar suara aneh—seperti langkah kaki yang bergerak di antara pepohonan, diiringi bisikan samar.

“Sari, ada yang lewat?” tanya Danu dengan suara rendah.

Sari hanya menggeleng, tapi wajahnya penuh ketakutan.

Bimo mengambil kameranya dan mulai merekam. “Mungkin ini cuma hewan, kan?” katanya, mencoba menyemangati diri.

Namun, tiba-tiba suara itu berhenti, digantikan oleh kesunyian yang sangat mencekam.

Saat Bimo memutar kamera ke arah pepohonan, mereka semua melihatnya—sosok tinggi tanpa wajah, berdiri diam di antara batang-batang pohon, memandang ke arah mereka.

“Sial! Itu apa?!” teriak Bimo, menjatuhkan kameranya.

Saat mereka menoleh lagi, sosok itu sudah menghilang.

---

Keesokan harinya, mereka melanjutkan perjalanan, meskipun ketakutan semalam masih menghantui. Setelah berjam-jam berjalan, mereka menemukan sebuah reruntuhan besar di tengah hutan. Pilar-pilar batu yang runtuh, sebuah altar besar, dan ukiran-ukiran kuno yang menggambarkan manusia berlutut di hadapan makhluk besar dengan banyak mata.

Alin memeriksa altar itu dengan cermat. “Ini seperti tempat pemujaan. Tapi… makhluk yang mereka sembah bukan dewa.”

“Lalu apa?” tanya Danu.

“Entahlah. Tapi ukiran ini menggambarkan sesuatu yang haus akan pengorbanan.”

Bimo mengarahkan kameranya ke altar, tapi tiba-tiba, suara gemuruh terdengar. Akar-akar pohon mulai bergerak seperti ular, melilit kaki mereka dan memaksa mereka untuk tetap diam.

Kemudian, dari balik reruntuhan, muncul sosok-sosok yang mereka kenali. Tapi itu tidak mungkin.

“Pak Mahendra?” bisik Alin, melihat pria tua dengan pakaian lusuh mendekati mereka.

Pak Mahendra tampak seperti manusia, tetapi matanya kosong, dan tubuhnya bergerak seperti boneka. Ia membuka mulutnya, tetapi suara yang keluar bukan miliknya.

“Kalian tidak seharusnya berada di sini,” katanya dengan suara yang dalam dan serak.

---

Pak Mahendra menjelaskan dengan suara monoton, seolah-olah ia hanya menjadi corong untuk sesuatu yang lebih besar.

“Hutan ini hidup. Ia adalah penjaga antara dunia manusia dan sesuatu yang lebih tua, lebih kelam. Mantra di batu-batu itu adalah segel untuk menjaga makhluk itu tetap tertidur. Tapi manusia, dengan keserakahannya, merusaknya.”

“Tapi kenapa kalian tidak kembali?” tanya Danu dengan suara bergetar.

“Kami tidak pernah bisa. Siapa pun yang masuk terlalu jauh menjadi bagian dari hutan. Dan kalian…” Pak Mahendra berhenti, matanya menatap tajam, “…kalian akan menjadi bagian darinya juga.”

Akar-akar pohon semakin erat melilit tubuh mereka, dan bayangan-bayangan mulai bermunculan dari reruntuhan. Sosok tanpa wajah yang mereka lihat malam sebelumnya kembali, kali ini lebih banyak, bergerak mendekat dengan pelan.

---

Danu, dalam kepanikan, ingat sesuatu dari buku catatan yang ia baca di kamp tua: “Satu-satunya cara keluar adalah dengan meninggalkan sesuatu yang berharga.”

“Apa maksudnya?” teriak Danu, mencoba mencari jalan keluar.

Sari, yang sejak awal merasa hutan ini hidup, menjawab dengan lirih, “Seseorang harus tinggal. Atau tidak ada yang bisa pergi.”

Mereka saling memandang. Keheningan hanya diisi oleh langkah sosok-sosok bayangan yang semakin dekat.

“Pergilah,” kata Sari tiba-tiba. “Aku sudah tahu ini akan terjadi.”

Sebelum mereka sempat menjawab, Sari melepaskan diri dari akar-akar dan melangkah ke altar. Ia menatap mereka untuk terakhir kali.

“Aku akan memastikan kalian keluar.”

Sosok-sosok itu menghilang bersamaan dengan tubuh Sari yang terserap ke dalam altar. Dalam sekejap, akar-akar itu melepaskan Danu, Alin, dan Bimo.

---

Keluar, tapi Tidak Bebas

Mereka berhasil keluar dari Hutan Giripati, tapi dengan harga yang besar. Sari tidak pernah kembali, dan kamera serta rekaman mereka tidak menunjukkan apa-apa.

Namun, malam berikutnya, Danu mendengar sesuatu di kamarnya—suara langkah kaki, disertai bisikan samar yang mengatakan:

“Kamu juga bagian dari kami.”

Hutan Giripati tidak pernah melepaskan siapa pun sepenuhnya.

1
そして私
numpang lewat, jangan lupa mampir di after book bang
Novita Ledo: Yups, bentar yah
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!