Tidak pernah Jingga bayangkan bahwa masa mudanya akan berakhir dengan sebuah perjodohan yang di atur keluarganya. Perjodohan karena sebuah hutang, entah hutang Budi atau hutang materi, Jingga sendiri tak mengerti.
Jingga harus menggantikan sang kakak dalam perjodohan ini. Kakaknya menolak di jodohkan dengan alasan ingin mengejar karier dan cita-citanya sebagai pengusaha.
Sialnya lagi, yang menjadi calon suaminya adalah pria tua berjenggot tebal. Bahkan sebagian rambutnya sudah tampak memutih.
Jingga yang tak ingin melihat sang ayah terkena serangan jantung karena gagalnya pernikahan itu, terpaksa harus menerimanya.
Bagaimana kehidupan Jingga selanjutnya? Mengurus suami tua yang pantas menjadi kakeknya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Savana Alifa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MAKAN MALAM
Banyaknya makanan yang tersaji di meja makan membuat Jingga menggelengkan kepalanya. Padahal di meja makan itu hanya ada Langit saja, selebihnya ada para pelayan yang berdiri di belakang pria itu. Mungkin mereka bersiap jika sang Tuan membutuhkan sesuatu.
“Mari silahkan duduk Nona,” suara Rika menyadarkan Jingga. Membuat gadis itu mengangguk dan duduk ragu.
Duduk berseberangan dengan Langit meski jaraknya sangat jauh karena meja makan yang sangat panjang membuat Jingga mendadak gugup. Entah mengapa ia merasa Langit tengah memperhatikannya, sedangkan ia sendiri tak berani menatap pria tua itu.
“Mau makan apa Nona, biar saya yang sajikan,” lagi-lagi suara Rika membuat Jingga tersadar. Karena gugup, Jingga melupakan berbagai menu makanan lezat yang tersaji di hadapannya.
“Emmm, apa saja bu. Aku biasa makan apa saja,” jawabnya.
Bu Rika mengangguk, ia lalu mengambilkan nasi berserta lauk dan sayur yang sekiranya Jingga sukai.
Hening, di meja makan besar itu hanya suara denting sendok garpu beradu dengan piring yang terdengar mendominasi. Tak ada percakapan sedikit pun, tentu saja, karena jika berbicara pun mungkin harus sedikit berteriak mengingat meja itu sangat panjang dan membentangkan jarak yang cukup jauh antara Jingga dan Langit. Mencerminkan sejauh apa hubungan yang mencoba mereka jalani.
Tentu saja tak ada percakapan, mereka bukan hanya jauh karena jarak saja, tapi juga tak sedekat hubungan calon suami dan calon istri sebagaimana biasanya. Entah hubungan seperti apa yang akan mereka jalani, mungkin seperti seorang perawat yang merawat pasien tuanya.
Bahkan sekarang Langit tampak beranjak, padahal Jingga masih belum menyelesaikan makannya, tapi pria tua itu meninggalkannya. Tidak sopan bukan? Tanpa pamit pula.
“Astaga, memangnya siapa aku untuknya? Ngarep banget kamu Jingga, mana mungkin dia mau bicara, dasar kakek tua,” gerutunya dalam hati.
“Tuan Langit sudah menyelesaikan makan malamnya Nona, dan dia tidak terbiasa menunggu,” celetuk Rika. Lagi-lagi perempuan itu seperti tahu apa yang Jingga pikirkan.
“Ah, iya Bu Rika. Tidak masalah,” jawab Jingga seraya tersenyum kikuk.
Jingga pun memilih kembali fokus pada makanannya agar ia bisa segera kembali ke kamarnya untuk beristirahat. Sepertinya hari esok akan lebih melelahkan untuknya.
***
Jingga menatap pantulan dirinya di cermin, ia tak menyangka masa mudanya akan berakhir menjadi seorang istri dari pria tua yang bahkan tak ia kenal dengan baik. Gaun indah yang melekat di tubuhnya tak membuatnya takjub, ia justru tampak lesu. Apalagi keluarganya belum ada yang datang satu pun, juga taka da yang menghubunginya sejak kemarin.
Ingin tahu keadaan ayahnya saja Jingga tak bisa, hanya perkataan pak Lim yang sedikit menenangkannya. Pria paruh baya itu berkata bahwa ia tak usah cemas dengan keadaan ayahnya yang sudah membaik. Dokter sudah menangani Hardi dengan sangat baik hingga pria itu sembuh dalam waktu yang cepat.
Entahlah, Jingga belum terlalu percaya jika ia tak melihatnya langsung. Tapi beberapa menit lagi ia akan menikah, keluarganya belum juga hadir.
Suara ketukan di pintu kamarnya membuat Jingga menoleh, ia lalu berseru “Masuk..”
Seorang wanita cantik yang tadi merias wajahnya kembali masuk setelah sempat berpamitan karena Langit memanggilnya. “Acaranya akan segera di mulai Nona, anda diminta untuk turun. Mari saya antar,” ucapnya dengan ramah.
Jingga mengangguk, tapi ia sama sekali belum beranjak. Pikirannya di penuhi berbagai tanya yang ia sendiri tak tahu jawabannya.
“Nona, jangan cemas, keluarga anda sudah menunggu di bawah. Tuan Langit juga sudah menemui mereka,” celetuk Rika yang baru saja masuk. Lagi-lagi Rika seolah mengerti dengan kecemasannya.
“Benarkah?” Tanya Jingga dengan mata berbinar, jika boleh jujur, saat ini yang Jingga butuhkan adalah pelukan dari keluarganya. Pelukan hangat dan kalimat penenang bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Rika mengangguk, senyum tulus merekah dari bibirnya, “Mari Nona, anda tahu kan, Tuan Langit tidak suka menunggu..”
Jingga mengangguk, ia berusaha berjalan dengan baik memakai sandal berhak yang sudah perias siapkan untuknya.
“Jika anda tidak nyaman, anda boleh memakai sandal anda Nona,” ucap Rika. Ia tahu Jingga tak bisa berjalan memakai sandai seperti itu, dari pada membahayakan, lebih baik Jingga memakai sandal yang membuatnya nyaman.
“Tapi bu Rika, Tuan Langit..”
“Beliau tidak akan marah, yang penting nada nyaman Nona,” potong Rika.
Jingga kembali mengangguk, ia melepas sandal berhak yang membuatnya susah melangkah, kemudian memakai sandalnya sendiri. Di apit oleh Rika dan perias yang sudah menyulapnya bak seorang putri, Jingga turun untuk menghampiri Langit dan keluarganya. Rika mengatakan, penghulu yang akan menikahkannya juga sudah hadir, membuat Jingga berusaha keras menenangkan jantungnya yang tiba-tiba mengajaknya perang.