Setelah perceraian orang tuanya, dan kematian adik perempuannya, Jasmine, seorang gadis berusia 20 tahun, memutuskan meninggalkan masa lalunya dengan pergi ke Edinburgh—kota yang katanya penuh kehangatan, dia berharap menemukan harapan baru di sini.
Di sana, ternyata takdir mempertemukannya dengan Jack Finlay, pria berusia 27 tahun, yang merupakan pimpinan gangster, pria penuh misteri.
Dunia Jack sangat bertolak belakang dengan kehangatan yang Jasmine inginkan. Namun, entah bagaimana, dia tetap menemukan kehangatan di sana.
Di balik tatapan tajamnya, kerasnya kehidupannya, Jack juga sama hancurnya dengan Jasmine—dia seorang pria yang tumbuh dari keluarga broken home.
Kehadiran Jasmine seperti cahaya yang menyusup dalam kegelapan Jack, membawa harapan yang selama ini tak pernah dia izinkan mendekat. Jack menemukan kedamaian, kehangatan dalam senyum Jasmine. Namun, Jasmine menyadari, bahwa cintanya pada Jack bisa menghancurkan hidupnya.
___________
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PenaBintang , isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Edinburgh
Udara Edinburgh menyambut Jasmine dengan hembusan angin yang dingin, membawa aroma khas musim gugur—daun-daun kering, tanah basah, dan hujan yang baru saja reda.
Langit di atasnya kelabu, namun tetap memiliki keindahan yang menenangkan. Kaki Jasmine melangkah keluar dari pesawat dengan perlahan, sementara matanya menatap kosong ke arah landasan yang basah. Musim gugur di kota tua ini terasa begitu nyata, seperti peralihan antara sesuatu yang berakhir dan sesuatu yang baru akan dimulai.
"Hanya seorang diri, tak ada yang aku kenal di sini."
Jasmine memejamkan mata sejenak, membiarkan angin menusuk kulitnya, seolah sengaja menguji seberapa kuat dia bertahan. Hawa dingin ini lebih baik daripada kebisingan yang selama ini memenuhi hidupnya. Di sini, dia ingin diam. Sendiri.
Beberapa menit kemudian, Jasmine berdiri di tepi peron stasiun Edinburgh Waverley. Tangan kecilnya mencengkeram gagang koper sementara langkah orang-orang di sekelilingnya terdengar samar, seperti gema dari dunia yang jauh. Kereta yang akan membawanya ke hotel datang dengan suara gemuruh lembut, memecah keheningan yang mulai terasa pekat.
Dia naik ke dalam gerbong dan memilih duduk di dekat jendela. Saat kereta mulai bergerak perlahan, matanya menatap keluar, memperhatikan dedaunan berwarna oranye dan merah yang beterbangan di jalanan, melayang ringan sebelum akhirnya jatuh ke tanah. Edinburgh di musim gugur terlihat seperti lukisan hidup—indah namun menyimpan nuansa melankolis yang dalam.
"Mulai hari ini, kau harus hidup mandiri, Jasmine."
Kata-kata itu masih terngiang jelas di telinganya. Itu suara ayahnya, dingin, tegas, tanpa penyesalan. Sementara ibunya hanya berdiri di sisi lain ruangan, wajahnya datar, seolah menghindari perasaan bersalah yang seharusnya ada.
Mereka memberikannya cek dengan angka yang lebih besar dari yang pernah ia lihat seumur hidup. Uang yang cukup untuk menyewa apartemen mewah, untuk hidup nyaman. Tapi bukan itu yang ia inginkan. Bukan itu yang ia butuhkan.
"Kami akan memulai hidup baru. Ayahmu akan menikah bulan depan, begitu juga aku. Kamu sudah cukup dewasa untuk memulai hidupmu sendiri."
Kata-katanya ibunya juga terdengar seolah itu hal yang wajar. Hal yang pantas Jasmine dapatkan.
Mereka menyebutnya hidup baru, tapi bagi Jasmine, semua itu hanya perpisahan tanpa ucapan selamat tinggal.
"Kenapa aku dibuang ketika kalian mendapatkan kehidupan baru?" Suara lirih, tak ada air mata yang bisa jatuh.
Kereta bergerak lembut. Jasmine memejamkan mata, kepalanya bersandar ke kaca jendela yang dingin. Dia mencoba mengingat kapan terakhir kali menangis.
Saat adik perempuannya meninggal? Saat orang tuanya bertengkar untuk terakhir kalinya? Air mata itu seperti mengering bersama luka-lukanya, menyisakan kehampaan yang entah sampai kapan akan menetap di dadanya.
Dia membuka mata kembali, menatap refleksi dirinya di kaca. Wajahnya terlihat pucat, tapi tidak rapuh. Mungkin, pikirnya, inilah yang dimaksud mandiri. Berjalan sendiri, tanpa menoleh ke belakang.
Atau mungkin, takdir punya rencana lain untuknya? Entah bagaimana skenario takdirnya akan berjalan di kota ini.
Kereta akhirnya berhenti di Stasiun Waverley, Edinburgh. Jasmine turun dengan koper kecilnya, melangkah di jalanan Edinburgh yang basah. Saat itu, matanya menangkap sebuah kafe kecil di sudut jalan. Alih-alih menuju hotel seperti rencana awal, langkahnya terhenti saat matanya menangkap sebuah kafe kecil di sudut jalan.
Kafe itu tampak unik—bangunannya tua dengan jendela kaca besar yang buram. Di atasnya tergantung papan kayu usang dengan tulisan The Rusty Crown. Nuansanya terasa berbeda, seperti tempat yang menyimpan banyak cerita, menariknya tanpa alasan yang jelas.
Tanpa berpikir panjang, Jasmine mendorong pintu kafe dan masuk. Sebuah lonceng kecil berdenting nyaring di atas pintu, seolah mengumumkan kedatangannya. Begitu berada di dalam, dia merasa udara di sana sedikit berat. Cahaya remang dari lampu gantung tua menyoroti beberapa meja kayu panjang yang dikelilingi pria-pria dengan postur besar dan wajah suram.
Perbincangan yang tadinya terdengar samar langsung berhenti. Seisi ruangan menoleh ke arahnya.
Jasmine mematung. Dadanya terasa sesak. Sekumpulan pria yang duduk di meja itu memandangnya tanpa senyum, dengan mata penuh tanda tanya—dan kecurigaan. Tatapan mereka cukup untuk membuat siapa pun berpikir dua kali sebelum melangkah lebih jauh. Jasmine bisa merasakan keberadaan mereka, dingin dan mengintimidasi.
Seorang pria di sudut ruangan—duduk di bawah bayang-bayang—menarik perhatian Jasmine. Sosoknya tinggi, dengan jaket kulit hitam yang membungkus tubuhnya dengan sempurna. Rambutnya sedikit berantakan, tapi ada ketajaman dalam pandangan matanya yang biru. Dia duduk di kursi, salah satu tangannya memegang gelas kopi, sementara yang lain menopang dagunya.
Jasmine merasa seperti ditelanjangi oleh sorot mata itu. Tatapan pria itu begitu menusuk namun dingin, seolah menghakimi kehadirannya di tempat yang salah.
Jasmine berdeham kecil, mencoba memberanikan diri. "Apa ini… bukan kafe biasa?" tanyanya, suaranya terdengar kaku.
Salah satu pria tertawa pelan, suara beratnya memecah kesunyian. "Tempat ini bukan buat turis."
"Keluar, Nona," sela suara lain dengan nada mengejek. "Sebelum kau menyesal."
Jasmine menelan ludah. Untuk sesaat, dia mempertimbangkan untuk berbalik dan pergi. Tapi entah kenapa, kakinya justru melangkah ke depan, bukan mundur—mungkin juga karena dia menyukai hal yang menantang.
“Aku cuma butuh kopi,” ucapnya dengan nada datar. Dia menatap pria-pria itu satu per satu sebelum akhirnya menatap pria di sudut ruangan—pria dengan jaket kulit hitam dan tatapan dingin yang belum berpaling darinya.
Pria itu—Jack Finlay—mengerutkan kening tipis, seolah terhibur oleh keberanian wanita asing ini. Bibirnya melengkung samar, bukan senyum ramah, melainkan sesuatu yang lebih menyeramkan.
"Beri dia kopi yang diinginkan," ujarnya dingin. Suaranya rendah, berat, dan memerintah. Seketika ruangan itu kembali hening. Semua orang terlihat canggung, tapi tak ada yang berani membantah.
Seorang pelayan akhirnya bergerak menuju meja kasir dengan enggan. Jasmine menatap Jack dengan bingung, namun pria itu hanya meneguk kopinya lagi, seolah dirinya tak pernah bicara barusan. Asap rokok yang menguar keluar dari bibir pria itu—entah mengapa bisa menarik di mata Jasmine. Alih-alih menatap ke arah lain, Jasmine justru tertarik pada satu pria itu saja—Jack.
"Berhenti menatap ke arah kami, Nona!" ucap salah satu pria dengan suara yang dingin.
"Maaf." Suara Jasmine terdengar lirih.
Dengan jantung yang berdegup kencang, Jasmine akhirnya duduk di salah satu meja dekat jendela, menjauhi pusat ruangan itu.
Kepalanya kini tertunduk, tangannya mencengkeram erat gagang koper. Apa yang baru saja terjadi? Dan kenapa pria itu terlihat seperti seorang raja yang diam-diam menguasai ruangan ini?
Dari sudut matanya, Jasmine bisa melihat Jack masih menatapnya—dingin, tajam, namun anehnya tidak mengusirnya seperti yang lain. Seolah kehadirannya di sana menarik perhatiannya lebih dari sekadar gangguan.
Di tempat asing ini, dengan tatapan-tatapan mengerikan mengarah padanya, Jasmine merasa seperti ditarik ke dalam pusaran takdir yang tidak dia duga. Dan semuanya bermula di sini, di musim gugur Edinburgh yang kelabu. Di kafe kecil yang suram itu, takdir mulai memainkan perannya untuk dua manusia yang mungkin sama-sama terluka.
...****************...