Aku menikah karena perjodohan. Tanpa dasar cinta, karena suamiku adalah paribanku. Sama seperti diriku, Arbi juga menolak perjodohan ini. Tapi apalah daya, kami tidak bisa menolak perjodohan itu. Mampukah kami menjalani rumah tangga yang menurut pandangan orang kami adalah pasangan yang bahagia?
Terlebih ada Gladys diantara kami?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Linda Pransiska Manalu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14. Ulah Arbian.
Aku diam saja, dan menutup kedua telingaku dengan bantal. Muak sudah aku dengan semuanya. Aku merasa diri ini begitu bodoh karena telah diperalat olehnya. Kenapa aku dulu tidak menolak keras perjodohan ini karena pada akhirnya membuatku merasa kehilangan harga diri.
Dulu aku memang berharap Arbian akan berubah. Dia mau menerimaku tanpa bayang-bayang Gladys. Aku akan memiliki dirinya seutuhnya. Perasaan cinta itu akan hadir dengan sendirinya di antara kami.
Sekali pun gamang dengan harapan itu. Namun dengan berlalunya waktu diam-diam aku terus memupuk perasaan itu. Terlebih Arbian tidak menceraikan aku setelah satu tahun pernikahan kami. Sehingga harapanku itu semakin membumbung ke awan. Melenakan aku dengan harapan semu.
Lamat-lamat kudengar suara langkah kaki Arbi menjauhi pintu kamar. Aku melepas telingaku dari bekapan bantal. Aku mencoba tidur karena lelah yang menjerat sedari tadi.
Keesokan harinya saat bangun pagi aku tidak melihat Arbian. Mungkin dia sudah pergi bekerja. Aku merasa lega karena tidak melihatnya pagi ini. Lalu aku pun bersiap untuk pergi kerja. Ketika malam tiba, saat pulang kerja, Arbian juga tidak di rumah. Kupikir dia lembur atau pergi ke rumah ibu mertua.
Hingga larut malam, aku tidak juga mengetahui keberadaan Arbian. Mau menelponnya aku ragu karena masih kesal padanya. Akhirnya aku ketiduran dan terjaga dari tidurku sekitar pukul dua dini hari. Karena mendengar suara mobilnya memasuki pekarangan.
Astaga, pulang darimana dia sampai dini hari begini? Apakah Arbian menghabiskan waktunya sepanjang hari ini bersama Gladis lagi? Seperti tidak ada hari lain saja. Aku membatin.
Aku tersentak karena pintu kamarku kembali di ketuk. Buat apa Arbian mendatangi kamarku dini hari begini. Kupejamkan mataku, berpura-pura tidak dengar kalau dia mengetuk pintu.
Ketika ku coba kembali untuk tidur aku kembali disentakkan suara. Kali ini dari arah dapur. Sepertinya Arbi menyenggol sesuatu sehingga suaranya terdengar berisik. Ataukah dia tengah mencari makanan di dapur. Rasa penasaran menguasai segenap rasaku. Pelan-pelan aku memutar anak kunci. Hendak mengintip apa yang dilakukan Arbian dini hari begini di dapur.
Saat aku keluar dari kamar, aku berjalan dalam gelap menuju dapur. Alangkah terkejutnya aku saat kulihat tubuh Arbian tergeletak di dekat meja makan. Meskipun cahaya temaram dari pantulan lampu teras samping, aku bisa melihat dengan jelas kalau ada sosok tubuh terbaring dekat meja makan. Siapa lagi itu kalau bukan Arbian.
Takut-taku aku mendekat dan mencoba menyakinkan diri kalau sosok itu adalah Arbi. Aku mengguncang tubuh Arbian yang kukira jatuh pingsan.
"Arbi! Kamu kenapa?" aku mencium aroma tidak sedap dari tubuh Arbian. Sepertinya bau minuman keras. Sejak kapan Arbi suka minum minuman berakohol?
"Ra-nia. Aku tidak apa-apa. Aku cuma mau bobok." Arbi membuka kelopak matanya membuatku sedikit lega.
"Kalau mau tidur ya di kamar. Kenapa malah tidur di sini. Ayok pindah!" aku berusaha menarik tubuh Arbian agar dia berdiri. Tapi tubuhnya terlalu berat untukku. Bukannya bisa berdiri malah tubuhnya tidak bergeming sama sekali. Tubuhku malah jatuh ke atas badannya.
Arbi lantas memeluk tubuhku. Sekuat tenaga aku berusaha melepaskan diri.
"Lepas Arbi!" aku merasa mual saat mencium aroma tak sedap dari mulut Arbi. Kepalaku mendadak pusing. Semakin aku berusaha bebas Arbi makin kuat memelukku. Aku menjadi ketakutan. Takut Arbi berbuat sesuatu karena dia dibawah pengaruh alkohol.
"Arbi, tolong lepaskan aku." ri*t*h ku seraya menghindari mulutnya yang terus mengeluarkan aroma memabukkan itu.
"Rania, aku mencintaimu." er*ngnya dengan des*h napas memburu. Aku tertegun mendengar igauan Arbi. Aku semakin takut. Ingin berteriak tetapi Arbian telah berhasil membekap mulutku dengan telapak tangannya.
"Ssshhhh, jangan teriak Ra, kamu adalah istriku. Apa jadinya kalau tetangga mendengarnya." Aku terus meronta dan berusaha lepas dari cengkraman Arbi. Lalu aku mendapat peluang lepas dari pelukannya.
Aku berusaha berlari sekencangnya menuju kamar. Tapi sial, Arbi berhasil menyusulku. Aku berusaha mendorong pintu kamar agar dia tidak bisa masuk. Tapi apalah dayaku. Kekuatanku tidak sebanding dengan tubuh Arbi yang kekar.
Sekali dorong pintu terbuka lebar. Aku benar-benar takut sekali. Melihat tatapan nyalang Arbian yang memindai tubuhku.
"Rania, jangan takut. Aku tidak akan menyakitimu oke. Arbi mengusap kepalaku, air mataku sudah membanjiri wajahku sejak tadi.
"Kamu sangat cantik, Rania. Kamu tidak ada apa-apanya dengan Gladys. Kamu satu-satunya di hatiku. Aku selalu menjaga perasaanku selama ini. Agar cintamu tumbuh untukku. Tapi kenapa kamu malah menyukai, Bastian? Sejak kapan kamu suka padanya." Arbian menceracau lirih serta memegangi kepalaku.
Aku begitu takut, kenapa Arbian tiba-tiba berubah seperti ini. Apakah ini hanya karena pengaruh alkohol itu saja? Apakah ucapannya itu terdorong oleh alam bawah sadarnya.
"Bi, aku mohon. Lepaskan aku." r*nt*hku lagi. Pelan-pelan aku mendorong Arbi agar menjauh dari ku. Aku tidak ingin gerakanku malah membuatnya semakin nekad. Tapi sepertinya dia tau aku hendak melepaskan diri. Arbi kembali mengetatkan pel*kannya. Des*h napas kami memburu. Aku yang ketakutan sementara Arbian yang mulai diburu nafsu.
Tangan Arbi menekan leherku, lalu memajukan wajahnya. Aku yang terkunci tubuhnya hanya mampu menutup mata. Lalu perlahan bibir dingin itu menyentuh b*b*ku. Aku merapatkan kedua b*b*ku, menolak perlakuan Arbi. Merasa ditolak, Arbi makin liar. Tangannya mencoba menyentuh setiap inci tubuhku. Tangisanku sudah tidak ia pedulikan lagi.
Disaat genting aku menendang bagian bawah tubuhnya. Arbi terjengkang dan mengerang kesakitan. Saat itulah aku mengambil kesempatan melarikan diri. Kuraih ponselku dari tempat tidur. Aku berlari ke kamar Arbi dan mengunci diri . Aku menangis sesegukan tidak menyangka kalau Arbi akan senekad itu padaku.
Aku mencoba menghubungi Mery. Tapi ponselnya tidak aktif. Lalu aku teringat Bastian. Aku lihat ponselnya masih aktif.
"Bas tolong aku, Arbian mabuk." ketikku dengan jari gemetar. Aku menunggu balasan dengan cemas. Tidak berapa lama chat ku centang biru. Lalu Bastian mengetik.
"Apakah dia menyakitimu, Mbak?" jawabnya.
"Iya, dia mencoba per*k* sa aku. Aku sudah sembunyi. Aku takut." tulisku lagi.Terlebih saat Arbi kembali menggedor pintu kamar.
"Buka Ra! Atau kudobrak pintu ini." ancamnya dari luar. Arbian menendang pintu, hingga daun pintu nampak bergetar. Aku semakin ketakutan.
Ponsel berdering ternyata ada notif masuk yang kuabaikan karena takut. Bastian lalu memanggilku, segera ku angkat teleponnya itu.
"Mbak, aku akan segera datang. Tetaplah bersembunyi." tulisnya. Aku memeluk kedua kakiku. Mengamati setiap sisi kamar untuk tempat berlindung. Gedoran di pintu kian kuat, membuatku semakin takut. Aku berlari ke arah jendela dan membukanya. Bersamaan dengan terbukanya pintu kamar.***
di bab sebelumnya itu pram lho thor
semangat thor secepatnya rania bebas dari arbi ok thor
semangat thor