Virginia menjual keperawanan yang berharga pada Vincent demi menyelamatkan nyawa adiknya yang saat ini sedang koma. Namun, Vincent yang sedang mengalami prahara dalam hubungannya dengan sang mantan istri, menggunakan Virginia untuk membalas dendam pada sang mantan istri.
Vincent dengan licik terus menambah hutang Virginia padanya sehingga anak itu patuh padanya. Namun Vincent punya alasan lain kenapa dia tetap mengungkung Virginia dalam pelukannya. Kehidupan keras Virginia dan rasa iba Vincent membuatnya melakukan itu.
Bahkan tanpa Vincent sadari, dia begitu terobsesi dengan Virginia padahal dia bertekat akan melepaskan Virginia begitu kehidupan Virgi membaik.
Melihat bagaimana Vincent bersikap begitu baik pada Virgi, Lana si mantan istri meradang, membuatnya melakukan apa saja agar keduanya berpisah. Vincent hanya milik Lana seorang. Dia bahkan rela melakukan apa saja demi Vincent.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon misshel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Merasa Terjebak
Egi berdiri ketika Vincent masuk ke kamar. Kedua tangannya terjalin, sorot matanya penuh tanya dan rasa bersalah.
"Dokter, aku rasa ini berlebihan." Egi menemukan jawaban saat Vincent sama sekali tidak berubah ekspresinya. Sebagai wanita, dia tahu apa yang Lana rasakan, jadi dia tidak merasa segan menyuarakan hal ini pada Vincent.
"Aku tidak pernah menyatakan yang dilakukannya selama ini berlebihan!" Vincent cuek melepas sepatunya, lalu setelah selesai, dia menarik napas panjang. "Dunia ini semuanya harus sepadan, baik baik kebaikan maupun kejahatan!"
Egi merasa tersindir, membuat nyalinya mengerut. Apalagi tatapan Vincent kepadanya mendadak bisa ditebak dengan mudah apa maksudnya. "Sa-saya akan coba membalas semua yang sudah Dokter lakukan."
"Kamu bisa menyebutnya kebaikan." Vincent berdiri kemudian melangkah menuju kamar mandi. "Tidurlah! Tidak usah menungguku!"
Egi sontak menoleh ke ranjang yang terlihat menggiurkan untuk ditiduri. "Kita tidur di sini berdua?"
Vincent yang sudah mencapai pintu kamar mandi yang terbuat dari kaca buram itu menoleh. "Tujuanku membawamu kesini adalah untuk tidur bersama, bukan?"
Egi terhenyak, "tapi tolong jangan banyak-banyak melakukan itu, aku baru saja sembuh."
"Itu bisa dipikirkan setelah melihat keadaan." Vincent melangkah masuk. "Jika kau tidur cepat, aku bahkan tidak mampu memaksamu."
Egi menghela napas. Bagaimana dia bisa tidur jika sekarang dia jantungnya sedang bekerja keras? Lalu bagaimana dia bisa memejamkan mata sementara di sebelahnya terlelap singa yang sedang galak-galaknya?
Bagaimana dia bisa menikmati lelapnya tidur sementara di kamar lain ada seorang wanita yang sedang menangisi pernikahannya?
Egi duduk di tempat yang semula ia duduki. Elvano tadi menampakkan tanda-tanda yang positif, jadi Egi bisa sedikit menaruh harapan lebih, meski tetap saja Vincent merendahkan ekspektasinya.
Kata-kata Vincent tadi sebelum pulang cukup mampu membuatnya berpikir realistis. Akan tetapi, tetap saja Vincent membenturkan segalanya dengan kekuasaan dia selaku dokter.
Egi merebah. Aroma disini begitu menenangkan. Sebelumnya hanya bau lembab yang mampu diendusnya ketika akan tidur. Membayangkan akan bisa bertahan hidup sampai hari ini saja tidak mampu.
Mata Egi perlahan memberat, kemudian ia terjatuh ke dalam tidurnya yang begitu lelap.
...
"Brie akan turun sebentar lagi, tolong jangan biarkan dia melihat pacarmu keluar dari kamarmu! Itu nggak baik buat psikologinya!"
Vincent mendengus ketika Lana sepertinya tidak terpengaruh dan meledak-ledak akan tindakan provokasinya semalam. Tentu saja, Vincent tidak akan puas sampai wanita itu menangis darah.
Vincent baru saja selesai olahraga dan belum mandi, jadi setelah menenggak segelas air putih, dia segera melangkah ke kamar.
Lana melihatnya dengan tatapan terluka, hanya saja dia berusaha tegar. Bahkan dia tidak tidur semalam hanya memikirkan mengapa Vincent begitu tega setelah dia pikir segala kesalahannya telah termaafkan. Dan lagi, hinaan akan penyakit Brie membuat hatinya teriris.
"Boleh aku membantu?"
Lana segera memalingkan muka, menelan kembali air mata yang nyaris jatuh.
"Duduklah dan segera makan sarapanmu! Aku sengaja menyiapkan lebih banyak protein agar kamu cepat pulih." Lana mengambil makanan untuk Egi dalam gerakan cepat.
Egi menerimanya dengan rendah hati.
"Virgi, keringkan rambutmu dengan hair dryer milik Lana! Punyaku tertinggal di rumah sakit!"
Sembilu macam apa ini?
Lana terlihat biasa saja saat tersenyum ke arah Egi. "Habiskan! Biar aku ambilkan dulu!"
Dengan wajah tertunduk, Lana melangkah ke kamar.
Makanan ini semuanya enak, tapi di tenggorokan Egi rasanya seperti sekam. Apa ini perintah Vincent agar Lana melayaninya? Bukankah ini terlalu kejam? Egi melihat jelas luka di wajah Lana.
Siapapun pasti tidak sanggup menanggungnya.
"Dokter, aku bisa ambil makan sendiri, tidak baik merepotkan begini." Egi menelan ludah, kemudian melanjutkan dengan suara begitu lirih. "Kasihan Bu Lana."
Egi sungguh ingin tahu apa masalah mereka sampai Vincent bertindak sejauh ini.
"Simpan tenagamu dengan baik, Virgi, hutangmu padaku terlalu banyak!"
Egi menunduk. "Karena hal itu juga seharusnya anda tidak membawa saya kemari sehingga membuat suasana hati saya jadi tidak nyaman, Dok. Saya memiliki hubungan rahasia yang rasanya tidak pantas berada di dalam rumah tangga anda! Kita tidak perlu melakukannya dengan cara terbuka seperti ini, ini membuat saya malu dan tidak punya harga diri."
"Benar!" Vincent yang semula berjarak sekitar satu meter dari Egi kini mendekat dan menepuk kepala Egi penuh tekanan. "Harga dirimu bukankah seharga nyawa adikmu?"
"Jujur saja, saya ingin melakukannya dengan perasaan sedikit lebih baik—"
"Oh!" sahut Vincent. "jadi kamu tidak mau rugi juga? Kamu tidak hanya mendapat uang tapi kamu juga ingin merasakan kenikmatan?"
Egi kaget hingga mendongak begitu cepat. Matanya bisa langsung bertemu dengan mata Vincent yang begitu dingin dan kelam.
Ini tidak benar. Mata Vincent penuh dengan dendam.
Melihat bagaimana respons Egi, Vincent tersenyum. Tangan besarnya meraih dagu Egi. Ia mendekat hingga berjarak satu senti dari bibir Egi.
"Jangan terlalu serakah atau kau akan tersesat terlalu dalam!"
Lana melihat semua itu, tatapannya menjadi sangat nanar. Hair dryer ditangannya digenggam erat sampai tangannya terasa sakit.
Mereka bahkan berciuman di meja makan tanpa rasa sungkan.
"Mama ...."
Egi menjauh begitu cepat begitu mendengar suara Brie. Kemarin lalu mereka bertemu, berbicara, dan berkenalan.
"Pasien Papa jadi temen kita, ya, Ma?"
Lana segera membawa Brie keluar setelah dirinya tidak mampu menahan rasa sakit itu sendirian.
Ia akhirnya mengusap air mata dan berjongkok di depan Brie ketika sampai di teras rumah.
"Brie berangkat ke sekolah bareng supir ya! Mama akan jemput Brie nanti," ujarnya terbata. "Nanti Mama akan telepon Miss Clara untuk menjaga Brie sementara mama belum datang."
Mata besar Brie bergoyang ceria. "Apa nggak apa-apa Brie nggak nyapa Kakak Pasien Papa? Apa dia juga sakit kaya Brie?"
"Iya, Sayang, dia sakit juga meski tidak sama dengan kamu." Lana mencium kening dan pipi Brie bergantian. Meski tidak memiliki tubuh yang begitu menggemaskan, Brie terlihat sehat dan normal. Tidak ada yang menyangka dia menderita penyakit yang sangat kompleks.
Brie segera berangkat setelah mendengarkan penjelasan mamanya. Lana sendiri setelah Brie pergi juga segera masuk ke dalam.
"Apa masakanku enak?" Lana meletakkan hair dryer ke depan Egi begitu saja. Ia tidak melihat Vincent dimana-mana. Pria itu setelah melukainya bersikap seolah semua itu tidak ada artinya.
Egi menyuap sepotong daging yang rasanya sangat enak saat mengangguk.
"Maafkan Vincent karena dia melibatkanmu ke dalam urusan rumah tangga kami." Lana mengambil air dan meminumnya dengan anggun.
Egi nyaris tersedak mendengar itu. Diam-diam dia mencuri pandang ke arah Lana.
Lana meletakkan gelas dan tersenyum menatap Egi.
"Aku tau kamu anak baik, Vincent pasti hanya memanfaatkan kamu."
Egi berkedip saking bingung dengan sikap dua orang di dalam rumah ini.
"Aku pernah bersalah padanya, meski tidak besar, tapi susah baginya untuk memaafkan." Lana berdiri. "Buat dirimu nyaman, kurasa kamu terlalu tegang."
Oh God! Egi sekarang merasa terjebak dan cengo.