NovelToon NovelToon
VARIOUS LOVES

VARIOUS LOVES

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami / Cinta Terlarang / Bad Boy
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: WikiPix

Nadira terbaring koma, di ambang batas hidup, divonis tak akan bisa pulih oleh sang dokter akibat penyakit langka yang merenggut segalanya dengan perlahan.

Di sisa-sisa kesadarannya, ia menyampaikan satu permintaan terakhir yang mengubah hidup Mira, kakaknya: menggantikan posisinya untuk menikahi Revan, seorang pria yang bahkan tak pernah Mira kenal.

Tanpa cinta, tanpa pilihan, Mira melangkah menuju pelaminan, bukan untuk dirinya sendiri, melainkan demi memenuhi permintaan terakhir Nadira. Namun, pernikahan ini lebih dari sekadar janji. Itu adalah awal dari ujian berat, di mana Mira harus berjuang menghadapi dinginnya hati Revan dan penolakan keluarganya.

Ketika Mira mencoba bertahan, kenyataan yang lebih menyakitkan menghancurkan semua: Revan melanggar janjinya, menikahi wanita lain yang memiliki kemiripan dengan Nadira, semua dilakukan di balik punggung Mira.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon WikiPix, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bertemu

Revan mengemudikan mobilnya perlahan, matanya menatap lurus ke jalan, tetapi pikirannya melayang jauh. Ia merasakan berat yang luar biasa di dadanya, karena kehilangan Nadira, dan juga karena kekhawatiran yang membayangi pertemuannya dengan keluarganya nanti, memberikan tahukan bahwa dirinya telah menikah dengan Mira.

Ia tahu, keluarganya tak pernah menyukai Nadira. Bahkan, mereka tidak pernah memberikan kesempatan kepada wanita itu untuk membuktikan dirinya, sebagai wanita yang layak menjadi menantu.

Bagi keluarganya, Nadira hanyalah seorang gadis miskin yang tidak pantas masuk ke dalam kehidupan mereka, yang menjunjung tinggi martabat keluarga.

Penilaian itu semakin parah ketika mereka tahu bahwa Nadira memiliki penyakit kronis yang membuatnya terlihat "lemah" di mata mereka.

"Dia hanya akan menjadi beban," ibunya pernah berkata dingin. Ayahnya bahkan pernah terang-terangan meminta Revan untuk mengakhiri hubungan dengan Nadira.

“Kamu bisa menemukan seseorang yang jauh lebih baik. Jangan bodoh hanya karena rasa cinta.”

Dan sekarang, Revan telah menikahi Mira, tanpa memberi tahu keluarganya. Keputusan ini diambil begitu saja, tanpa melihat dampak yang akan terjadi.

Tetapi bagi Revan, ini adalah jalan terbaik. Janji yang dibuat Nadira di hari terakhir hidupnya, agar Mira dan Revan memiliki orang yang di cinta, selain dirinya, untuk selamanya.

Namun, bagaimana reaksi keluarganya nanti? Revan bisa membayangkan ekspresi ibunya yang penuh dengan kekecewaan dan mungkin kemarahan.

Bukan hanya karena pernikahan ini dilakukan tanpa sepengetahuan mereka, tetapi juga karena Mira adalah kakak dari wanita yang mereka benci.

“Mira…” Revan bergumam pelan, tangannya menggenggam setir lebih erat.

“Apa mereka akan menerima dirimu? Atau malah lebih membencimu, karena kau adalah kakak dari Nadira." Pikiran itu menghantamnya seperti badai.

Di satu sisi, Revan tahu Mira berbeda dari Nadira. Mira lebih kuat, lebih tangguh. Ia mampu menghadapi kehidupan dengan cara yang tidak pernah bisa dilakukan oleh adiknya.

Namun, fakta itu tidak berarti keluarganya akan bersikap lebih lunak pada Mira. Mereka mungkin akan menganggap bahwa menikahi Mira hanyalah kelanjutan dari kesalahan yang mereka anggap Revan lakukan dengan Nadira.

Mobil meluncur melewati jalanan yang sepi, hujan mulai turun rintik-rintik, membuat suasana semakin kelam. Revan menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya.

Bagaimanapun, ia harus menghadapi keluarganya. Keputusan telah diambil, dan ia tidak menyesal menikahi Mira. Tapi ia sadar, menjelaskan segalanya kepada mereka akan menjadi pertempuran yang panjang dan melelahkan.

“Bagaimana kalau mereka menolak Mira?” pikirnya tiba-tiba. Ia merasa darahnya mendidih hanya dengan memikirkan kemungkinan itu.

“Kalau mereka tidak bisa menerima Mira… aku harus memilih. Dan aku sudah tahu pilihanku.”

Revan mengeratkan rahangnya. Bagaimanapun juga, ia sudah berjanji. Bukan hanya pada Nadira, tapi juga pada dirinya sendiri. Ia tidak akan membiarkan siapapun menyakiti Mira, termasuk keluarganya sendiri.

“Kalau mereka nggak bisa menerima Mira, maka itu urusan mereka. Aku nggak akan melepaskan Mira hanya karena mereka nggak suka,” gumamnya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.

"Aku akan melindungi dia, seperti yang aku janjikan, pada Nadira."

Langit semakin gelap, hujan turun semakin deras. Revan memperlambat laju mobilnya, dan ia melirik jam di dashboard mobil, jarum menunjukkan pukul empat sore. Ia baru menyadari bahwa sejak kemarin pagi, ia belum makan apa pun.

Lambungnya mulai memberontak, rasa lapar menggerogoti tubuhnya yang lelah. Hujan yang semakin deras memaksa dirinya untuk berpikir lebih realistis. Ia tahu tak mungkin melanjutkan perjalanan dengan perut kosong dan pikiran yang kacau.

Setelah menghela napas panjang, Revan memutuskan untuk menepikan mobilnya di sebuah warung makan sederhana yang ia lewati. Warung itu tampak sepi, hanya ada satu atau dua pelanggan yang duduk di dalam, menikmati hidangan sambil menghangatkan diri dari udara dingin akibat hujan.

Revan mematikan mesin mobil, lalu keluar dengan langkah yang terasa berat. Udara dingin menusuk kulitnya, namun ia tetap berjalan masuk ke dalam warung. Aroma masakan sederhana menyeruak, langsung menggugah seleranya yang sudah lama tertahan. Ia memilih meja di pojok, mencoba menghindari perhatian orang lain.

Seorang pelayan mendekat dengan senyum ramah. "Mas, mau pesan apa?" tanyanya sopan, menyerahkan menu.

Revan mengambil menu itu dengan tangan gemetar karena lelah. "Mbak, nasi goreng ayam sama teh hangat saja, ya," ujarnya singkat. Ia tak punya banyak tenaga untuk memilih makanan lain.

Pelayan itu mengangguk dan segera pergi ke dapur. Revan bersandar di kursinya, matanya menatap ke luar jendela, memandangi hujan yang mengguyur jalanan. Pikirannya kembali dipenuhi bayangan wajah Mira dan Nadira. Suara Nadira di saat-saat terakhirnya terngiang di telinga, seolah Nadira masih berada di sana, memintanya untuk menjaga Mira dengan sepenuh hati.

Namun, bayangan itu berganti menjadi wajah ibunya yang dingin dan penuh penilaian. Ia bisa membayangkan nada suaranya nanti saat mengetahui bahwa Revan telah menikahi Mira.

"Revan, apa kau benar-benar ingin menghancurkan martabat keluarga ini?" Begitu kira-kira yang akan ia dengar. Hatinya mencelos, tapi ia tahu keputusan ini tidak salah.

"Mas, ini pesanannya," suara pelayan membuyarkan lamunannya. Revan tersenyum tipis dan mengangguk sebagai ucapan terima kasih. Ia meraih sendok dan garpu, lalu mulai makan dengan perlahan. Setiap suapan nasi goreng yang masuk ke mulutnya terasa seperti pengisi energi yang sangat ia butuhkan.

Di sela-sela makan, ia mencoba menyusun rencana di kepalanya. "Aku harus memastikan Mira siap sebelum bertemu keluargaku. Aku nggak akan membiarkan mereka mempermalukan dia seperti mereka memperlakukan Nadira dulu." Revan merasa bertanggung jawab penuh atas kebahagiaan Mira sekarang. Meski lelah, ia tidak boleh goyah.

Selesai makan, Revan meneguk teh hangatnya, membiarkan rasa manis dan hangat itu mengalir di tenggorokannya, sedikit mengurangi beban pikirannya.

Setelah membayar makanannya, Revan keluar dari warung dan melihat seseorang yang cukup ia kenal, sedang berteduh di sebuah gubuk pedagang kaki lima.

Revan berdiri sejenak di bawah atap warung, memandangi hujan yang masih turun dengan deras. Di seberang jalan, pandangannya tertuju pada sosok wanita yang berdiri di bawah gubuk pedagang kaki lima. Revan mengernyitkan dahi, merasa wajah itu tak asing.

“Karina?” gumamnya, memastikan penglihatannya. Wanita itu memang sangat mirip dengan Nadira, cukup untuk membuat dada Revan berdesir. Namun, ia tahu pasti bahwa dia bukanlah Nadira, melainkan Karina.

Wanita yang pernah ia temui di bar beberapa hari yang lalu.

Sebelum langkahnya membawanya lebih dekat, ia melihat seorang tukang ojek payung berdiri tak jauh darinya, menawarkan jasanya kepada beberapa pelanggan warung lain. Revan melambaikan tangan, memanggil pria itu.

“Mas, tolong antar saya ke sana, ke gubuk itu,” kata Revan sambil menunjuk arah Karina.

Tukang ojek payung itu mengangguk, tersenyum ramah. “Silakan, Mas. Pegang payungnya, ya.”

Revan mengambil payung besar itu dan mengikutinya melewati jalanan yang basah. Hujan yang deras menghantam payung, membuat suara gemuruh kecil yang mengiringi langkah mereka.

Ketika ia mendekati gubuk itu, Revan mendapati Karina sedang berbicara dengan seseorang di ponselnya. Wajah wanita itu tampak sedikit resah, alisnya berkerut tajam. Meskipun hujan deras mengaburkan suara, Revan bisa menangkap nada terburu-buru dan tegang dari percakapan tersebut.

“Karina,” panggil Revan pelan ketika ia sudah cukup dekat.

Wanita itu menoleh cepat, matanya membelalak saat menyadari siapa yang berdiri di hadapannya. Sontak, ia menutup teleponnya tanpa basa-basi.

“Lo lagi! Ngapain di sini? Ngikutin gue, ya?” Karina langsung berseru dengan nada penuh kecurigaan, ekspresinya jelas-jelas menunjukkan ketidaksenangan.

Revan mengangkat kedua tangannya, berusaha menenangkan. “Tenang dulu, Karina. Aku cuma kebetulan lewat.”

“Lewat? Serius, Rev? Lo pikir gue bakal percaya?” Karina melipat tangan di depan dada, tatapannya tajam menusuk.

“Pergi nggak bilang-bilang. Main hilang aja, tahu nggak gue males banget ngurusin lo waktu itu!” lanjutnya dengan nada yang semakin tajam.

Revan mengerutkan kening, bingung dengan kemarahan Karina yang tiba-tiba. “Maksudmu apa? Aku nggak ngerti,” tanyanya, mencoba mencari penjelasan.

Karina mendengus kesal. “Lo lupa? Kemarin malam gue nemuin lo mabuk berat di bar. Lo nggak sadar apa-apa, bahkan waktu gue tanya alamat rumah lo, lo cuma meracau nggak jelas!” Suaranya meninggi, penuh emosi.

Revan memejamkan matanya, mencoba mengingat kejadian yang dimaksud Karina, tapi kepalanya terasa kosong. “Jadi… kemarin itu kamu bawa aku ke rumahmu?” tanyanya ragu.

“Ya! Gue nggak punya pilihan lain! Lo pikir gue mau repot-repot ngurusin lo? Gue cuma nggak tega ninggalin lo tidur di parkiran! Dan sekarang lo muncul di sini kayak nggak ada apa-apa?” Karina menggeleng, frustrasi.

Revan terdiam, merasa bersalah. Ia tahu Karina benar-benar kesal, dan itu masuk akal. Namun, dirinya sedang terlalu lelah untuk berdebat atau menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi di balik semua itu.

“Aku nggak nyangka bakal ketemu kamu lagi di sini. Tapi... maaf, aku bener-bener nggak ingat apa-apa soal kemarin malam,” ujar Revan dengan nada rendah.

"Aku cuma ingat kalau aku mau pulang, kepalaku pusing, dan seterusnya aku nggak ingat," lanjutnya.

Karina memutar bola matanya, menarik napas panjang seolah menahan diri. “Gue nggak peduli lo ingat atau nggak. Tapi kalau lo mau terus-terusan kacau kayak begini, gue nggak bisa bantu lo lagi. Gue juga punya hidup gue sendiri.”

Revan menunduk, merasa bersalah. “Aku ngerti. Maaf kalau aku udah nyusahin.”

Karina masih melipat tangan di dada. Lalu berjalan ke tempat duduk di dalam gubuk, tanpa berkata apa-apa lagi.

Revan mengangkat wajahnya, menatap Karina dengan sedikit ragu. “Terus, kamu mau kemana?”

“Mau pulanglah! Mau gimana lagi?!” Karina mendengus.

Revan menatap langit yang semakin gelap, hujan masih mengguyur dengan deras. “Ya udah, gue anterin pulang, deh. Sebagai permintaan maaf.”

Karina menatapnya sinis. “Nggak usah. Gue nggak butuh bantuan lo.”

“Serius? Ya udah kalau nggak mau, aku pulang dulu.” Revan mengangkat bahunya, lalu bersiap melangkah pergi. Tapi langkahnya terhenti ketika tiba-tiba Karina memegang tangannya.

“Jangan pergi dulu, Rev,” ucap Karina pelan. Suaranya sedikit gemetar, dan dia tampak ragu dengan ucapannya sendiri.

Revan menatap Karina bingung, hendak bertanya, namun tiba-tiba suara petir menggelegar keras, membuat Karina tersentak dan tanpa sadar memeluk Revan.

Revan terdiam, bingung harus bereaksi seperti apa. Ia merasa pelukan Karina begitu erat, seolah-olah ia takut kehilangan pijakan.

“Anterin gue pulang, Rev,” ujar Karina pelan, suaranya penuh ketakutan.

“Tadi katanya nggak mau. Sekarang... gimana sih?” ujar Revan, mencoba menahan tawa kecilnya.

“Aku mohon, Rev. Gue nggak mau terjebak hujan terus di sini,” katanya, masih memeluk Revan erat.

Revan mendesah pelan, lalu mengangguk. “Oke, oke. Gue anterin. Tapi lo tenang dulu.”

Karina mengendurkan pelukannya dan menatap Revan dengan ekspresi malu-malu, namun dia tetap tak berkata apa-apa.

Keduanya kemudian berjalan menuju mobil Revan, dan tanpa banyak bicara, Revan menyalakan mesin dan mulai melaju, mengantarkan Karina pulang di bawah derasnya hujan yang mengguyur.

1
Cevineine
lanjut yaa, aku gift biar makin semangat😊
WikiPix: sabar, ya. lagi proses.
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!