seorang wanita muda yang terjebak dalam kehidupan yang penuh rasa sakit dan kehilangan, kisah cinta yang terhalang restu membuat sepasang kekasih harus menyerah dan berakhir pada perpisahan.
namun takdir mempertemukan mereka kembali pada acara reuni SMA tujuh tahun kemudian yang membuat keduanya di tuntun kembali untuk bersama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
episode 20
Langit malam mulai gelap, hanya diterangi lampu-lampu jalan yang temaram. Ayana menyeret kopernya keluar dari rumah dengan hati yang campur aduk. Ia merasa lega telah mengambil keputusan besar, namun tetap ada kepedihan yang menghantuinya. Saat melewati gerbang rumah, langkahnya terhenti oleh suara klakson pelan dari sebuah mobil hitam yang terparkir di pinggir jalan.
Biantara membuka kaca jendela mobil
"Ayana?""
Ayana terkejut melihat Biantara. Ia tidak menyangka pria itu ada di sana, menunggunya tanpa pemberitahuan.
Ayana sedikit bingung mengapa biantara ada di sekitar rumahnya
"Bian? Apa yang kamu lakukan di sini?"
Biantara tersenyum tipis
"Entahlah. Firasatku mengatakan aku harus ke sini. Aku tidak menyangka akan melihatmu keluar seperti ini.",
Ayana menghela napas panjang, merasa seolah tak bisa menyembunyikan apa pun dari Biantara.
"Aku sedang menuju Jakarta. Ingin tinggal di rumah kak Raka untuk sementara waktu." tutur Ayana dengan pelan
Biantara mengangguk memahami
"Rumah kakakmu, ya? Kalau begitu, biar aku antar."
Ayana mengernyit, ragu. Ia tidak ingin merepotkan Biantara, apalagi melibatkan pria itu terlalu dalam pada permasalahannya.
"Tidak usah, Bian. Aku bisa pesan taksi." tolak ayana sungkan
Bian tertawa kecil"Di sekitar sini? Ayana, kau tahu taksi sulit ditemukan di daerah ini malam-malam."
Ayana terdiam, menyadari kebenaran ucapan Biantara. Ia memang tidak memiliki pilihan lain. Akhirnya, dengan sedikit enggan, ia mengangguk.
"Baiklah, kalau begitu. Terima kasih." jawab ayana pasrah
Biantara segera keluar dari mobil, membantunya memasukkan koper ke dalam bagasi. Saat itu, pintu rumah Devano terbuka, dan ibu serta ayah Devano melangkah keluar, terlihat berbincang serius. Ayana langsung menunduk, tidak ingin ada konfrontasi. Ia masuk ke dalam mobil dengan cepat, sementara Biantara kembali ke kursi pengemudi.
Mobil melaju perlahan meninggalkan rumah Devano. Ayana duduk diam di kursi penumpang, menatap jalanan yang gelap di luar. Suasana di dalam mobil terasa hening, hanya diisi suara lembut musik instrumental dari radio.
Bian melirik Ayana sesaat
"Apa kamu yakin dengan keputusan ini?" bian memecah keheningan
Ayana menarik napas panjang
"Aku tidak yakin apa pun, Bian. Tapi aku tahu aku tidak bisa terus seperti ini."
Biantara mengangguk
"Aku mengerti. Kadang, keputusan sulit adalah satu-satunya jalan untuk menemukan kedamaian."
"dan aku akan mengejarmu kembali ayana" lanjut bian membatin
Ayana menatap Biantara, merasa bahwa pria itu selalu memiliki cara untuk membuatnya merasa dimengerti. Namun ia tetap menjaga jarak, tak ingin menggantungkan dirinya pada Biantara.
"Bian, aku tidak ingin kamu terlalu terlibat dalam urusanku. Ini masalahku dan aku harus menyelesaikannya sendiri."
Biantara tersenyum lembut dan berkata
"Aku tahu, Ayana. Aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja. Itu saja."
Perjalanan menuju Jakarta menjadi perjalanan panjang yang penuh keheningan. Namun di balik diamnya, ada perasaan tenang yang perlahan menyelimuti hati Ayana. Ia tahu kehadiran Biantara bukan untuk mengontrol atau memaksanya, melainkan untuk mendukungnya. Meskipun begitu, Ayana tetap menjaga jarak emosionalnya, memastikan bahwa perjuangannya kali ini benar-benar atas kehendaknya sendiri bukan karena sosok BIANTARA hadir kembali dalam kehidupannya.
Lampu-lampu kendaraan memanjang tanpa ujung di jalan tol yang penuh sesak. Biantara memutar lagu lembut di mobilnya, mencoba meredakan suasana canggung di antara mereka. Ayana bersandar di kursi penumpang, terlihat lelah setelah beberapa jam perjalanan yang terasa tak kunjung selesai.
"Ini di luar perkiraan. Seharusnya kita sudah sampai setengah jalan sekarang."
Biantara menghela napas
"Sepertinya ada kecelakaan besar di depan. Jalanan benar-benar tersendat."
Ayana menatap keluar jendela dengan pandangan kosong, lalu melihat jam di ponselnya.
"Sudah hampir tengah malam. Mungkin perjalanan ini akan lebih lama dari yang kita duga."
"Aku rasa begitu. Kalau begini terus, akan terlalu berbahaya untuk melanjutkan perjalanan tanpa istirahat."
Ia melirik ke arah Ayana yang terlihat semakin lelah.
"Bagaimana kalau kita mencari penginapan terdekat? Kita bisa melanjutkan perjalanan besok pagi." usul bian
Ayana terdiam sesaat, lalu akhirnya mengangguk
"Baiklah. Mungkin itu pilihan terbaik untuk sekarang."
---
Setelah mencari penginapan di beberapa tempat, akhirnya mereka tiba di sebuah hotel kecil di pinggir jalan tol. Sayangnya, hotel tersebut juga dipenuhi tamu lain yang terjebak situasi yang sama.
Resepsionis:
"Maaf, Pak, Bu. Semua kamar sudah penuh. Tapi... ada satu kamar tersisa, hanya saja itu kamar dengan satu tempat tidur saja."
Ayana langsung terlihat gelisah. Ia menatap Biantara, berharap pria itu memiliki solusi lain. Namun Biantara tahu mereka tidak memiliki banyak pilihan.
Biantara berpikir sejenak, lalu mengangguk
"Kami ambil kamarnya."
Ayana menoleh kaget, tapi Biantara menatapnya dengan tenang, mencoba meyakinkan.
"Kita tidak punya pilihan lain, Ayana. Kita butuh istirahat agar bisa melanjutkan perjalanan dengan aman besok."
Ayana menunduk, mencoba memahami situasinya. Akhirnya, ia mengangguk pelan.
"Baiklah. Tapi... ini hanya karena keadaan memaksa, Bian."
Biantara tersenyum tipis
"Tentu saja. Aku akan menjaga batas."
Kamar itu sederhana namun bersih. Sebuah tempat tidur berukuran besar menjadi pusat ruangan, dengan kursi kecil di sudut. Ayana terlihat canggung saat memasuki ruangan. Biantara segera mengarahkan koper ke sudut ruangan.
"Kau tidur di tempat tidur. Aku bisa tidur di kursi."
Ayana menatap kursi kecil itu
"Kursi itu terlalu kecil untukmu, Bian." menurutnya tak sesuai untuk ukuran tubuh jangkungnya fikir ayana
Biantara tertawa kecil
"Aku tidak keberatan. Aku pernah tidur di tempat lebih buruk dari ini."
Namun, Ayana tahu ia tidak bisa membiarkan Biantara merasa tidak nyaman.
"Tidak. Kita bisa berbagi tempat tidur, tapi aku akan menjaga jarak. Kita hanya tidur, tidak lebih."
Biantara terdiam sesaat, lalu mengangguk dengan penuh pengertian.
"Baiklah. Aku janji."
Lampu kamar dimatikan, menyisakan cahaya remang-remang dari jendela. Ayana berbaring di satu sisi tempat tidur, membelakangi Biantara. Sementara itu, Biantara berbaring di sisi lainnya, menjaga jarak seperti yang dijanjikan.
Keheningan menyelimuti ruangan. Ayana mencoba memejamkan mata, tapi pikirannya berkecamuk. Ia menyadari betapa aneh dan rumit situasinya. Namun, di sisi lain, ia merasa aman dengan Biantara di dekatnya.
Ayana berbisik sambil membelakangi biantara
"Terima kasih, Bian."
Biantara menoleh sedikit, suaranya lembut namun penuh makna.
"Untuk apa?"
"Untuk selalu ada, meski aku tahu aku mungkin akan membawa banyak masalah untukmu"
Biantara tersenyum, meski Ayana tak bisa melihatnya
"Kau tidak membawa masalah, Ayana. Aku ada di sini karena aku ingin memastikan kau menemukan kebahagiaanmu."
Ayana tidak menjawab, hanya menarik napas panjang. Kata-kata Biantara membuat dadanya terasa hangat, meski ia tahu perjuangannya belum selesai.
Larut malam itu, mereka berdua akhirnya terlelap dalam keheningan, masing-masing tenggelam dalam pikiran dan perasaan mereka sendiri. Perjalanan ini mungkin panjang, tapi malam itu adalah awal dari sebuah keputusan besar untuk hidup mereka.