NovelToon NovelToon
Loves Ghosts

Loves Ghosts

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Hantu
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: H_L

Rain, gadis paling gila yang pernah ada di dunia. Sulit membayangkan, bagaimana bisa ia mencintai hantu. Rain sadar, hal itu sangat aneh bahkan sangat gila. Namun, Rain tidak dapat menyangkal perasaannya.

Namun, ternyata ada sesuatu yang Rain lupakan. Sesuatu yang membuatnya harus melihat Ghio.

Lalu, apa fakta yang Rain lupakan? Dan, apakah perasaannya dapat dibenarkan? bisa kah Rain hidup bersama dengannya seperti hidup manusia pada umumnya?

Rain hanya bisa berharap.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon H_L, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

keluarga Ghio, Rain.

"Aku pernah melihatnya. Mama Rain."

Rain merasa bulu-bulunya berdiri dan berdesir ketika Ghio menyebutkan namanya.

"Benar." Dengan hati-hati Rain bertanya. "Kamu melihat mama Rain dimana?"

Sosok Ghio diam seperti berpikir. Tak lama kemudian, ia menggeleng.

Rain membuang napasnya. "Apa Ghio tertarik dengan foto mama Rain?" tanya Rain hati-hati.

"Siapa Ghio?"

Mata Rain berkedip. Bukankah namanya Ghio.

"Namamu bukan Ghio?" tanya Rain.

Sosok Ghio menggeleng. "Tidak tahu."

Dahi Rain berkerut. "Kamu gak ingat siapa nama kamu?"

Sosok itu menggeleng.

Rain kemudian ingat dengan lukisan. Lantas ia menunjuk lukisan itu. "Lukisan itu bukan punyamu?"

"Tidak tahu. Tapi aku menyukainya."

Bibir Rain berkerut ke dalam. "Jadi kamu benar-benar gak tahu siapa nama kamu?"

Entah kemana hilangnya ketakutan Rain. Kali ini ia malah penasaran dengan sosok di depannya.

Sosok itu kembali menggeleng. "Siapa namaku?"

Dahi Rain berkerut semakin dalam. Lantas kenapa semalam dia langsung muncul ketika ia mengucapkan namanya? Apakah ia muncul karena Rain mengucap terima kasih? Tapi, bagimana ia tahu kalau ucapan terima kasih Rain tertuju kepadanya?

Otaknya seolah tak mampu menampung pertanyaan itu, hingga keluar begitu saja dari mulut Rain.

"Lalu, kenapa kau muncul tadi malam saat aku berterima kasih?" tanya Rain. Ia belum sadar dengan pertanyaannya.

Sosok itu menggeleng. "Tidak tahu."

Rain memutar bola matanya. "Kamu benar-benar gak tahu apa pun?"

Sosok itu mengangguk. "Aku hanya merasa kalau kau berterima kasih kepadaku. Tapi, sepertinya aku salah. Karena kau menyebutkan nama Ghio." Sosok itu seolah berpikir.

Rain berkedip. "Ucapan terima kasih itu memang untukmu."

"Tapi, kau menyebutkan nama Ghio."

Rain menutup mulut. Ia menarik napas sebentar. "Itu karena aku berpikir kalau namamu adalah Ghio."

"Ghio..." Sosok itu kembali berpikir.

Rain mengangguk. "Kau suka nama itu?" tanya Rain.

Sosok itu diam sebentar. Lalu mengangguk.

"Kalau begitu namamu adalah Ghio."

"Namaku Ghio," kata Ghio sambil menunjuk dirinya.

Rain tersenyum lebar. "Benar namamu Ghio."

"Lalu dimana keluargamu? Kenapa Ghio ada di sini?" tanya Rain. kata-kata yang tidak ia duga keluar begitu saja dari mulutnya. Semuanya berasal dari hatinya yang penasaran.

Ghio menggeleng.

Rain mengerutkan kening. "Kau benar-benar tidak ingat apa pun?"

Ghio kembali menggeleng.

Hati Rain tersentuh. Saat ini, Ghio jauh dari kata seram. Namun sebaliknya, Ghio terlihat seperti anak kucing yang kehilangan induknya.

"Mama," kata Ghio seraya menatap ponsel Rain yang masih menyala.

Rain mengikuti pandangan Ghio. "Ini mama Rain."

Ghio mengangguk, dan menunduk.

Rain mencoba melihat wajah Ghio seraya mendekat ke arahnya.

"Kau merindukan mamamu?"

Ghio menatap Rain lalu mengangguk.

Rain menggigit bibirnya. Ini pasti sulit. Bagaimana ia bisa merindukan mamanya sedangkan ia tidak ingat apa pun? Dimana keluarga Ghio? Kenapa dia bisa ada di sini?

Sepertinya, Rain harus mencari tahu.

Dengan hati-hati, Rain mencoba menyentuh Ghio. Dan ia berhasil. Ia mengusap bahu Ghio yang dilapisi hoodie.

Ghio yang disentuh langsung saja mundur. Hal itu membuat Rain terkejut bukan main.

Rain mengangkat kedua tangannya.

"Kenapa kau bisa menyentuhku?" tanya Ghio sambil memegang bahunya. Sama seperti Rain, sosok hantu pria itu juga terlihat terkejut.

Rain mengerjap sesaat. "Aku tidak tahu. Aku tidak melakukan apa pun."

Benar. Kenapa Rain bisa menyentuhnya?

Ghio mendekat ke arah Rain. Ia menjulurkan tangannya dan mencoba menyentuh lengan baju Rain.

Seketika Ghio mundur dengan wajah terkejut. "Kenapa aku bisa menyentuhmu?"

Rain mana tahu. Pertanyaan Ghio ada-ada saja. Lagi pula dia bisa menyentuh barang-barang di dapur. Kenapa dia seolah terkejut begitu?

"Kau pernah menyentuhku. Kau ingat? Kau menolongku saat aku hampir jatuh," kata Rain.

Ghio terlihat berpikir. Seolah mengingat-ingat kembali. "Itu terjadi secara tidak sengaja. Aku tidak sadar."

"Lalu yang ini sadar?" tanya Rain.

Ghio mengangguk.

"Apa kau suka di sentuh?" tanya Ghio.

Pertanyaan itu membuat mata Rain terbelalak. "Apa maksud lo? Lo pikir gue wanita apaan?" Rain berteriak marah. Tanpa sadar kosa katanya juga berubah.

Ghio mundur sedikit. Ia terkejut mendengar omelan Rain. Mata gadis itu melotot.

Ghio menggeleng. "Saat kau mau memberikan ponselmu, maka aku bisa menyentuhnya," kata Ghio. "Tapi, aku tidak yakin. Tapi, sepertinya begitu."

Ekspresi wajah Rain berubah seketika. Ia diam sambil berpikir.

Benar juga. Tadi saja Ghio tidak bisa menyentuh ponselnya. Tapi, ketika Rain memberikan ponsel itu, Ghio bisa menyentuhnya.

Rain seketika ingat dengan makanan kemarin. "Apa kau menghabiskan makanan yang kuberi kemarin?"

Ghio mengangguk.

Rain ikut mengangguk. Jadi begitu? Pantas saja ketika ia meletakkan makanan di meja kemarin, Ghio tidak menyentuhnya. Karena Rain tidak yakin Ghio akan memakannya. Tapi, setelah ia memberinya secara langsung, maka Ghio bisa menyentuhnya.

Jadi maksud Ghio ia suka disentuh itu dalam artian Rain terima saja ketika Ghio berniat menyentuhnya.

"Kalau begitu, coba pegang tanganku," kata Rain sambil menjulurkan tangannya.

Ghio mendekat. Dengan hati-hati, ia mulai mengangkat tangannya. Ia menatap tangan Rain yang diperban. "Tangan mu sakit," kata Ghio seraya menyentuh pergelangan tangan Rain yang diperban.

Rain melebarkan matanya. Ghio benar-benar bisa menyentuhnya. "Kau bisa menyentuhnya, Ghio," kata Rain antusias.

Ghio menatap tangannya yang menyentuh tangan Rain. Senyumnya mengembang seketika. "Benar. Aku bisa melakukannya." Ia mulai menyentuh bagian-bagian lain, lengan baju Rain, rambut Rain, hingga telinga Rain.

Ghio melakukannya dengan antusias.

Rain tersenyum dibuatnya. Astaga! Ghio terlihat seperti kucing yang diberikan mainan. Menggemaskan sekali.

Tangan Ghio terus bergerak. Ia menyentuh hidung Rain dan... pergerakannya berhenti tiba-tiba. Matanya berkedip.

Rain dan Ghio sama-sama berkedip. Hingga tiba-tiba Rain menjauh seraya menutup mulutnya. Hampir saja Ghio menyentuh bibirnya.

"Aku tidak sengaja," kata Ghio sambil melemparkan pandangannya ke arah lain.

Rain akhirnya mengangguk. Lagi pula, Ghio tidak sampai menyentuhnya. Yah, hantu satu ini terlihat antusias. Saking antusiasnya, ia sampai tidak sadar dengan apa yang ia lakukan.

"Tidak apa-apa. Lain kali jangan sembarangan menyentuh. Oke?" kata Rain sambil mengangkat jempolnya.

Ghio mengangguk.

Rain tersenyum senang. Ternyata Ghio yang ia anggap menyeramkan bisa se-menggemaskan ini.

"Ngomong-ngomong. Sudah berapa lama kau tinggal disini?" tanya Rain.

Ghio menggeleng. "Tidak tahu. Sepertinya sudah lama."

Rain mengangguk. "Ah, iya, aku penasaran. Kenapa kau bisa lapar? Memangnya hantu bisa lapar?"

"Hantu?"

Mata Rain mengerjap. "Maksudku. Kau sadarkan, kalau kau itu adalah..." Rain meneguk ludahnya melihat tatapan tajam dari Ghio. Hawa dingin mencekam begitu saja. "Maksudku... Kau itu roh. Kau tahu roh?"

Hawa dingin langsung hilang begitu saja. Ah, cepat sekali perubahannya. Ghio benar-benar bisa mengendalikan hawa dingin itu, seolah dia adalah rajanya.

"Ya. Aku adalah roh. Aku bukan hantu seperti apa kata orang-orang," kata Ghio.

Wajah Rain lempeng seketika. Astaga. Ternyata Ghio tidak sadar kalau ia itu memang hantu.

"Siapa orang-orang yang menyebutmu hantu? Mereka itu gila. Ghio itu adalah roh yang tidak ingat siapa namanya dan siapa keluarganya," kata Rain memperjelas maksud Ghio sambil tersenyum lebar. Tapi senyum itu pudar begitu saja ketika Ghio menundukkan kepalanya.

"Ghio kenapa?" tanya Rain sambil mendekat.

"Keluarga. Aku ingin keluarga. Dimana keluargaku?" kata Ghio lesu.

Rain salah bicara. Astaga, kenapa ia mengungkit keluarga.

Rain langsung mengusap bahu Ghio. "Kau punya keluarga. Tunggu sampai kau mengingatnya," kata Rain.

"Kapan aku akan mengingatnya? Bagaimana kalau aku tidak mengingatnya?"

Rain menggigit bibirnya. Apa yang harus ia lakukan. Saat ini suasana sangat mendung gara-gara Ghio. Rain berpikir mencari cara agar sosok itu terlihat ceria lagi.

"Kalau kau mau, kau bisa menganggap ku sebagai keluarga," kata Rain.

Ghio mengangkat kepalanya. Ia menatap Rain.

Rain yang ditatap seperti itu langsung melemparkan senyumnya. "Aku mau jadi keluargamu. Kau tahu? Seperti aaa... Menjadi temanmu ketika kau kesepian, atau jika kau ingin bercerita kau bisa bercerita kepadaku. Kau bisa mengandalkan ku," ucap Rain.

"Seperti itu?"

Rain mengangguk. "Ya."

"Dan memberiku makan? Aku lapar," kata Ghio polos.

Kata yang tidak terduga itu membuat Rain tertawa.

"Kenapa kau tertawa?"

Rain menggeleng. "Tidak. Tidak ada. Lalu, selama ini kau makan apa?"

Ghio menggeleng. "Aku tidak makan. Itu sebabnya aku lapar."

Rain mengerutkan dahinya. Ghio tidak lagi punya usus dan bagian-bagian lainnya. Ia hanya roh. Lalu, bagaimana ceritanya ia bisa lapar. Apa itu sekedar keinginannya saja? Tapi, kemana makanan yang dimakannya pergi?

Rain tidak sanggup lagi untuk memikirkan itu.

"Baiklah, ayo makan," kata Rain sambil berdiri.

Ghio terlihat senang. Ia ikut berdiri mengikuti Rain dari belakang.

Rain membuka tudung saji. Lantas ia menatap Ghio dengan perasaan bersalah.

"Maaf. Sepertinya aku harus memasak terlebih dahulu."

Ghio mendesah panjang.

"Tidak apa-apa. Hanya menunggu sebentar saja," kata Rain. Ia mulai sibuk mempersiapkan bahan-bahan. Sambil menoleh ke arah Ghio, ia berkata, "kalau kau mau, kau bisa membantuku. Aku mengizinkanmu menyentuhnya."

Ghio tersenyum seketika. "Baiklah."

Rain kembali berbalik. "Aku lupa. Tolong nyalakan lampu sebentar. Aku kesusahan melihatnya."

Dengan satu jentikan, lampu langsung saja menyala.

Mata Rain membola. Rahangnya menganga. "Bagaimana bisa?" tanyanya tak percaya.

"Selagi kau mengizinkan, aku bisa melakukan apa pun," jawab Ghio.

"Darimana kau tahu?"

Ghio menggeleng. "Aku hanya merasa begitu."

Mata Rain berkedip. Jadi, semuanya serba izinnya.

Rain tersenyum miring. Sepertinya ini akan sangat menyenangkan.

"Kalau begitu. Kau bisa membersikan rumah ini dalam satu jentikan jari?" tanya Rain. "Lihatlah rumah ini sangat kotor, belum di sapu sejak tadi pagi."

Ghio menggeleng. "Aku hanya bisa melakukan hal kecil."

Wajah Rain lempeng seketika. "Sudahlah. Aku terlalu berharap."

1
miilieaa
baru beberapa bab baca udah nagih 🤩
♥Kat-Kit♥
Ceritanya seru banget, tapi kalo lama-lama malah mubazir, update dong thor 🙄
H_L: makasih sudah mampir, kak😁 semoga bisa terus updatenya
total 1 replies
MiseryInducing
cerita ini memicu imajinasiku, aku merasa seakan-akan hidup di dunia lain ketika membacanya.
H_L: makasih sudah mampir kak, jangan bosan-bosan ya😁
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!