Sasa, seorang gadis SMA yang tertekan oleh ambisi ayahnya untuknya menjadi dokter, mendapati pelarian dalam persahabatan dengan Algar. Namun, persahabatan mereka berakhir tragis ketika Sasa menyerahkan keperawanannya kepada Algar, yang kemudian menghilang tanpa jejak. Terjebak antara tekanan ayahnya dan rasa kehilangan yang mendalam, Sasa harus mencari cara untuk mengatasi kedua beban tersebut dan menemukan jalan menuju kebahagiaan dan jati dirinya di tengah kesulitan.
Butuh support guys, biar author makin semangat upload-nya
Jangan lupa
* LIKE
* KOMENT
* VOTE
* HADIAH
* FAVORIT
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Melita_emerald, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 8 (Perjalanan menuju puncak)
Sasa sedang asyik menikmati ketenangan setelah hari yang melelahkan di danau. Namun, ketenangan itu segera terpecahkan ketika ponselnya berdering. Dengan cepat, ia mengambilnya dan melihat nama grup di layar—"ini grup kita." Jantungnya berdebar. Ini adalah momen yang ditunggu-tunggu, waktu untuk merencanakan liburan.
Dengan cepat, Sasa menyelesaikan kegiatan pribadinya dan mengangkat telepon. Suara Clara langsung terdengar di telinganya. “Halo, semua! Guys Besok Kita ke Puncak mau nggak!”
“Ya! Ini ide yang bagus,” sahut Awan penuh semangat. “Gue juga udah lama pengen refreshing dari semua kesibukan.”
Andin yang menyambung, “Kita bisa hiking dan menikmati alam. Berapa banyak orang yang bisa ikut?”
Dalam telepon itu, nama-nama seperti Algar, Radit, Aldrin, Sandi, Gilang, dan Bay silih berganti terdengar, masing-masing menambahkan ide dan semangat untuk perjalanan ini.
“Jadi, kita setuju ya? Ke Puncak? Kita bisa berangkat besok pagi,” usul Radit.
“Setuju! Kita bawa makanan dan camilan. Jangan lupa tenda, ya!” Gilang menambahkan, disambut tawa dari semua.
Sasa merasakan energi positif mengalir dalam dirinya. “Kita harus membagi tugas. Siapa yang bawa tenda, siapa yang bawa makanan?” tanyanya, terlibat dalam diskusi.
“Biarkan gue bawa tenda,” kata Algar.
Sasa merasa senang mendengar suara Algar. “Oke, gue bisa bawa camilan. Ada sisa biskuit yang enak di rumah. Siapa yang mau bawa air?”
“Serahkan padaku,” jawab Bay. “gue bisa bawa air minum dan minuman segar lainnya.”
Percakapan itu terus berlanjut, mengalir dengan semangat penuh tawa dan rencana. Mereka membahas setiap detail—mulai dari transportasi, tempat yang akan dikunjungi, hingga aktivitas yang ingin dilakukan. Rasa antusiasme terasa membara di antara mereka. Setelah hampir setengah jam berbincang, mereka sepakat untuk mempersiapkan segala sesuatu dan menutup telepon dengan semangat yang menggebu.
Setelah menutup telepon, Sasa bergegas turun menuju meja makan. Malam itu, hanya Mama dan Papa yang ada di sana, tampak bersiap untuk pergi. Sasa mengambil tempat duduk dan mencoba menyampaikan tentang rencananya untuk pergi ke Puncak, namun sebelum sempat berbicara, Mama sudah memotong dengan berita yang mengejutkan.
“Sasa, Mama harus pergi keluar kota besok. Ada urusan penting,” kata Mama tanpa menatapnya.
Papa pun menambahkan, “Iya, papa juga. Jadi, kamu di rumah sendirian, ya? Kira-kira berapa uang yang kamu butuhkan?”
Sasa yang merasa terkejut dan kecewa, menggerakkan sendoknya di piring. “Terserah saja, Papa. Mungkin seratus ribu cukup.”
“Seratus ribu? Hah, seharusnya lebih dari itu. Kamu butuh cukup untuk jajan di luar juga,” Papa mengerutkan dahi. “Kamu tahu berapa banyak uang yang harus dikeluarkan untuk satu hari.”
“Iya, aku tahu. Tapi aku cuma mau ke Puncak, kok,” Sasa berusaha menjelaskan, meski suaranya mulai terdengar lemah.
Mama menghentikan suapan makannya dan menatap Sasa. “Tapi kamu harus bertanggung jawab, Sasa. Kami tidak bisa terus membiarkanmu bersenang-senang tanpa ada tanggung jawab.”
Sasa menahan napas, merasa hatinya bergetar. “Aku cuma... ingin sedikit waktu untuk bersenang-senang. Aku sudah lelah dengan semua ini.”
Percakapan di meja makan berlanjut, namun Sasa merasa suasana menjadi semakin menegangkan. Akhirnya, setelah sarapan selesai, Sasa meninggalkan meja makan, kembali ke kamarnya. Ia merasakan ketidakpastian menghantuinya tentang perjalanan ke Puncak, tetapi antusiasme bersama teman-temannya membuatnya lebih bersemangat.
Dalam kamarnya, Sasa segera menghubungi temannya Andin dan Clara lagi untuk mempersiapkan semua yang diperlukan untuk perjalanan. “Oke, guys! Apa lagi yang harus kita siapkan?” tanyanya dengan semangat.
“Bawa jaket ya, mungkin di sana dingin,” ujar clara.
“Dan jangan lupa charger untuk ponsel!” seru Andin .
“Baiklah! Gue bawa jaket, camilan, dan charger!” jawab Sasa, merasa senang.
Setelah semua siap, malam itu Sasa merasakan kegembiraan yang tak bisa dijelaskan. Dengan semua rencana yang matang, dia berharap hari itu akan menjadi momen yang menyenangkan bersama teman-temannya.
Keesokan harinya, dengan tas ransel di punggungnya yang penuh dengan perlengkapan, Sasa bergegas keluar rumah. Namun, saat ia membuka pintu, pandangannya tertuju pada jalanan kosong di depan rumah. Keduanya sudah pergi lebih pagi tanpa memberitahunya.
“Papa… Mama…” Sasa berbisik pelan, merasa seolah ditinggalkan dalam kebingungan. Dia menghela napas panjang, berusaha menepis rasa kecewa yang menghantuinya. “Tapi aku harus pergi. Ini untukku.”
Dengan tekad, Sasa berbalik dan melangkah ke luar, bergegas menuju tempat pertemuan dengan teman-temannya. Suara langkah kakinya menciptakan irama semangat, memecah keheningan pagi dan membawanya menuju petualangan baru di Puncak.
Sasa melangkah cepat menuju tempat pertemuan, jantungnya berdegup kencang karena antusiasme. Saat ia mendekati tempat parkir, terlihat teman-temannya sudah menunggu di depan mobil. Wajah mereka ceria dan penuh semangat, seolah semua beban hari-hari sebelumnya sudah terhapus.
“Sa! Akhirnya kamu datang!” teriak Clara dengan senyuman lebar.
“Maaf, aku agak terlambat. Ada sedikit masalah di rumah,” jawab Sasa sambil berusaha menyembunyikan perasaannya.
“Tidak apa-apa! Yang penting kamu sudah di sini,” sahut Awan sambil melambaikan tangan.
Algar, yang sudah berdiri di dekat bagasi, segera menghampiri Sasa. “Biar aku bantu bawa barangmu,” katanya sambil tersenyum.
“Terima kasih, Al,” Sasa menjawab, merasa lega.
Mereka mulai memasukkan tas ransel dan perlengkapan lainnya ke dalam mobil. Suasana terasa hangat dan penuh keceriaan. Saat semua barang sudah masuk, mereka bergegas menuju tempat duduk di dalam mobil.
Setelah semua siap, Andin yang duduk di depan menoleh ke belakang, menatap Sasa dengan serius. “Sa, kamu sudah bilang ke orang tuamu belum tentang rencana ini?” tanyanya, nada suaranya mencerminkan kepedulian.
Sasa menggeleng pelan, “Mereka sudah pergi keluar kota, jadi aku tidak sempat.” Suaranya sedikit bergetar, mencerminkan rasa sedih yang sulit dia sembunyikan.
Mendengar jawaban itu, Andin tidak melanjutkan pertanyaannya. Dia sudah bisa menebak perasaan Sasa, bahwa kepergian orang tuanya membuatnya merasa terabaikan. Andin pun beralih pada percakapan lain, mencoba mengalihkan perhatian Sasa. “Yuk, kita putar musik! Ini perjalanan kita, Sa!”
“Setuju!” seru Bay, yang sudah siap dengan playlist musik yang penuh semangat.
Gilang yang duduk di sebelah Sasa menyalakan musik, dan dalam sekejap, suara ceria dari lagu-lagu favorit mereka memenuhi mobil. Suasana dalam mobil langsung berubah menjadi ceria, dengan semua orang bernyanyi mengikuti alunan musik. Sasa merasakan sedikit kegembiraan mulai mengusir kesedihannya, dan ia ikut bernyanyi bersama.
Algar yang duduk di samping Sasa sesekali menoleh dan tersenyum padanya, seolah mengingatkan Sasa bahwa dia tidak sendirian. “Kita akan punya waktu yang menyenangkan di Puncak, Sa. Lupakan semua masalah, ya!”
Sasa mengangguk, berusaha menampilkan senyum yang tulus meskipun hatinya masih merindukan kehadiran orang tuanya.
“Jadi, rencananya kita langsung ke puncak atau ada tempat lain yang kita singgahi dulu?” tanya Radit, terlihat bersemangat untuk memimpin percakapan.
“Kita bisa berhenti di satu dua tempat untuk foto-foto,” saran Clara. “gue dengar ada pemandangan bagus di tengah jalan.”
“Setuju! Kita harus memanfaatkan waktu ini sebaik-baiknya,” tambah Awan, sambil menari-nari di kursi.
Mereka terus berbincang tentang rencana perjalanan, tertawa, dan berimajinasi tentang petualangan yang akan mereka jalani. Sasa merasa sedikit lebih baik, meskipun dalam hati masih ada rasa sedih.
Saat mobil mulai melaju, Sasa menatap keluar jendela, melihat pemandangan kota yang perlahan-lahan berubah menjadi hutan dan pegunungan. Ia tahu bahwa perjalanan ini adalah kesempatan untuk menemukan kebahagiaan yang ia cari, meskipun langkah pertama selalu terasa berat.
“Semoga di Puncak kita bisa melupakan semuanya dan menikmati waktu bersama,” pikirnya, menyimpan harapan di dalam hati sambil tersenyum pada teman-teman di sampingnya.
Tq All, jangan lupa dukung.
LIKE
KOMENT
VOTE
HADIAH
FAVORIT
#Typo bertebaran
...
..
.
.
.