"Kamu tahu arti namaku?" Ucap Acel saat mereka duduk di pinggir pantai menikmati matahari tenggelam sore itu sembilan tahun yang lalu.
"Langit senja. Akash berarti langit yang menggambarkan keindahan langit senja." jawab Zea yang membuat Acel terkejut tak menyangka kekasihnya itu tahu arti namanya.
"Secinta itukah kamu padaku, sampai sampai kamu mencari arti namaku?"
"Hmm."
Acel tersenyum senang, menyentuh wajah lembut itu dan membelai rambut panjangnya. "Terimakasih karena sudah mencintaiku, sayang. Perjuanganku untuk membuat kamu mencintaiku tidak sia sia."
Air mata menetes dari pelupuk mata Zea kala mengingat kembali masa masa indah itu. Masa yang tidak akan pernah terulang lagi. Masa yang kini hanya menjadi kenangan yang mungkin hanya dirinya sendiri yang mengingatnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RahmaYesi.614, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keindahan langit senja
Lia sangat sibuk hari ini sampai tidak sempat untuk membeli makan siang, sehingga dia meminta bantuan Zea untuk membelikan makan siang dan mengantarnya ke perusahaan tempatnya bekerja. Zea yang tidak begitu sibuk karena Kafe agak sepi hari ini pun dengan senang hati membantu sahabatnya itu.
Zea tiba di lobi R.D grup, dia menanyakan dimana ruangan Lia pada resepsionis.
"Mbak Lia bagian pemasaran ada di lantai empat, mbak."
"Boleh saya ke sana untuk mengantarkan makan siang ini..."
"Maaf, Mbak. Hanya karyawan yang boleh kesana. Kecuali Mbak sudah punya janji."
Zea pun mengangguk paham, kakinya membawanya menjauh dari meja resepsionis itu. Dia pun mencoba menelpon Lia lagi untuk mengabari bahwa dia sudah berada di lobi perusahaan. Sayangnya, lagi lagi Lia tidak menjawab.
"Kirim pesan aja kali." Zea mengirimkan pesan yang mengabarkan kedatangannya.
Brug
"Akh..." bahu Zea disenggol oleh seseorang sehingga membuat hp nya dan hp orang yang menyenggolnya jatuh bersamaan.
Mereka berakhir saling menyenggol, karena berjalan sambil menatap layar hp tanpa memperhatikan jalan di depan mereka.
"Maaf, Bapak..." Ucap Zea sambil mendongak untuk melihat siapa yang menyenggolnya.
"Zea!"
Segera Zea mengalihkan pandangannya, mengambil hp nya dan berdiri hendak melangkah pergi sebelum akhirnya tangannya ditahan oleh Raka.
"Kamu Zea, Kan?"
"Maaf, sepertinya anda salah orang." bantah Zea berusaha menarik tangannya dari cekalan Raka.
"Kamu benaran, Zea." Raka mencoba membuat Zea menghadap padanya, tapi Zea terus memalingkan wajahnya agar tidak terlihat oleh Raka.
"Zea!" Teriak Lia saat melihat sahabatnya itu berurusan dengan CEO nya.
"Pak Raka, maafkan sahabat saya, Pak." Lia menarik Zea menjauh dari Raka yang terpaksa melepaskan pergelangan tangan Zea saat Lia mendekat.
"Sekali lagi maaf, Pak Raka."
Lia langsung menarik Zea ikut dengannya meninggalkan Raka yang masih terperangah tak percaya dengan apa yang dilihatnya barusan.
"Pak Raka, tuan muda Acel menunggu di ruangan Bapak." suara sekretarisnya membangunkannya dari lamunan panjangnya.
Segera dia naik ke lantai enam gedung perusahaanya, dimana Acel telah menunggunya.
"Kak, maaf membuat Kakak menunggu."
"Hmm."
Raka tersenyum senang, ikut duduk di sofa yang berhadapan langsung dengan sepupu yang sangat dia kagumi itu.
"Aku sangat senang mendengar Kak Acel datang ke perusahaanku untuk pertama kalinya. Sungguh aku sangat senang." ungkapnya.
Acel hanya menanggapi ocehan Raka dengan sedikit senyuman.
"Kamu tahu tentang ini, bukan?" tanya Acel to the point menyodorkan berkas hasil penyelidikannya terhadap om nya, Dandi.
Raka tersenyum sambil membaca isi kertas kertas yang diberikan Acel padanya.
"Sepertinya kamu sudah tahu sejak lama."
"Begitulah."
"Tepatnya kapan kamu tahu tentang perbuatan Om Dandi?"
Raka menaruh kembali berkas yang dipegangnya keatas meja, barulah dia menatap lawan bicaranya yang tampak sudah tidak sabar ingin mendengar jawaban darinya.
"Sebenarnya, aku tidak sengaja menemukan fakta ini saat mencoba menyelidiki penggelapan dana proyek yang aku kerjakan tahun lalu. Saat itulah aku menemukan fakta mengejutkan ini."
Mata menyipit dengan dahi yang berkerut, "Lalu, mengapa kamu tidak segera memberitahuku?"
"Ya... semua orang tahu seperti apa hubungan Kakak dengan Om Dandi. Saat itu, aku berpikir meski aku mengatakan fakta ini Kakak tidak akan mempercayai aku. Karena hubungan kita tidak baik sama sekali, bukan?"
Acel terdiam mendengar jawaban Raka yang memang benar adanya. Sejak hari Papanya meninggal dalam kecelakaan mobil sembilan tahun lalu, Acel terus mencurigai Dania lah yang merancang kecelakaan itu karena dia ingin menjadikan Raka sebagai pemilik Sky grup. Terlebih, Kakeknya pun saat itu terang terangan melindungi Dania dan Raka dengan melarang Acel untuk menyelidiki kematian Papanya.
"Lupakan itu semua. Sekarang aku butuh bantuan untuk menyelamatkan Sky grup!"
"Apa yang bisa aku bantu, Kak?"
"Dalam rapat pemilihan pimpinan nanti, bantu aku dengan memberikan suara untukku. Aku benar benar ingin menyelamatkan Sky grup."
Baru kali ini Raka melihat seorang Acel memohon bantuan seperti ini pada orang lain.
"Aku akan melakukan itu meski Kakak tidak meminta bantuanku. Hanya saja, bukankah selama Kakak belum menikah, Sky grup tetap akan jatuh pada tangan Om Dandi?"
Raka mengungkit isi surat wasiat itu lagi dan waktu yang dimiliki Acel menjelang peringatan seratus hari kepergian Kakeknya pun sudah sangat dekat.
"Aku akan membantu Kakak mengungkap kejahatan Om Dandi. Aku pastikan semuanya terungkap dalam waktu dekat."
"Maaf menyela. Tapi, tuan besar Dandi sangat licik dan rapi, kejahatan tidak semudah itu untuk diungkap. Bukti yang kita miliki belum bisa dipastikan dapat membuat semua dewan pemegang saham percaya, mengingat seperti apa hubungan mereka dengan tuan besar Dandi." tutur Lui memberikan pendapatnya yang diangguki oleh Raka dan Acel.
Pembicaraan itu terhenti, Acel pun memutuskan untuk meninggalkan perusahaan Raka dengan keadaan tidak baik. Pikirannya dipenuhi dengan keinginan untuk mengungkap kejahatan Dandi, tapi bukti belum memadai.
"Telpon Boby, minta dia menyelidiki anak anak buah Om Dandi."
"Baik, Tuan muda."
Langkah Acel begitu tegas, membuat perhatian karyawan yang berada di lobi menatap kagum padanya. Sedangkan Lui, mengekor dibelakangnya sambil menelpon. Saat bersamaan, Zea yang baru keluar dari lift di lobi pun menatap kearah pria yang tidak dia sangka sangka akan dilihatnya di tempat ini.
"Kak Acel!" serunya sambil menutup mulutnya dengan tangannya sendiri sebelum akhirnya dia berbalik arah, memunggungi Acel yang tidak sengaja menatap kearahnya.
Langkah kaki Acel berhenti, pandangannya begitu tajam menatap punggung Zea. Dia memperhatikan punggung itu dari ujung kaki hingga kepala, kemudian dia menggeleng dan melanjutkan langkahnya. Lui yang menyadari itu ikut menatap kearah yang sama dan dia terkejut saat melihat Zea berdiri mematung di depan lift. Lui tentu mengenali itu Zea, dari tas sandangnya. Tas sandang yang sama saat dirinya mengajak Zea bicara malam itu.
.
.
.
Zea duduk melamun di balkon apartemen Lia, membayangkan wajah yang sangat dirindunya itu bisa kembali dilihatnya meski hanya beberapa detik saja. Memandang langit senja bahkan jauh lebih lama dari menatap wajah itu.
"Kamu tahu arti namaku?" Ucap Acel saat mereka duduk di pinggir pantai menikmati matahari tenggelam sore itu sembilan tahun yang lalu.
"Langit senja. Akash berarti langit yang menggambarkan keindahan langit senja." jawab Zea yang membuat Akash terkejut tak menyangka kekasihnya itu tahu arti namanya.
"Secinta itukah kamu padaku, sampai sampai kamu mencari arti namaku?"
"Hmm."
Acel tersenyum senang, menyentuh wajah lembut itu dan membelai rambut panjangnya. "Terimakasih karena sudah mencintaiku, sayang. Perjuanganku untuk membuat kamu mencintaiku tidak sia sia."
Air mata menetes dari pelupuk mata Zea kala mengingat kembali masa masa indah itu. Masa yang tidak akan pernah terulang lagi. Masa yang kini hanya menjadi kenangan yang mungkin hanya dirinya sendiri yang mengingatnya.