Narecha memilih untuk melarikan diri dari kehidupannya penuh akan kebohongan dan penderitaan
Lima tahun berselang, Narecha terpaksa kembali pada kehidupan sebelumnya, meninggalkan berjuta kenangan indah yang dia ukir ditempat barunya.
Apakah Narecha sanggup bertahan dengan kehidupannya yang penuh dengan intrik?
Di tengah masalah besar yang terjadi padanya, datang laki-laki dari masa lalunya yang memaksa masuk lagi dalam kehidupannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ssintia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terkejut
...••••...
Dari sekian banyaknya hal yang menimpa dirinya, tidak pernah sekalipun Echa larut memikirkannya sampai berhari-hari.
Seperti kejadian kemarin di mana dirinya pulang ke rumah orangtuanya tanpa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilayangkan padanya.
Echa hanya diam seribu bahasa tanpa menyanggah ataupun menghindar dari lontaran lontaran pedas yang keluar dari mulut wanita yang telah melahirkannya.
Terlalu sering mendapatkan hal-hal semacam itu membuat telinga Echa rasanya sudah kebas mendengarnya.
Sedangkan dari sang ayah, Echa mendapat oleh-oleh di keningnya yang kini terlihat lebam cukup besar.
Dan dia sudah melupakan kejadian kemarin, seolah kejadian itu hanya rangkaian rangakaian dalam kesehariannya yang memang harus dilewati seperti biasanya.
Echa yang bingung bagaimana cara menutupi lebam itu berakhir dengan mengorbankan rambut panjangnya yang kini terdapat poni guna menutupi keningnya.
Tidak mungkin juga kan Echa datang ke sekolah dengan luka seperti itu, akan banyak pertanyaan juga persepsi terhadapnya nanti. Dan Echa tidak ingin hal itu terjadi.
Seperti biasa, setelah selesai mengajar Echa menunggu bus di halte bersama orang-orang yang akan pulang sepertinya dirinya setelah berbagai macam aktivitas yang dilakukan.
Hingga mobil yang dia kenali pemiliknya berhenti didepannya membuat Echa menghela nafas kasar.
Untuk apa lagi sebenarnya Pram menghampirinya.
Benar saja, Pram keluar dari mobil dengan setelah formal seperti biasanya. Sepertinya juga pria itu baru pulang dari kantor jika dilihat dari kerah kemejanya yang terlihat sudah kusut dengan dasi yang sudah menghilang.
"Masuk ke mobil," Pram berdiri di depan Echa yang duduk di kursi panjang.
"Mau kemana mas?" tentu saja Echa bingung dengan Pram yang tiba-tiba muncul dan menyuruhnya untuk masuk ke dalam mobil pria itu.
"Masuk saja Narecha." Pram menekan setiap kalimat yang keluar dari mulutnya membuat Echa semakin bingung.
"Tapi-"
"Cepat masuk." Belum sempat Echa menyelesaikan perkataannya, Pram terlebih dahulu memotongnya membuat bibir Echa kembali terkatup.
Dengan terpaksa Echa berdiri dan dengan langkah gontai dia memasuki mobil Pram.
Bau khas pria itu langsung menusuk indra penciumannya Echa. Bau yang sama seperti dulu. Begitu memabukkan juga menggoda.
Pram masuk dan duduk disampingnya membuat hawa di sekitar Echa terasa menyesakkan hingga rasa-rasanya membuat Echa kesulitan untuk bernafas.
Reaksi tubuhnya lebih terasa berlebihan bertemu dengan Pram daripada dengan orangtuanya.
Pram itu sungguh berbahaya.
Sepanjang perjalanan, tidak ada satu patah kata pun yang keluar dari mulut keduanya.
Echa yang tidak berniat untuk bersuara dan Pram yang fokus pada jalanan yang dilalui. Kedua tangannya yang mencengkram stir begitu erat hingga memperlihatkan urat-urat yang menonjol.
Dan semua itu tidak luput dari pandangan Echa yang diam-diam curi pandang.
Entah kemana dirinya akan dibawa, Echa tidak bisa menebak-nebaknya. Pun, Pram yang tidak mengeluarkan lagi kalimat dari mulutnya membuat Echa segan untuk bertanya meskipun dirinya ingin.
Ketika memasuki sebuah kompleks perumahan dengan rumah-rumah mewah, Echa semakin dibuat kebingungan. Rasa penasaran yang dirasakannya semakin besar. Akhirnya Echa bertanya juga.
"Mas, sebenarnya aku mau dibawa kemana?" Echa memberanikan dirinya untuk menatap Pram yang masih fokus dengan pandangan ke depan.
Pram tidak menjawab pertanyaan Echa membuat wanita itu tidak lagi ingin bertanya. Percuma.
Lalu tidak lama kemudian mobil berhenti di depan sebuah rumah mewah yang terlihat berbeda dari yang lainnya. Rumah dengan gaya klasik yang didominasi hitam dan abu itu berdiri dengan sombongnya.
Bahkan Echa rasa jika rumah di depannya sedikit lebih luas dari rumah kedua orangtuanya.
Pertanyaannya adalah, rumah siapakah yang berada di depannya ini?
"Keluar," saking terpaku nya Echa sampai-sampai tidak menyadari jika pintu di sampingnya sudah dibukakan oleh Pram.
Echa keluar dan pandangannya langsung menyebar ke segala penjuru depan rumah. Echa tidak bisa untuk tidak terkagum-kagum melihat keseluruhan rumah.
Dalam pikirannya Echa terdapat banyak pertanyaan. Mengapa rumah ini seperti rumah yang begitu diinginkannya jika kelak Echa memiliki uang untuk membangunnya.
Tidak ingin terlalu larut lagi dengan pikirannya, Echa mengikuti langkah Pram yang sudah berjalan memasuki rumah.
Begitu pintu rumah dibuka, Echa langsung disuguhi sebuah ruangan dengan sofa-sofa panjang yang tertata dengan rapi seperti ruangan santai atau juga ruangan tempat menerima tamu.
Belum sempat Echa selesai melihat-lihat, tiba-tiba tubuhnya kaku juga rasanya Echa lupa caranya untuk bernafas ketika sebuah benda kenyal menempel di bibirnya.
Kedua tangan Echa naik di udara dengan terkepal. Setelah kesadarannya perlahan kembali, Echa mencoba melepaskan Pram yang kini mulai menggerakkan bibirnya dengan begitu menggebu-gebu membuat Echa semakin ketakutan.
Sebenarnya apa yang tengah Pram lakukan.
Echa takut pasangan Pram akan tahu apa yang tengah dilakukan pria itu padanya.
Echa mencoba mendorong bahu Pram dan memukulinya. Untuk bibirnya sendiri Echa begitu sulit melepaskannya karena Pram menghisapnya dengan begitu kuat seolah tidak mengizinkan untuk Echa melepaskannya.
Karena semakin bingung dan juga takut, Echa terpaksa mengigit bibir Pram kuat hingga bibirnya terlepas.
Echa bernafas lega, dia mundur beberapa langkah dengan tatapan horor yang dia tujukan pada Pram yang menatapnya dengan pandangan yang tidak bisa Echa jabarkan apa maksudnya.
"Mas, apa yang kamu lakukan?" Echa bertanya dengan suara yang tercekat.
Masih tidak ada kalimat yang keluar dari mulut Pram untuk menjelaskan hal yang terjadi tadi membuat Echa menjerit.
"MAS!"
"Diam Narecha, kalau kamu tidak ingin menyesal." Echa semakin menatap Pram dengan tidak percaya.
Sorot yang kini pria itu tunjukkan begitu menakutkan. Antara amarah dan gairah menyatu.
Echa bukan wanita bodoh yang tidak mengerti maksud tatapan Pram yang kini pria itu layangkan terhadapnya.
Sebenarnya ada apa dengan Pram.
"Mas, tadi itu kesalahan, kita itu keluarga mas,"
"Saya bilang diam Narecha." Pram membuka jas yang dikenakannya lalu melemparkannya pada sofa membuat Echa semakin memundurkan langkahnya.
"Aku akan melupakan hal tadi, ciuman itu hanya kesalahan, mas lagi engga fokus, aku mengerti itu," Echa berdiri dengan was-was ketika Pram kini melihatnya dengan tatapan tajamnya.
"Aku, aku mau pulang mas. Aku akan lupakan ciuman tadi, mas tenang aja. Dan aku bisa pastikan aku ngga akan buka mulut sama istri mas."
Belum sempat Echa pergi, tangannya terlebih dahulu ditarik dan tubuhnya dihempaskan ke sofa lalu Pram kembali memagut bibirnya.
Kali ini lebih paksa dan juga kasar dari sebelumnya. Sungguh, Echa begitu ketakutan.
Meskipun Echa memiliki perasaan pada Pram, tapi dia tidak menginginkan hal ini terjadi. Terlebih saat ini status Pram sebagai suami seseorang membuatnya merasa begitu bersalah.
Echa bukan wanita jahat yang akan merebut seseorang yang dia cintai dari pasangannya. Justru, Echa akan mendukung orang itu agar hidupnya bahagia bersama pasangannya meskipun hatinya yang menjadi korban.
Echa tidak masalah akan hal itu.
Dan sepertinya saat ini Pram sedang dalam kondisi tidak sadar dengan apa yang dilakukannya. Bisa saja pria itu menganggap dirinya sebagai istrinya.
Setidaknya hal itulah yang berada dalam pikiran Echa.
Echa kembali mencoba menyingkirkan Pram dari atas tubuhnya. Tapi pria itu seperti batu yang tidak terpengaruh sedikitpun oleh pukulan juga dorongannya.
Pram terus melumat, menghisap dan memaksa melesakkan lidahnya ke dalam mulut Echa guna mengeksplorasi seluruh isi mulutnya membuat pikiran Echa rasanya semakin terkikis.
......••••......