Ketika cinta harus terpatahkan oleh maut, hati Ryan dipenuhi oleh rasa kalut. Dia baru menyadari perasaannya dan merasa menyesal setelah kehilangan kekasihnya. Ryan pun membuat permohonan, andai semuanya bisa terulang ....
Keajaiban pun berlaku. Sebuah kecelakaan membuat lelaki itu bisa kembali ke masa lalu. Seperti dejavu, lalu Ryan berpikir jika dirinya harus melakukan sesuatu. Mungkin dia bisa mengubah takdir kematian kekasihnya itu.
Akan tetapi, hal itu tak semudah membalikkan telapak tangan, lalu bagaimanakah kisah perjuangan Ryan untuk mengubah keadaan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon amih_amy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8. Bertetangga
...----------------...
Waktu menunjukkan pukul 17.00 WIB. Rara dan Mita baru turun dari angkutan umum di depan gang rumahnya.
"Aaargh ... kalau tiap hari pulang jam segini, bisa gempor badan gue. Belajar aja udah kayak kerja rodi. Gila bener!" geram Mita memasang wajah kesal. Rambutnya terlihat berantakan dengan diikat tali rambut yang dibiarkan merosot sebagian.
"Namanya juga kelas tiga. Terima aja nasib kalau memang lo mau lulus tahun ini." Tidak seperti temannya, Rara malah bersikap biasa saja. Seolah belajar adalah hal yang tidak membosankan baginya. Padahal, perempuan itu memang lebih suka berkeliaran di luar rumah.
Keduanya berjalan berdampingan di tengah jalan. Beruntung jalan gang tersebut sedang lengang sehingga mereka bisa bebas berjalan dengan santai. Hingga terdengar suara seekor kucing membuat atensi keduanya teralihkan.
"Lo denger suara kucing, nggak?" tanya Rara yang pertama menghentikan langkah.
"Denger." Mita pun berhenti juga. Ia menajamkan pendengarannya untuk memastikan suara itu berasal dari mana, "suaranya dari sini, Ra," imbuh Mita ketika berhasil menemukan asal suara. Di dasar got pinggir jalan, ada anak kucing yang terjebak dan tidak bisa keluar.
Rara pun bergegas mendekati Mita lalu berjongkok mendekati anak kucing tersebut. Anak kucing berbulu warna abu-abu itu memasang wajah sendu. Rara yang pecinta binatang sudah tentu merasa kasihan dengan kucing itu.
"Kasian banget, sih, kamu." Tanpa rasa jijik, Rara langsung meraih anak kucing tersebut dan mengamankannya ke bahu jalan. "Lo punya saputangan, nggak?" tanyanya kepada Mita sambil mendongakkan kepala.
"Nggak punya."
Rara berpikir sejenak, kemudian memeriksa ranselnya. Di dalam sana, dia mendapatkan selembar kain berwarna merah putih bekas latihan pramuka. "Untung belum gue cuci," cicitnya sambil tersenyum.
Tanpa pikir panjang, Rara langsung menyelimuti anak kucing tersebut dengan kain tadi, lalu menggendongnya tanpa rasa geli. "Duh, kakinya luka, Mit," seru Rara ketika melihat luka di kaki kucing tersebut. Mita pun menatap iba.
"Mau dibawa pulang? Bukannya ibu lo nggak suka kucing?" tanya Mita yang sejenak bergeming dengan kelakuan sahabatnya.
"Itu, sih, urusan belakangan. Yang penting kaki kucing ini harus diobati dulu. Kasian tahu!" Rara berkata sambil berjalan meninggalkan sahabatnya. Di tangannya sudah meringkuk kucing kecil yang hendak dibawa pulang ke rumah.
Selain setuju Mita bisa apa. Dia tahu betul jika temannya itu sudah bertekad, maka tidak ada seorang pun yang bisa menolak.
Beberapa saat berjalan, mereka pun tiba di depan rumah Rara. Kedua sahabat itu pun berpisah di sana. Mita melanjutkan kembali perjalanannya.
Di depan rumah, Rara celingukan ke sana ke mari untuk melihat situasi. Tentu saja mencari sang ibu yang tidak akan suka jika Rara membawa seekor kucing. Namun, ketika menurut gadis itu aman karena tidak ada orang, seseorang membuatnya terkejut karena menyapanya dari belakang.
"Hai, kita ketemu lagi."
Rara yang terkesiap langsung menoleh ke asal suara. Namun, gadis itu harus terkesiap untuk kedua kalinya ketika melihat orang yang menyapa.
"Lo? Kenapa lo ada di sini?"
Tubuh Rara sampai mundur beberapa langkah hingga terbentur pintu saking tidak percaya dengan siapa dia berbicara. Laki-laki yang sudah mengacaukan acara perlombaannya kini tengah berdiri di depan rumah sambil membawa secangkir teh di tangannya.
*****
"Aku mau pindah rumah." Ryan tengah berbicara dengan Dania lewat panggilan telepon sambil berkendara di bawah sinar mentari terik di tengah hari yang cerah.
[Kenapa? Bukannya sebulan yang lalu kamu baru pindah dari rumah Mbak?]
"Aku nggak betah di sana, tapi tenang aja. Aku udah nemu rumah kontrakan yang cocok buat aku," ucap Ryan sambil membelok setir kemudinya ke arah kanan. Sebentar lagi mobilnya akan sampai di tempat tujuan.
[Kamu itu gimana, sih? Rumah itu udah Mbak bayar selama setahun full. Kalau nggak betah kenapa nggak bilang dari awal?]
Ryan berdesis karena suara Dania begitu memekakkan telinga. Handsfree yang dia gunakan tidak bisa dijauhkan secara refleks. Alhasil, suara itu membuat gendang telinganya hampir pecah .
"Eh, tolong diralat, ya. Bukan Mbak yang bayar, tapi papa aku." Ryan meralat ucapan Dania dengan angkuhnya. Helaan napas kasar pun terdengar di seberang sana. Dania pasti kesal menghadapi sikap Ryan yang seperti tidak punya etika.
[Iya, Mbak tahu. Tapi kamu juga nggak bisa seenaknya gitu. Sayang uangnya kan kalau kamu pindah sekarang.]
"Tinggal diambil lagi, kan, gampang?"
[Gampang kepalamu! Deposit yang sudah masuk nggak bisa dikembalikan. Itu udah tertera di surat kontrak rumahnya. Apa kamu lupa?]
Sentakan Dania lagi-lagi membuat telinga Ryan berdengung kencang. Kepalanya pun jadi terasa nyut-nyutan.
"Ya udah, sih, ikhlasin aja." Ryan tidak peduli. Kini mobilnya sudah sampai di rumah kontrakan yang baru. Lelaki itu pun lantas memarkirkan mobilnya di halaman rumah tersebut.
[Kamu emang bener-bener, ya! Nggak pernah bisa dewasa. Pokoknya Mbak nggak setuju. Kalau kamu mau pindah, kamu pindah lagi ke rumah Mbak aja!]
"Big no! Selama si Ardan masih tinggal di sana, aku nggak mau tinggal di rumah itu." Ryan menolak keras. Ardan adalah anak Dania yang baru berusia 10 tahun. Anak itu memang sedikit nakal dan sering mengganggu Ryan. Namun, mana mungkin Dania mengusir anaknya sendiri lalu memilih sepupunya yang kurang ajar.
[Tapi Yan, nanti Mbak harus ngasih alasan apa sama papa kamu kalau dia tahu. Kamu itu masih perlu diawasi. Mbak sengaja milih rumah itu karena jaraknya nggak begitu jauh. Kamu tahu sendiri orang tua kamu posesifnya kayak apa. Nanti kalau kamu salah pergaulan gimana?]
"Udah, Mbak tenang aja. Aku bisa jaga diri, kok. Ada misi yang harus aku lakukan sekarang. Ini menyangkut masa depan aku, Mbak. Mbak jangan bilang sama papa kalau aku pindah rumah. Oke!"
[Misi apa? Jangan ngelakuin hal yang aneh-aneh, ya!]
"Nggak aneh, kok. Udah, ya. Aku udah sampai, nih, di rumah kontrakan baru. Tenang aja, nanti aku kasih tahu alamatnya," ucap Ryan sebelum panggilan telepon itu dimatikan sepihak olehnya. Lelaki jangkung itu pun keluar dari mobil untuk menyapa si empunya rumah yang sudah menunggu di luar sana.
Sungguh tidak terbayang bagaimana perasaan Dania diperlakukan seperti itu oleh sepupunya sendiri. Ryan benar-benar saudara yang tidak punya hati nurani. Seenaknya saja dia membuat keputusan seperti ini.
Tadi pagi, Ryan melihat ada yang sedang pindahan keluar dari gerbang rumah Rara. Awalnya Ryan menyangka jika yang pindahan itu adalah keluarga kekasihnya. Namun ternyata, yang pindahan adalah tetangganya. Lebih tepatnya, orang yang mengontrak di samping rumah Rara.
Rumah kosong yang ditinggali oleh kakek dan nenek Rara sebelum mereka meninggal dunia. Rumah itu memang sengaja dikontrakan semenjak setahun yang lalu karena mubazir tidak terpakai. Rumahnya menempel dengan rumah Rara sehingga mereka hanya mempunyai satu akses gerbang masuk yang sama.
"Selamat datang, Nak Ryan. Wah, cepet banget kemas barang-barangnya." Itu adalah suara Salma—ibunya Rara yang menyapa. Di sampingnya ada Aji—ayahnya Rara, dan Rendi—si bungsu. Mereka ikut menyambut penghuni baru rumah kontrakan itu.
"Terima kasih, Bu, Pak. Saya memang lagi urgent cari kontrakan. Lagipula barang-barang saya nggak banyak. Jadi cepet balik lagi."
Tentu saja itu hanyalah alasan Ryan. Bagaimana bisa dia mengatakan urgent mencari kontrakan padahal yang sebelumnya sudah setahun full dibayar. Lelaki tampan itu tidak mau menyia-nyiakan kesempatan. Mungkin itu adalah jalan Tuhan agar dirinya bisa lebih dekat dengan sang pujaan.
Sebelum Ryan terdampar di tahun 2021, penghuni rumah kontrakan itu adalah seorang ibu beranak satu. Ryan tidak tahu jika mereka baru pindah di tahun itu. Lalu sekarang Ryan mengubah keadaan dengan menggagalkan potensi si ibu untuk menghuni rumah itu.
"Nggak usah formal gitu, lah, ngomongnya. Biasa aja seperti keluarga," ucap Aji ikut menimpali. Keluarga itu terlihat ramah sekali.
"Oh, iya, Pak. Say—eh, aku pasti betah tinggal di sini." Tentu saja Ryan akan betah. Dengan begitu, rencananya untuk mengubah takdir Rara akan menjadi lebih mudah.
Begitulah alasan kenapa Ryan bisa berada di depan rumah Rara sambil membawa secangkir teh di tangannya. Seolah dia adalah penghuni rumah tersebut, tetapi memang begitu kenyataannya. Kini, Rara harus terbiasa dengan keberadaan Ryan karena sekarang mereka bertetangga.
...----------------...
To be continued ....