Namaku Delisa, tapi orang-orang menyebutku dengan sebutan pelakor hanya karena aku berpacaran dengan seseorang yang aku sama sekali tidak tahu bahwa orang itu telah mempunyai pacar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vina Melani Sekar Asih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Seminggu setelah Delisa dan Azka berkomitmen untuk lebih terbuka dalam menjalani hubungan mereka, suasana di sekolah tetap saja penuh dengan rumor dan gosip. Meski Delisa berusaha tidak mempedulikan omongan orang, dia merasa bahwa setiap langkah yang ia ambil selalu diawasi. Begitu banyak teman-temannya yang berusaha mencari tahu lebih jauh tentang hubungannya dengan Azka, membuat Delisa dan Azka harus lebih berhati-hati dalam berinteraksi di depan umum.
Di sisi lain, Caca, sahabat setia Delisa, terus mendukung dan menjadi penguat bagi Delisa. Ia paham benar betapa Delisa sudah berusaha keras untuk bisa lebih terbuka dan jujur pada perasaannya, meskipun hal itu tidak mudah. Namun, dengan kehadiran Caca yang setia di sampingnya, Delisa merasa sedikit lebih kuat.
Suatu pagi, Caca mengajak Delisa ke kafe kecil di dekat sekolah sepulang mereka dari latihan ekskul. Mereka memesan minuman dan duduk di sudut yang cukup tenang.
“Del, gimana kabarnya kamu sama Azka sekarang?” tanya Caca, sambil menatap Delisa dengan ekspresi penuh perhatian.
Delisa menghela napas dan tersenyum kecil. “Kami baik-baik aja, Ca. Walaupun aku nggak bisa bilang kalau semuanya mudah. Kadang masih suka ada gosip yang bikin hati aku terganggu, tapi aku berusaha buat nggak ambil pusing.”
Caca mengangguk pelan, mendukung keputusannya. “Kamu tahu, Del, aku bangga banget sama kamu. Kamu udah lebih kuat dari yang kamu kira. Meski gosip-gosip itu nggak pernah hilang, kamu bisa tetap berdiri teguh. Itu udah luar biasa.”
Delisa tersenyum, merasa bersyukur memiliki sahabat yang selalu mendukungnya. “Makasih, Ca. Aku nggak akan sampai di titik ini kalau nggak ada kamu yang terus dukung dan selalu ada di sisiku.”
Caca tersenyum dan merangkul Delisa, menepuk bahunya untuk memberi semangat. Mereka melanjutkan obrolan mereka hingga sore tiba, dan keduanya merasa sedikit lebih lega dengan percakapan tersebut. Setelah cukup lama mengobrol, mereka memutuskan untuk kembali ke rumah.
...****************...
Sementara itu, di tempat lain, Azka sedang berkumpul dengan teman-temannya. Ia mendengar bahwa rumor tentang hubungan mereka masih saja ramai dibicarakan di sekolah. Meskipun Azka berusaha untuk bersikap santai, ia tak bisa menutupi kekhawatirannya. Dalam hatinya, ia takut bahwa semua gosip ini bisa membuat Delisa kembali meragukan hubungan mereka.
"Azka, denger-denger kamu sama Delisa masih jalan, ya?” tanya salah satu temannya dengan nada bercanda.
Azka hanya mengangguk sambil tersenyum tipis. “Iya, kami baik-baik aja kok. Emang kenapa?”
Temannya tertawa kecil dan menepuk bahu Azka. “Nggak apa-apa, cuma kaget aja. Soalnya kemarin denger kamu udah putus. Tapi kalau memang kalian masih bareng, aku ikut seneng.”
Azka menanggapi dengan senyum tenang, berusaha menghindari topik tersebut agar tidak semakin banyak gosip yang beredar. Meskipun ia merasa kesal dengan gosip-gosip yang tak ada habisnya, Azka memilih untuk menahan diri dan tidak terpancing oleh perkataan orang lain.
...****************...
Beberapa hari kemudian, situasi mulai membaik. Gosip mengenai Delisa dan Azka perlahan-lahan mulai mereda, dan Delisa merasa sedikit lega. Meskipun tidak semuanya berhenti, setidaknya ia bisa menjalani harinya dengan lebih tenang tanpa harus mendengar bisik-bisik di belakangnya.
Namun, suasana tenang ini tidak berlangsung lama. Pada suatu siang, saat Delisa sedang berada di kantin bersama Caca, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki yang mendekat ke arah mereka. Delisa dan Caca menoleh dan melihat Putri, mantan Azka, yang tiba-tiba datang dan berdiri di depan mereka.
“Hei, Delisa,” sapa Putri dengan nada yang terdengar ramah, namun ada sedikit nada sinis yang tersirat di balik suaranya.
Delisa mengerutkan kening, merasa canggung dengan kehadiran Putri yang tiba-tiba. “Hai, Putri. Ada apa?” tanyanya dengan hati-hati.
Putri tersenyum tipis dan duduk di bangku sebelah mereka, tanpa diundang. “Aku cuma mau ngobrol sebentar. Tentang Azka.”
Delisa mulai merasa tidak nyaman. Ia menatap Caca sejenak, yang juga terlihat bingung. “Ngomong apa?” tanyanya pelan.
Putri menatap Delisa dengan tajam. “Aku tahu kamu lagi dekat sama Azka, tapi aku cuma mau kasih tahu sesuatu yang mungkin kamu belum tahu. Aku dan Azka belum benar-benar putus. Kami cuma lagi berjauhan.”
Mendengar perkataan itu, Delisa merasa jantungnya berdegup kencang. “Apa maksud kamu?” tanyanya, mencoba tetap tenang meskipun hatinya mulai dipenuhi rasa gelisah.
Putri melanjutkan dengan ekspresi percaya diri. “Aku dan Azka punya sejarah yang cukup panjang, Delisa. Hubungan jarak jauh kami memang sempat ada masalah, tapi itu bukan berarti aku udah sepenuhnya kehilangan dia. Aku cuma mau kamu tahu kalau aku masih punya perasaan sama dia, dan aku yakin Azka juga masih merasa hal yang sama.”
Caca yang sejak tadi diam mendengarkan mulai merasa terganggu dengan sikap Putri. Ia berusaha menenangkan Delisa, namun Delisa terlihat terpukul dengan perkataan Putri.
“Aku cuma nggak mau kamu terlalu berharap, Delisa. Aku nggak mau kamu tersakiti nantinya,” lanjut Putri dengan nada manipulatif.
Delisa menggenggam erat tangan Caca, merasa hatinya mulai dipenuhi keraguan dan ketakutan. Meskipun ia tahu bahwa Azka sudah berusaha meyakinkannya, perkataan Putri telah menggoyahkan kepercayaannya.
Setelah itu, Putri pergi meninggalkan mereka, meninggalkan Delisa yang masih terdiam dengan pikiran yang berkecamuk. Caca merangkul bahunya, berusaha menghiburnya. “Del, jangan dengarkan dia. Kamu tahu Azka sayang sama kamu.”
Delisa menghela napas berat. “Aku nggak tahu, Ca. Aku nggak ngerti lagi. Kenapa semua ini harus begitu sulit?”
Caca mengusap punggung Delisa, mencoba menenangkannya. “Putri cuma iri sama kamu, Del. Dia tahu kalau Azka bahagia sama kamu, dan dia nggak suka itu. Dia sengaja mau bikin kamu ragu.”
Namun, Delisa hanya diam, terlalu tenggelam dalam pikirannya sendiri. Meskipun ia ingin percaya pada kata-kata Caca, hatinya masih merasa bimbang dan takut terluka lagi.
...****************...
Sementara itu, Azka merasakan ada yang aneh dengan sikap Delisa. Sejak kejadian di kantin, Delisa mulai menjauh dan sulit dihubungi. Azka mencoba menghubungi Delisa berkali-kali, namun pesannya hanya dibaca tanpa balasan. Merasa ada sesuatu yang tidak beres, ia akhirnya menemui Caca untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
“Ca, ada apa sama Del? Dia nggak mau jawab pesanku,” tanya Azka dengan nada cemas.
Caca menghela napas dan menjelaskan tentang pertemuan mereka dengan Putri di kantin, serta bagaimana Putri berusaha menggoyahkan kepercayaan Delisa.
“Azka, Putri bilang ke Del kalau kalian belum putus,” kata Caca, menatap Azka dengan serius. “Aku tahu ini nggak benar, tapi Delisa jadi ragu karena itu.”
Azka menggelengkan kepala dengan ekspresi frustrasi. “Putri memang sengaja cari masalah. Aku udah bilang ke Del kalau aku sama dia udah nggak ada hubungan lagi. Aku cuma sayang sama Del, Ca.”
Caca menatap Azka, mencoba memikirkan cara untuk membantu. “Kalau begitu, kamu harus tunjukkan ke Delisa kalau kamu serius sama dia, Azka. Buktikan kalau semua yang Putri bilang itu cuma omong kosong.”
Azka mengangguk, tekadnya semakin bulat. Ia tidak akan membiarkan Delisa tersakiti oleh kebohongan Putri. Ia harus membuat Delisa percaya padanya dan mengakhiri semua keraguan yang ada.
...****************...
Azka mulai merencanakan cara untuk membuat Delisa yakin bahwa hubungan mereka adalah hal yang nyata dan serius. Ia menulis surat yang penuh dengan kata-kata tulus, berisi penjelasan tentang perasaannya yang sebenarnya dan keyakinannya untuk tetap bersama Delisa. Surat itu ia letakkan di meja Delisa keesokan harinya, berharap bahwa kata-katanya akan menghapus segala keraguan di hati Delisa.
Ketika Delisa menerima surat itu, ia merasa hatinya sedikit lebih tenang. Ia membaca setiap kata dengan hati-hati, merasa bahwa kejujuran Azka benar-benar tulus. Namun, bayang-bayang kata-kata Putri masih menggantung di benaknya.