Kisah sebuah pertemanan yang berawal manis hingga renggang dan berakhir dengan saling berdamai. Pertemanan yang salah satu diantara keduanya menaruh bumbu rasa itu terjadi tarik ulur. Sampai memakan banyak kesalahpahaman. Lantas, bagaimanakah kisah selanjutnya tentang mereka? apakah keduanya akan berakhir hanya masing-masing atau asing?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zennatyas21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8. Pertandingan
Pada jam 2 sore pertandingan basket antara kelas IPA 3 dengan kelasnya Langit dimulai di lapangan basket sekolahan.
Tepat saat akan bertanding, Langit juga di temani oleh Adhara. Tak lupa juga dengan Davin, Rangga, Gleen, dan Edgar juga di temani oleh masing masing pacar mereka. Hehehe.
"Langit!" teriak Adhara melambaikan tangan kepada Langit yang sudah berada di tengah lapangan.
Langit malah menghampiri Adhara, "Jangan terlalu deket sama lapangan, nanti kena bola." ujarnya menarik tangan gadis itu.
Gadis tersebut cemberut kesal, "Terserah gue dong!" ketusnya bersidekap.
Tiba-tiba ada bola melambung yang melesat ke arah Adhara, Langit segera melindungi gadis seorang penulis itu.
Shh ...
Bug!
Adhara merasa tidak sakit saat jelas di matanya bola basket dari Edgar melambung ke arahnya. "Di bilangin ngeyel terus." ucap Langit dengan suara serius.
"Ya maaf ..." jawab Dhara kalem.
"Yaudah, nonton di situ aja. Jangan di sini," perintah lelaki itu tak ingin Adhara celaka.
Adhara mengangguk paham, "Ketos posesif!" cibirnya berlari menuju tempat menonton basket.
Langit memperhatikan langkah gadis tersebut sampai ia di panggil oleh Edgar. "Lang! ayo gas!" teriak cowok bernama Edgar.
"Ya."
Pertandingan pun di mulai.
Selang beberapa menit pertandingan basket sudah berakhir dengan kemenangan yang di raih oleh timnya Langit.
"Bro! selamat buat tim lo! gue berterima kasih banget ke lo atas tindak adil yang lo kasih ke kelas gue." ucap Anjar menepuk pundak Langit.
"Sama-sama, semoga kelas lo makin maju terus dan semangat biar jadi pemain basket yang hebat." jawab Langit menepuk pundak Anjar sambil berjalan menuju Adhara yang tengah duduk bersama Riffa, April, Kia dan Rachel.
Anjar menyesal telah mencaci maki anggota Osis yang bertugas tidak benar. "Nih, minum dulu." ujar Dhara menyodorkan sebotol minum untuk Langit.
Langit menerima sebotol minum tersebut, "makasih, Ra."
Anjar memperhatikan Langit yang mendapati minuman dari Adhara. "Lang, meskipun kelas kita saingan. Gue ngerasa nyesel udah caci maki anggota Osis termasuk ke lo." tutur Anjar menunduk.
Sang ketua osis tersebut menghadap ke pemuda di sampingnya. "Lo nggak perlu minta maaf sama gue, justru gue minta maaf atas anggota gue yang lalai sebagai panitia lomba basket." balas Langit.
"Bagus sih kalo udah nyadar." celetuk Kia langsung di bungkam oleh April.
Pemuda siswa IPA 3 itu tahu bahwa dirinya memang kurang sopan saat protes kepada Riski. Seharusnya di bicarakan dengan baik baik.
"Kita kita sih nggak papa, karena emang kita salah. Tapi ya, kurang baik juga kalo pake keributan kayak tadi." ujar Riffa bersidekap dada.
"Ya gue minta maaf nggak ke Langit doang, tapi ke kalian semua yang anggota Osis." kata Anjar menghadap ke Langit dan teman temannya yang tengah menghampiri.
Edgar berdehem, "Ya berarti nggak ke semuanya," sahut cowok tersebut berkacak pinggang.
Mata Anjar membulat, "Lah? bukannya semua ini Osis kan?" cowok tersebut tak menyadari bahwa Adhara bukan anggota Osis.
"Ada siswi baru, masuk ke kelas gue." jawab Langit tiba-tiba menggenggam tangan Dhara.
Anjar mencermati dengan lekat wajah Adhara. "Oh ... kok diem aja dari tadi? nggak ikut ngomong sama kayak yang lain?" Kini tinggal Dhara yang dipertanyakan.
"Ya ... gimana sih, ya, gue kan masih baru di sekolah ini. Gue juga bukan Osis, jadi ya gue kira nggak ada hak buat ikut campur sama kalian." ucapan Adhara di perhatikan oleh Langit.
"Nah, ucapan Dhara itu bener. Yang paling gue suka dari dia itu attitude dan adabnya yang bagus." pendapat Rachel.
"Otw jadi wakil ketos aja lo, Ra." sambung Kia terkekeh.
Adhara malah menatap Langit yang masih menggenggam tangan kanannya. "Wah, wakil ketos? kayaknya gue nggak cocok deh." ujarnya senyum tipis.
"Dia itu anti sosial, suka ngumpul nggak suka rame." kata Langit benar.
"Yaudah, gue cabut duluan ya. Masih ada yang harus gue urusin." ucap Anjar berpamitan.
"Oke, hati-hati. Sukses terus buat kelas lo!" Kompak dukungan dari anak IPS 1.
••••••••
Tepat jam 16.00 sore, semua teman-teman Langit sudah pulang sejak tadi. Kini hanya ada Adhara yang masih menemaninya bermain basket sendirian.
"Lang! nggak pulang?" tanya gadis seorang Adhara itu kelihatan sudah lelah.
Langit langsung menghampiri gadis yang memanggilnya sambil membawa bola basket untuk di kembalikan ke tempat semula.
"Iya ini mau pulang, tunggu di sini bentar gue mau ngembaliin bola dulu." tuturnya lembut.
Seorang penulis novel yang bernama Adhara tersebut melongo mendengar ucapan yang keluar dari mulut seorang penulis Raga Langit.
Lalu setelah mengembalikan bola basket, Langit pun pulang bersama dengan Adhara.
"Lah? kok motor matic? bukannya tadi yang sport itu, ya?" bingung Dhara menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
Langit melepas hoodie miliknya dan memakaikan pada Adhara. "Laki-laki yang bener-bener tulus sayang sama lo itu nggak akan pernah tega ngeliat lo sakit."
Adhara di buat cengang oleh omongan Langit. Bagaimana Langit bisa mengatakan hal seperti itu? apakah ia tengah menghayal atau memang kenyataan?
"Maksud lo apa, ya? pake segala makein hoodie ke gue?" ungkap Adhara tak mengerti.
"Sstt ... laki-laki yang beneran sayang sama lo itu nggak bodoh. Dia paling beda sama laki- laki yang bisa nolongin tapi malah berakhir bikin cewek nangis."
Aduh, ini apa sih? Langit kenapaa? kenapa dia bilang begitu ke Dhara? atau jangan jangan ...
"Lo sakit ya, Lang? kayaknya lo perlu cepet pulang deh. Fix, lo kesambet." ketus Dhara meninggalkan Langit.
Tiba-tiba petir bergemuruh hebat membuat Dhara kembali ketakutan seperti di hari pertama masuk sekolah. "Argh! Gue takut ..." rintihnya menutup telinganya.
"Ayo naik mumpung belum hujan." ucap Langit melindungi Dhara yang takut pada petir.
••••••
Sesampainya di rumah, Langit membersihkan dirinya dan bersantai di kamarnya. Sedangkan Adhara juga membersihkan diri sambil mengingat hari ini ialah hari yang penuh dengan rasa bahagia.
Dimana ia mendapat seorang teman seperti Langit, bahkan seorang penulis idamannya itu ternyata adalah Langit Putra Ragasena.
Langit,
Aku hanyalah perantara baginya, aku di kirim semesta untuk mengagumi seorang penulis buku itu tanpa ada niatan dapat memiliki hatinya.
Semesta pun mungkin menyetujui hal itu, namun ada suatu hal yang membuatku bingung. Apakah dia menyukaiku? apa yang membuatnya berbicara seperti sore tadi?
Tulisan itu tertulis di notebook khusus tentang penulis Raga Langit oleh Adhara. "Ngapain jadi nulis ini, ya? aku suka sama Langit." lirihnya merenung di ranjang tidurnya.
Sementara Langit juga menulis di notebook miliknya yang berjudul Raga Langit Untuk Bintang.
Bintang Adhara,
Ia memang belum ku miliki atau bahkan ia tidak akan pernah menjadi milikku. Namun, aku akan terus menjaganya selalu terang di langit malam. Aku tak ingin dirinya menangis pada larut malam.
Gue akan selalu melindungi lo tanpa gue celaka yang membuat lo sedih dan khawatir sama gue. batin Langit.