NovelToon NovelToon
Bumiku

Bumiku

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Spiritual / Kutukan / Kumpulan Cerita Horror
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: LiliPuy

bumi yang indah dan tenang seketika berubah menjadi zona tidak layak huni.
semua bermula dari 200 tahun lalu saat terjadi perang dunia ke II, tempat tersebut sering dijadikan tempat uji coba bom atom, sehingga masih terdapat radiasi yang tersisa.

selain radiasi ternyata itu mengundang mahluk dari luar tata Surya Kita yang tertarik akan radiasi tersebut, karena mahluk tersebut hidup dengan memakan radiasi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LiliPuy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bumi semakin tidak stabil

Aku dan Toni berdiri di pinggir danau Elips, memandang ke permukaannya yang tenang. Matanya mengernyit, mencoba memahami kejadian sebelumnya.

"Apa yang terjadi di danau ini?" suara Toni memecah keheningan antara kami. "Aku merasa ada sesuatu yang aneh terjadi di tempat ini." Matanya memindai permukaan danau yang tenang, seolah mencari jawaban.

Aku mengerutkan kening, mengingat kembali kejadian beberapa jam yang lalu. "Entahlah, Toni. Semuanya terjadi sangat cepat. Kami memancing di danau seperti biasanya, lalu tiba-tiba ada guncangan. Semua orang panik dan berlari ke arah yang berbeda. Aku mencoba menemukanmu, tapi kau sudah tidak ada."

Toni mengangguk, wajahnya serius. "Aku ingat. Aku merasa ada sesuatu yang aneh tentang danau ini. Seperti ada kekuatan tersembunyi di dalamnya. Lalu, saat aku mencoba menganalisisnya, terjadi guncangan itu. Sepertinya ada hubungan antara danau ini dan ketidakstabilan bumi belakangan ini."

Kutatap danau itu, mencoba memahami apa yang dimaksud Toni. Permukaannya yang tenang memantulkan sinar matahari sore, tampak tidak mengancam. Tapi ada sesuatu yang berbeda tentang tempat ini, suatu perasaan tidak nyaman yang merayap di kulitku.

"Kita harus berhati-hati," gumam Toni. "Ada sesuatu yang besar akan terjadi. Aku bisa merasakannya."

Sebelum aku bisa menjawab, tanah di bawah kaki kami bergoyang. Sebuah guncangan kuat membuat kami kehilangan keseimbangan dan jatuh ke tanah. Saat kami berusaha berdiri, guncangan lain datang, lebih kuat dari sebelumnya.

"Apa yang terjadi?!" teriakku.

"Bumi semakin tidak stabil!" seru Toni. "Kita harus menemukan tempat yang aman!"

Kami berlari sekuat tenaga, mencoba menjauh dari danau. Tapi tampaknya guncangan-guncangan itu mengikuti kami, terjadi semakin sering dan kuat. Pohon-pohon bergoyang liar, ranting-rantingnya mencapai kami seolah ingin menarik kami kembali.

"Kita tidak akan selamat jika terus lari!" teriak Toni di atas suara gemuruh tanah. "Kita harus menemukan tempat berlindung!"

Kulihat sebuah bangunan di kejauhan, dindingnya tinggi dan kokoh. "Kamp tentara!" seruku. "Kita bisa berlindung di sana!"

Kami mengubah arah menuju kamp tentara itu, berjuang melawan tanah yang berguncang di bawah kaki kami. Saat kami mendekati gerbang, sekelompok tentara menghalangi jalan kami.

"Kami tidak bisa biarkan kalian masuk!" teriak salah satu di antara mereka. "Ini perintah atas!"

"Tapi bumi semakin tidak stabil!" teriak Toni. "Kami butuh tempat berlindung!"

Seorang sersan keluar dari barisan tentara, matanya tajam menatap kami. "Kamu tahu peraturan. Tidak ada sipil yang boleh masuk ke area pelatihan ini."

Kutatap sersan itu, putus asa. "Tolong, Sersan. Kami tidak punya tempat lain untuk pergi. Kami akan mati kalau tidak bisa berlindung di sini!"

Sersan itu ragu sebentar, matanya beralih ke tanah yang terus bergoyang. "Baiklah, masuklah. Tapi kalian harus mengikuti peraturan kami."

Kami berlari masuk ke dalam kamp, sementara para tentara menutup gerbang di belakang kami. Bunyi besi bergesekan dengan besi lain saat mereka mengunci gerbang, seolah menutup kami dari dunia luar.

"Kami harus mempersiapkan kalian untuk situasi darurat," suara sersan itu kembali memecah konsentrasi kami. "Kalian akan dilatih seperti tentara lain di sini."

Kutatap Toni, ragu. "Tapi kami bukan tentara, Sersan. Kami"

"Tidak ada pilihan lain, anak muda," potong sersan itu. "Kalau bumi terus berguncang seperti ini, kalian harus siap membantu. Ikuti perintah dan kalian akan selamat."

Aku menelan ludahku, mengetahui dia benar. Tidak ada pilihan lain selain mengikuti latihan militer itu.

Latihan dimulai segera setelah kami memasuki area pelatihan. Para tentara menunjukkan cara menggunakan senjata, bertarung tangan kosong, dan bertahan hidup di medan perang. Kami berlatih sampai malam jatuh, tubuh kami lelah dan pikiranku kabur.

"Ini baru awal," desah Toni saat kami berbaring di kasur kamp yang keras. "Saya tidak tahu berapa lama kita harus bertahan di sini."

Kulihat langit malam di atas kami, bintang-bintangnya samar-samar kelihatan di balik awan tebal. "Kita akan bertahan, Toni. Kita sudah bertahan sejauh ini."

"Ya, tapi sampai kapan?" gumamnya. "Dan apa hubungannya semua ini dengan danau Elips itu?"

Pertanyaan itu menggantung di antara kami, tanpa jawaban. Bumi berguncang lagi, mengingatkan kami akan ketidakstabilan yang terus mengancam.

"Kita akan menemukan jawaban," kataku, mencoba meyakinkan diri sendiri. "Untuk sekarang, kita istirahat. Besok akan ada latihan lagi."

Toni mendesah lagi, lalu berbalik menghadap langit-langit tenda. "Baiklah, Chris. Kita lihat saja nanti."

Keesokan harinya, kami melanjutkan latihan militer yang melelahkan. Tubuh kami dipaksa mencapai batasnya, dipaksa untuk bertahan hidup di kondisi yang ekstrem. Para tentara tidak memberi ampun, mendorong kami terus maju meskipun kami ingin menyerah.

"Kamu harus kuat!" teriak seorang sersan saat aku berjuang untuk menyelesaikan rintangan. "Kalau tidak, kamu tidak akan bertahan!"

Aku menggigit bibirku, mencoba untuk tidak menunjukkan rasa sakitku. "Ya, Sersan!"

"Kamu pikir musuh akan menunggu sampai kamu siap?" teriak sersan lain saat kami berlatih bertarung. "Kamu harus selalu siap bertarung!"

Hari berganti hari, dan latihan terus berlanjut. Tubuh kami dipahat menjadi lebih kuat, pikiran kami diasah menjadi lebih tajam. Kami belajar bertahan hidup, meskipun kadang-kadang rasanya ingin menyerah saja.

"Kamu melakukan baik," bisik Toni suatu malam saat kami berbaring lelah di tenda. "Saya tidak tahu apakah saya bisa bertahan kalau bukan karena kamu."

Kutatap langit malam lagi, bintang-bintangnya lebih terang malam itu. "Kita sama-sama bertahan, Toni. Kita akan keluar dari sini sebagai orang yang berbeda."

Toni tersenyum samar di kegelapan. "Semoga saja perbedaannya ke arah yang lebih baik."

Beberapa minggu kemudian, guncangan bumi mulai berkurang. Para tentara mulai mencabut beberapa latihan, mengatakan bahwa keadaan mulai stabil.

"Kamu berdua bisa meninggalkan kamp sekarang," kata sersan yang menjadi instruktur kami. "Kamu sudah cukup terlatih untuk bertahan hidup di luar."

Kutatap Toni, ragu. "Tapi"

"Kamu sudah belajar banyak," potong sersan itu. "Sekarang waktunya kalian menerapkan pelajaran itu di dunia nyata. Ingat selalu pelatihan ini dan tetap waspada."

Kami meninggalkan kamp tentara itu, tubuh kami tegap dan pikiran kami waspada. Bumi masih berguncang sesekali, tetapi tidak sesering dan seserius sebelumnya.

"Kita kembali ke Kota Reksa," kata Toni. "Kita lihat apakah ada yang berubah selama kita tidak ada."

Kami berjalan menuju kota, melewati pemandangan yang telah berubah karena guncangan bumi. Bangunan-bangunan rusak, pohon-pohon tumbang, dan jalan-jalan retak. Tapi ada juga tanda-tanda kehidupan yang mulai tumbuh kembali.

"Kita akan bertahan," gumamku. "Selalu ada harapan."

Toni tersenyum, matanya tajam memandang ke depan. "Kita akan lihat, Chris. Kita akan lihat."Kami kembali ke Kota Reksa, kota yang dulu kami panggil rumah. Tapi sekarang, kota itu hampir tidak kami kenal lagi. Bangunan-bangunan yang dulu tegak sekarang banyak yang runtuh, jalan-jalan yang dulu ramai sekarang kosong dan sunyi.

"Apa yang terjadi di sini?" gumam Toni saat kami berjalan melalui jalan-jalan yang hancur. "Sepertinya kota ini sudah ditinggalkan."

Kutelusuri puing-puing dengan mataku, mencari tanda-tanda kehidupan. "Mungkin para penduduk pindah ke tempat yang lebih aman selama bumi berguncang," kataku. "Kita coba cari di pusat kota, mungkin ada pengumuman atau sesuatu yang bisa kita temukan di sana."

Pusat kota tidak jauh berbeda dari yang lainnya. Bangunan-bangunan pemerintah yang dulu megah sekarang hanya tumpukan batu dan besi. Tapi saat kami mendekati alun-alun kota, kami melihat sekelompok orang berkumpul di sekitar seorang pria yang berdiri di atas kotak kayu, seolah memberi pidato.

"... dan kita harus bangkit kembali!" seru pria itu. "Kita tidak bisa bergantung pada bantuan dari luar. Kita harus membangun kembali kota kita sendiri!"

Aku dan Toni saling bertatapan, lalu mendekat untuk mendengar lebih jelas.

"Siapa dia?" bisikku ke Toni.

"Sepertinya pemimpin kelompok ini," jawabnya pelan. "Mungkin kita bisa bertanya padanya tentang situasi sekarang."

Pria itu melanjutkan pidatonya, penuh semangat dan keyakinan. "Kita tidak bisa duduk diam dan menunggu bantuan! Kita harus mengambil alih dan menciptakan masa depan kita sendiri! Bersama, kita bisa membangun kembali Kota Reksa menjadi lebih baik dari sebelumnya!"

Sekelompok orang mengangguk dan bersorak, tampaknya terpengaruh oleh kata-katanya.

Aku melangkah maju, mendekati pria itu setelah ia selesai berbicara. "Maaf, pak," kataku. "Kami baru saja kembali ke kota. Apa yang terjadi selama kami tidak ada?"

Pria itu menatapku, matanya tajam dan penuh authority. "Kalian baru datang?" tanyanya. "Kalian tidak tahu apa yang terjadi?"

Aku menggeleng, perasaan tidak enak mulai merayap di kulitku. "Kami berlindung di kamp tentara selama bumi berguncang. Kami—"

"Ah, kalian beruntung," potong pria itu. "Banyak yang tidak seberuntung kalian. Kota ini hancur, banyak yang meninggal atau meninggalkan kota ini. Tapi sekarang, kita mulai membangun kembali. Bergabunglah dengan kami, kalian bisa membantu menciptakan masa depan yang lebih baik."

Kutatap Toni, bingung. "Apa yang terjadi pad -"

"Kita bisa bicara nanti," potong Toni, tampaknya juga merasakan ketegangan di udara. "Terima kasih, pak, atas penjelasannya. Kami akan membantu sebisa kami."

Pria itu tersenyum, senang menerima bantuan kami. "Baiklah, kalian bisa mulai dengan membersihkan puing-puing di sini. Kita akan membangun kembali, satu batu demi satu batu."

Kami mengikuti perintah pria itu, membantu membersihkan puing-puing dan mulai membangun kembali kota. Hari berganti hari, dan kami bekerja tanpa henti. Tapi semakin lama, semakin kusadari ada sesuatu yang aneh tentang situasi ini.

Suatu malam, saat kami beristirahat di tenda yang telah kami bangun, aku tidak tahan lagi untuk bertanya. "Toni, ada yang aneh tentang semua ini. Pria itu, dia seolah-olah menjadi pemimpin kota ini. Apa yang terjadi pada pemerintahan yang sebenarnya?"

Toni mendesah, wajahnya suram di dalam tenda yang redup. "Saya tidak yakin, Chris. Sejak bumi mulai berguncang, semua menjadi kacau. Mungkin pemerintah tidak mampu menangani situasi ini, atau mungkin mereka sudah meninggalkan kota ini."

"Tapi bagaimana bisa begitu banyak orang mengikutinya tanpa pertanyaan?"

Toni menghela napas. "Orang-orang takut, Chris. Mereka mencari pemimpin, mencari harapan. Pria itu menawarkan keduanya, jadi mereka mengikutinya tanpa berpikir dua kali."

Kugigit bibirku, cemas. "Apakah dia akan membawa kita ke arah yang benar?"

Toni mendesah lagi, tangannya mengepal. "Saya tidak tahu, Chris. Saya harap begitu. Kita tidak punya pilihan selain mengikuti untuk sekarang."

Keesokan harinya, kami melanjutkan pekerjaan kami, tetapi keraguan mulai tumbuh di pikiranku. Pria itu, yang sekarang kami tahu bernama Damon, sepertinya memiliki rencana besar untuk kota reksa nanti

1
mous
lanjut thor
Hikaru Ichijyo
Alur yang kuat dan tak terduga membuat saya terpukau.
Mưa buồn
Kalau lagi suntuk atau gabut tinggal buka cerita ini, mood langsung membaik. (❤️)
Jelosi James
Sukses selalu untukmu, terus kembangkan bakat menulismu thor!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!