Nadia Pramesti, seorang arsitek muda berbakat, mendapatkan kesempatan kedua dalam hidup setelah sebuah kecelakaan tragis membawanya kembali ke masa lalu, tepat sebelum hidupnya hancur karena kepercayaan yang salah dan pengkhianatan —akibat kelicikan dan manipulasi Dinda Arumi, sahabat masa kecil yang berubah menjadi musuh terbesarnya, dan Aldo, mantan kekasih yang mengkhianati kepercayaannya.
Di kehidupannya yang baru, Nadia bertekad untuk memperbaiki kesalahan masa lalu dan menghindari perangkap yang sebelumnya menghancurkannya. Namun, Dinda, yang selalu merasa tersaingi oleh Nadia, kembali hadir dengan intrik-intrik yang lebih kejam, berusaha tidak hanya menghancurkan karier Nadia tetapi juga merenggut satu-satunya pria yang pernah benar-benar dicintainya, Raka Wijaya.
Nadia tidak hanya berhadapan dengan musuh eksternal, tetapi juga harus melawan rasa tidak percaya diri, trauma masa lalu, dan tantangan yang terus meningkat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon El Nurcahyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pelarian dan Pengejaran
Bab 8
Mereka perlahan mendekati pintu masuk gudang. Nadia merasa adrenalinnya meningkat. Setiap langkah yang dia ambil terasa semakin berat, namun tekadnya untuk menuntaskan misi ini tidak tergoyahkan. Ketika mereka membuka pintu, gudang itu tampak gelap dan sepi, hanya diterangi oleh cahaya bulan yang masuk melalui celah-celah atap.
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari dalam gudang. Nadia menegang, memegang erat senter yang dia bawa. Dari bayangan, Dinda dan Aditya muncul, keduanya tampak siap dengan rencana mereka.
"Dinda," kata Nadia dengan tegas, "ini sudah berakhir. Serahkan dirimu dan akui semua kejahatanmu."
Dinda hanya tertawa kecil, nadanya penuh kepahitan. "Kau pikir kau bisa menghentikan ku, Nadia? Kau tidak tahu seberapa jauh aku sudah merencanakan ini."
Aditya, yang selama ini diam, tampak gelisah. Dia melihat ke arah Dinda, lalu ke arah Nadia dan Raka. "Dinda, mungkin kita harus—"
Namun, sebelum Aditya bisa menyelesaikan kalimatnya, Dinda melangkah maju dengan penuh amarah. "Diam! Kau terlalu lemah untuk ini, Aditya. Aku akan mengurus mereka sendiri."
Suasana menjadi semakin tegang. Nadia dan Raka tahu bahwa ini adalah saatnya untuk bertindak. Raka memberi isyarat kepada Mira, yang kemudian menghubungi pihak berwenang untuk bergerak masuk.
Namun, tepat saat Nadia mencoba mendekati Dinda, suara ledakan kecil terdengar di bagian belakang gudang. Raka dengan cepat menarik Nadia ke tempat yang aman, sementara Aditya tampak ketakutan.
"Kalian tidak akan pernah menang," ujar Dinda dengan senyum dingin, sebelum berlari ke arah pintu keluar dengan Aditya yang mengikuti di belakangnya.
Nadia dan Raka mengejar mereka, tetapi Dinda dan Aditya sudah terlalu jauh. Mereka keluar dari gudang dan melihat sebuah mobil melaju cepat, meninggalkan tempat itu. Namun, Nadia melihat ke arah Mira yang mengirimkan sinyal ke pihak berwenang.
"Mereka tidak akan bisa lari jauh," kata Mira dengan keyakinan.
Beberapa menit kemudian, suara sirene polisi mulai terdengar. Nadia dan Raka merasa lega, meskipun Dinda dan Aditya berhasil melarikan diri untuk sementara, mereka tahu bahwa ini adalah akhir dari pelarian mereka.
Nadia yang berdiri di depan gudang yang hancur, memandang ke arah jauh di mana Dinda dan Aditya mungkin sedang bersembunyi. Meskipun mereka berhasil lolos untuk sementara waktu, Nadia tahu bahwa keadilan akan segera menyusul mereka. Dengan bukti yang sudah mereka kumpulkan dan pihak berwenang yang kini terlibat penuh, ini hanyalah masalah waktu sebelum mereka ditangkap dan diadili.
###
Setelah lolos dari gudang, Dinda dan Aditya melaju dengan kecepatan tinggi melalui jalan-jalan kota yang sepi. Pikiran mereka dipenuhi ketakutan dan kekhawatiran, tetapi Dinda masih berusaha mempertahankan ketenangannya. Dia tahu bahwa satu langkah yang salah bisa menghancurkan semuanya.
Di sisi lain, Nadia, Raka, dan Mira segera berkoordinasi dengan pihak berwenang untuk mengatur pengejaran. Polisi sudah dikerahkan ke berbagai titik, mengantisipasi setiap kemungkinan rute pelarian yang mungkin diambil oleh Dinda dan Aditya. Raka, yang duduk di sebelah Nadia di dalam mobil, menatap tajam ke arah jalan. Tekadnya bulat untuk tidak membiarkan mereka lolos.
"Dia pasti mencoba melarikan diri ke luar negeri," kata Nadia sambil memegang erat kemudi. "Kita harus mempersempit pencarian ke arah bandara atau pelabuhan."
Mira, yang duduk di kursi belakang, sibuk dengan laptopnya, memantau informasi lalu lintas dan komunikasi polisi. "Aku baru saja mendapat laporan bahwa ada mobil dengan kecepatan tinggi menuju arah barat, mungkin ke bandara kecil di luar kota."
Nadia mengangguk, menginjak pedal gas lebih dalam. "Kita akan menangkap mereka sebelum mereka bisa kabur."
Sementara itu, Dinda dan Aditya terus melaju menuju bandara kecil yang mereka rencanakan sebagai tempat pelarian terakhir. Aditya yang memegang kemudi, terlihat tegang, sementara Dinda sibuk dengan teleponnya, mencoba menghubungi kontak yang bisa membantu mereka keluar dari negara ini secepat mungkin.
"Apa kita akan berhasil?" tanya Aditya dengan nada cemas.
Dinda menatapnya dengan tatapan dingin. "Kita tidak punya pilihan lain, Aditya. Kita harus keluar dari sini sebelum mereka menemukan kita."
Setelah beberapa saat, mereka tiba di bandara kecil itu. Bandara itu tampak sepi, hanya ada beberapa petugas yang berjaga. Dinda segera membawa Aditya menuju pesawat kecil yang sudah disiapkan. Namun, ketika mereka mendekati pesawat, suara sirene polisi mulai terdengar dari kejauhan.
"Ayo cepat!" seru Dinda dengan panik, mendorong Aditya untuk mempercepat langkahnya.
Namun, ketika mereka hampir sampai di pesawat, beberapa mobil polisi muncul dan mengelilingi mereka. Petugas-petugas bersenjata keluar dari mobil, mengarahkan senjata mereka ke arah Dinda dan Aditya.
"Jangan bergerak! Angkat tangan kalian!" teriak salah satu petugas.
Dinda tampak kalut, tapi dia berusaha untuk tetap tenang. Dia tahu ini mungkin akhirnya, tapi dia tidak akan menyerah begitu saja. Dia merogoh saku jaketnya, mengeluarkan sesuatu yang tampak seperti detonator kecil.
"Jika kalian mendekat, aku akan meledakkan pesawat ini!" ancam Dinda, mengacungkan detonator itu ke arah pesawat.
Para petugas segera mundur beberapa langkah, tak ingin memancing tindakan nekat dari Dinda. Situasi menjadi sangat tegang. Aditya terlihat ketakutan, tak tahu apa yang harus dilakukan. Di saat yang sama, Nadia, Raka, dan Mira tiba di lokasi, keluar dari mobil mereka dan segera menilai situasi.
"Nadia, kita harus menghentikannya sebelum dia benar-benar meledakkan pesawat itu," bisik Raka dengan nada tegang.
Nadia mengangguk, matanya tak lepas dari Dinda yang tampak semakin putus asa. Dia memutuskan untuk mencoba berbicara dengan Dinda, berharap bisa membujuknya untuk menyerah tanpa ada pertumpahan darah.
"Dinda, dengarkan aku," kata Nadia dengan suara yang tenang tapi tegas. "Tidak ada jalan keluar dari sini. Jika kau meledakkan pesawat itu, kau hanya akan menghancurkan dirimu sendiri. Serahkan dirimu, dan kita bisa menyelesaikan ini tanpa ada yang terluka."
Dinda menatap Nadia dengan tatapan penuh kebencian. "Kau tidak tahu apa-apa, Nadia! Aku tidak akan membiarkan kalian menang begitu saja. Lebih baik aku mati daripada hidup di penjara!"
Situasi semakin genting. Petugas-petugas di sekitar mereka bersiap untuk segala kemungkinan, sementara Nadia mencoba untuk tetap tenang meski tahu bahwa satu kesalahan bisa berakibat fatal.
Namun, sebelum Dinda bisa melakukan sesuatu, Aditya, yang tampak semakin tertekan, tiba-tiba meraih detonator itu dari tangan Dinda dan membuangnya ke tanah. Dinda terkejut, menatap Aditya dengan tatapan marah.
"Apa yang kau lakukan?!" teriak Dinda.
Aditya hanya menunduk, air mata mengalir di pipinya. "Aku tidak bisa terus seperti ini, Dinda. Ini sudah berakhir."
Seketika, petugas-petugas polisi segera bergerak, menangkap Dinda dan Aditya sebelum mereka bisa melarikan diri lagi. Nadia dan Raka merasa lega melihat situasi terkendali, meskipun masih ada ketegangan di udara.
Dinda dan Aditya yang dibawa ke dalam mobil polisi, wajah mereka penuh dengan rasa putus asa. Nadia, yang berdiri bersama Raka dan Mira, tahu bahwa pertarungan ini belum selesai, tapi setidaknya mereka berhasil menghentikan dua orang yang paling berbahaya. Namun, dia juga sadar bahwa akan ada konsekuensi dari semua ini, dan bahwa perjalanan mereka untuk menuntut keadilan masih panjang.
Bersambung...