NovelToon NovelToon
AZKAN THE GUARDIAN

AZKAN THE GUARDIAN

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cintapertama / Reinkarnasi / Cinta Terlarang / Kehidupan alternatif / Kontras Takdir
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: BERNADETH SIA

Tujuh ratus tahun telah berlalu, sejak Azkan ditugaskan menjaga Pulau Asa, tempat jiwa-jiwa yang menyerah pada hidup, diberi kesempatan kedua. Sesuai titah Sang Dewa, akan datang seorang 'Perempuan 'Pilihan' tiap seratus tahun untuk mendampingi dan membantunya.
'Perempuan Pilihan' ke-8 yang datang, membuat Azkan jatuh cinta untuk pertama kalinya, membuatnya mencintai begitu dalam, lalu mendorongnya masuk kembali ke masa lalu yang belum selesai. Azkan harus menyelesaikan masa lalunya. Namun itu berarti, dia harus melepaskan cinta seumur hidupnya. Bagaimana mungkin dia bisa mencintai seseorang yang di dalam tubuhnya mengalir darah musuhnya? Orang yang menyebabkannya ada di Pulau Asa, terikat dalam tugas dan kehidupan tanpa akhir yang kini ingin sekali dia akhiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BERNADETH SIA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

KEKASIH HARI PERTAMA

Tok tok tok!

“Laina, Dokter Nico sudah datang untuk memeriksa Azkan.” suara Armana terdengar dari balik pintu kamar Azkan. Tanpa menunggu jawaban Laina, Armana membuka pintu dan terkejut melihat Laina yang melompat dari tempat tidur Azkan lalu berdiri sambil merapikan rambut dan mengecek pakaiannya. Sedangkan Azkan, yang tetap berada di atas tempat tidur, berdeham canggung sambil merapikan selimut di atas kakinya. 

“Apa yang …” Armana menghentikan ucapannya karena menyadari dokter Nico menunggu tepat di belakangnya. “Silahkan masuk, dokter.” Armana menyingkir dari pintu masuk kamar, sambil melirik kedua orang yang hampir saja tertangkap basah di depan kedua matanya. 

“Selamat pagi, Azkan.” sapa dokter Nico tanpa menyadari kecanggungan yang terbentuk di antara Azkan dan Laina. 

“Selamat pagi, Nico. Terima kasih untuk pengobatanmu semalam. Sekarang aku sudah baik-baik saja.” Armana yang berdiri beberapa meter dari tempat tidur Azkan, menatapnya dengan tatapan tajam, seakan sedang menilai sekaligus menghakimi Azkan. Hanya Armana yang berani bersikap seperti itu. Pasalnya, selama ini Armanalah orang yang mengurus Azkan layaknya seorang ibu. Bahkan meski ratusan tahun berlalu, Armana tak mau mengambil keputusan untuk memulai hidup barunya. Dia memilih untuk tetap berada di sisi Azkan sampai akhir. Kalau memang nantinya, kesempatan memilih itu masih ada untuknya, barulah dia akan memilih, tapi jika kesempatannya sudah tak ada lagi, dia pun tak memiliki penyesalan karena selalu berada di sisi Azkan. 

“Untuk hal itu, biarkan aku yang memutuskan,” Nico tersenyum tegas, lalu memeriksa kondisi Azkan layaknya seorang dokter. 

“Ya, kau memang seorang dokter.” Azkan membiarkan Nico memeriksa tubuhnya dengan alat-alat kedokteran yang dia bawa lalu tanpa sadar, kedua matanya terarah pada Laina yang sedari tadi berdiri diam di sisi bawah tempat tidurnya. Wajah Laina masih memerah. Gerakan-gerakan kecilnya terlihat canggung. Rambut panjangnya masih agak berantakan. Azkan tersenyum menatapnya, teringat kembali akan apa yang baru saja terjadi di antara mereka berdua. Dia ingin Armana dan Nico segera pergi dari kamarnya. 

“Iya, kau sudah baik-baik saja.” Nico telah selesai melakukan tugasnya sebagai dokter. 

“Apa kau mau kuberi vitamin?” tawar Nico setengah hati, karena dia tahu jawaban Azkan.

“Tidak perlu.” selalu seperti itu. Azkan tak pernah mau diberi vitamin atau obat kecuali keadaannya begitu buruk. Nico curiga kalau Azkan diam-diam menikmati rasa sakitnya. Nico menganggap orang yang sudah hidup selama ratusan tahun seperti Azkan, bisa saja memiliki pemikiran aneh yang tidak bisa dimengerti orang lain.

“Baiklah kalau begitu. Beri tahu aku kalau kau butuh bantuanku sebagai seorang dokter. Aku akan memeriksamu dengan senang hati.” Nico merapikan peralatannya dan siap untuk pergi.

“Aku hanya membutuhkanmu untuk mengurus Rumah Sakit Asa dengan baik. Jangan pernah berpikir untuk memeriksa tubuhku yang berusia ratusan tahun untuk penelitian ilmiahmu.”

“Untuk hal pertama, aku pasti melakukannya dengan baik. Sedangkan untuk hal kedua, aku masih mengharapkannya dalam diam. Tenang saja, aku tidak akan memaksamu untuk mau menjadi subjek penelitianku.”

“Sudahlah. Kembali saja ke rumah sakit. Aku tidak akan memberikan tubuhku kepada sembarangan orang.” Nico tersenyum mendengar jawaban Azkan lalu pergi begitu saja meninggalkan kamar Azkan. Armana segera mengikutinya dari belakang, sambil sesekali menoleh ke kamar Azkan karena rasa penasarannya yang belum terpuaskan. Apa mungkin? Bagaimana bisa?

“Nico ingin meneliti tubuhmu?” Laina menjadi orang pertama yang bersuara setelah pintu kamar Azkan ditutup. 

“Iya. Dulunya, dia adalah seorang dokter sekaligus peneliti genetik terkenal. Dia meninggal sesaat sebelum penelitiannya selesai. Jadi, ketika tinggal di sini, dia melakukan banyak penelitian yang tidak bisa dia lakukan di kehidupannya yang lalu. Sudah ada banyak sekali penemuannya yang berhasil dan membantu penduduk pulau. Juga membantu orang-orang yang masih hidup di dunia mereka.” 

“Bagaimana caranya? Dia kan tidak bisa datang begitu saja ke dunia manusia yang masih hidup?”

“Memang, tapi bukan berarti tidak ada cara untuk memberitahu manusia yang masih hidup, tentang apa yang dia tahu kan?”

“Bagaimana caranya?”

“Dia bisa mendatangi mimpi orang-orang yang dia percaya.”

“Kau serius?”

“Tentu saja. Hal-hal yang dianggap aneh, mustahil, tidak masuk akal, kebetulan, atau semacamnya, oleh manusia yang masih hidup, bisa jadi, sebagian diantaranya adalah karena kami yang ada di sini, ingin memberitahu sesuatu yang penting pada mereka.”

“Apa hal seperti itu benar-benar berhasil?”

“Iya. Ternyata, ada banyak orang yang mempercayai mimpi mereka ketika mereka bisa mengingat mimpi itu dengan jelas. Apalagi bagi para peneliti itu, mereka kan bisa melakukan uji coba pada apa yang mereka dengar di mimpi? Mereka bisa membuktikan apakah mimpi itu benar atau tidak lewat pengetahuan mereka sendiri.”

“Wah, ternyata memang benar-benar ada orang yang bisa mendapatkan ilham lewat mimpi ya?”

“Iya.” Azkan meraih tangan Laina yang masih berdiri di sisi tempat tidurnya. Kali ini, genggaman tangan dan usapan lembut Azkan di punggung tangannya, membuatnya bereaksi dengan cara yang berbeda. 

“Jadi, ini hari pertama kita?” pertanyaan Azkan membuat jantung Laina berdebar. Perutnya tergelitik.

“Maksudmu, …” Laina merasa canggung untuk mengucapkannya secara langsung.

“Sebagai sepasang kekasih. Mulai hari ini, kau adalah kekasihku.” Azkan menarik tubuh Laina hingga terduduk di pangkuannya. 

Laina mengangguk sambil menundukkan kepalanya. Rasanya terlalu mendebarkan untuk menatap wajah Azkan sekarang. 

“Lihat aku,” Azkan menyentuh dagu Laina, mendorong wajahnya yang menunduk hingga mereka saling bertatapan. 

Azkan mengalihkan padangannya sekilas pada pintu masuk kamarnya, lalu terdengar bunyi klik dan dia kembali menatap Laina yang wajahnya semakin merona.

“Apa itu tadi?” Laina bisa mendengar suara di pintu meski debaran jantungnya pun tak kalah kerasnya.

“Aku mengunci pintu. Supaya tidak ada lagi orang yang bisa tiba-tiba masuk seperti tadi.”

“Kau bisa melakukan hal seperti itu?” Kedua mata Laina terbelalak, memastikan apa yang dia dengar bukanlah kebohongan.

“Itu hal yang mudah. Aku kan sudah pernah bilang padamu kalau aku berbeda dari pria biasa. Aku punya banyak kelebihan dan kemampuan dibandingkan mereka. Jadi, kau tidak akan menyesal karena sudah mau menerimaku sebagai seorang kekasih.” Azkan membuat Laina tak bisa mengatakan apa pun dengan menciumnya. Semua pertanyaan yang bermunculan di kepala Laina, terjebak di dalam otaknya. Tubuhnya tenggelam dalam pesona Azkan dan luapan perasaannya yang ternyata sebegitu dalam.

Dengan tangannya yang kekar, Azkan membaringkan tubuh Laina di atas tempat tidur, tanpa berhenti menghujaninya dengan ciuman. Di saat Laina mulai kuwalahan dengan ciuman Azkan, dia melepaskannya, membiarkan Laina bernafas dengan bebas, tapi dia mengalihkan kecupan-kecupan hangatnya di sepanjang leher Laina, menelusuri tulang selangkanya, sambil tangannya membuka kancing kemeja Laina yang belum digantinya sejak pulang dari rapat kemarin. 

Laina tak berdaya. Pikirannya kosong. Tubuhnya mengikuti keinginan Azkan begitu saja. Rasanya, sekarang ini, Laina sedang menjadi sosok yang berbeda. Laina tak mengenali dirinya sendiri saat ini.

Bibir Azkan berpindah ke dada Laina, menelusuri setiap centi dari kulit putih Laina yang meremang karena sentuhannya dan ketika Azkan berhasil melepaskan kait celana Laina, suara parau Laina terdengar bersama nafasnya yang memburu, “Az, …” tangan Laina gemetar, menahan tangan Azkan yang hendak menanggalkan celananya. 

Azkan menatap Laina yang matanya berkaca-kaca, lalu sebutir air mata menetes di ujung matanya, mengalir menuju telinganya yang memerah. Azkan melepaskan tangannya dari celana Laina, beralih mengusap air mata di sisi wajahnya, lalu mengecup bibirnya dengan lembut sambil mengusap puncak dada Laina yang masih tertutup pakaian dalam. 

“Ahh, Az…” Azkan menggila mendengar suara Laina. Dia ingin melakukan banyak hal di dalam kepalanya. 

“Az, tunggu…” suara Laina bergetar, Azkan menggigit lehernya, “Aku belum pernah melakukan ini…” tubuh Azkan membeku. 

“Apa?” Azkan menopang tubuhnya dengan kedua tangan di atas tubuh Laina, seperti sedang melakukan plank penuh di ruang olahraganya. Kali ini, dia benar-benar menahan tubuhnya agar tak menyentuh tubuh Laina. Dia harus memastikan sesuatu.

“Aku, tidak pernah melakukan hal seperti ini,” Laina memalingkan wajanya. Dia merasa sangat malu sekarang ini.

“Kau serius Lai?” pertanyaan Azkan terdengar begitu lembut di telinga Laina. 

“Iya.” hanya sebuah gumaman yang terdengar dari mulut Laina.

Azkan melemparkan tubuhnya ke samping, hingga jatuh terlentang di sisi Laina yang masih tak bisa mengendalikan perasaan dan semua sensasi di tubuhnya. “Lai, kau benar-benar membuatku gila. Tidak pernah ada perempuan yang membuatku seperti ini.” Azkan menutupi wajahnya dengan salah satu lengannya. Dia mengontrol tubuhnya sekuat mungkin. 

“Maaf, aku pasti mengecewakanmu ya?” Laina bergeser, memiringkan tubuhnya menghadap Azkan yang wajahnya masih tertutup lengan.

Azkan mengangkat lengannya, menatap Laina yang berbaring di sisinya dengan sisa-sisa perbuatannya.

Azkan tersenyum, lalu bangkit dari tidurnya, kemudian mengancingkan kembali kemeja Laina dan merapikan celana Laina yang hampir saja dia tarik tadi. “Tidak, Lai. Kau sama sekali tidak mengecewakanku.” kali ini, Azkan merapikan rambut panjang Laina yang berantakan. 

“Maaf, seharusnya aku bertanya lebih dulu padamu, apa kau mau melakukannya atau tidak. Sharusnya aku tidak egois dan memikirkan keinginanku sendiri.” Azkan mengelus lembut wajah Laina. 

“Mulai sekarang, sebelum melakukan apa pun padamu, aku akan bertanya lebih dulu. Aku tidak mau mengejutkanmu atau membuatmu bingung apalagi takut. Kalau kau tidak mengijinkanku, aku tidak akan melakukannya. Aku janji.” 

“Az,” Laina menggenggam tangan Azkan yang masih mengelus wajahnya. 

“Apa kau baik-baik saja?” Laina bisa merasakan kekhawatiran Azkan.

“Iya. Aku hanya terkejut. Aku tidak pernah, …” Laina langsung menunduk.

Laina merasakan tangan Azkan yang merengkuhnya ke dalam pelukan hangat. Kemudian usapan lembut di punggungnya, yang menghalau segala perasaan malu dan canggung yang mengganggunya. “Lai, akuu menyayangimu. Aku mencintaimu. Aku bahagia luar biasa ketika mendengarmu juga memiliki perasaan yang sama padaku. Kau adalah perempuan spesial dan berharga untukku. Aku menghargaimu lebih dari apa pun. Jadi, jangan pernah merasa malu atau canggung di hadapanku. Kau bebas menjadi dirimu sendiri, bebas mengungkapkan semua perasaan dan pikiranmu padaku. Kau juga boleh memarahiku, mengomeliku, lakukan apa pun yang kau mau. Karena aku akan menerima semuanya. Karena kau adalah Lai. Lainaku.” Kedua tangan Laina memeluk erat punggung Azkan yang lebar dan kokoh.

“Terima kasih Az.”

“Aku senang karena kau tidak pernah melakukannya.” ucapan Azkan membuat Laina menarik wajahnya, bertanya-tanya pada maksud Azkan sebenarnya. Bukankah tadi dia begitu …

“Itu artinya, mulai sekarang, semua yang kita lakukan bersama, akan menjadi pengalaman pertamamu. Dan aku akan membuatnya menjadi kenangan istimewa yang tidak bisa kau lupakan. Segala hal tentang kita, akan kujadikan kenangan dengan perasaan bahagia.” senyuman Azkan menular pada Laina. 

“Aku menyayangimu, kekasihku.” Azkan mengecup kening Laina.

1
anggita
like👍☝iklan. moga novelnya lancar jaya
anggita
Azkan..😘 Laina.
SammFlynn
Gak kecewa!
Eirlys
Aku bisa baca terus sampe malem nih, gak bosan sama sekali!
SIA: Terima kasih sudah mau membaca :)
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!