Reyn Salqa Ranendra sudah mengagumi Regara Bumintara sedari duduk di bangku SMA. Lelah menyimpan perasaannya sendiri, dia mulai memberanikan diri untuk mendekati Regara. Bahkan sampai mengejar Regara dengan begitu ugal-ugalan. Namun, Regara tetap bersikap datar dan dingin kepada Reyn.
Sudah berada di fase lelah, akhirnya Reyn menyerah dan pergi tanpa meninggalkan jejak. Pada saat itulah Regara mulai merindukan kehadiran perempuan ceria yang tak bosan mengatakan cinta kepadanya.
Apakah Regara mulai jatuh cinta kepada Reyn? Dan akankah dia yang akan berbalik mengejar cinta Reyn?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fieThaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
8. Berharap Ada Keajaiban
Sampai tengah malam pun Rega tak menemukan mobil dengan plat nomor yang sudah dia tulis di secarik kertas. Dia ingin sekali bertemu dengan Reyn.
Sayangnya, keesokan hari pun Reyn tak masuk kuliah lagi. Rega nampak bingung karena selama tiga tahun ini Reyn tidak pernah menceritakan kehidupannya.
"Reyn gak masuk lagi?" Jamal sudah bisa menebak hanya dari raut Rega.
"Makanya jangan THOLOL!" Joni pun sudah murka.
"Lelahnya cegil itu kalau gak dingin ya dia pergi." Dafa mulai menjelaskan.
Tengah serius berbincang, seorang perempuan datang dan membuat ketiga sahabat Rega berdecak kesal.
"Besok mah gua kasih tulisan DILARANG KE SINI KECUALI REYN."
Mendengar nama Reyn membuat Megan berdecak kesal. Dia menatap tajam ke arah Rega yang sedari tadi malah fokus pada benda pipih.
"Antar aku--"
"Bisa gak mandiri sedikit?"
Dafa, Joni juga Jamal terkejut mendengar suara Rega yang meninggi. Biasanya dia akan berbicara lembut kepada Megan.
"Udah hampir dua bulan ini semua jadwal aku berantakan. Bahkan, Mama aku pun sedikit mengeluh karena selalu pulang malam dan jarang sekali membantu Mama di toko."
"Ya, aku kan baru di sini. Aku belum punya banyak teman."
"NAJIS!" Jamal mencela sambil meludah karena mendengar jawaban dari Megan.
Ketiga sahabat Rega sedari awal melihat Megan langsung menyatakan tidak suka. Beda halnya kepada Reyn, mereka begitu welcome.
"Reyn aja yang hanya temennya aku, Jamal, Dafa juga Joni gak pernah tuh ngerepotin aku. Malah apa-apa bisa sendiri."
"Reyn lagi Reyn lagi! Bosen tahu dengernya."
"Gua lebih bosen liat lu di sini!"
Jamal mulai menarik tangan Megan dan membawanya menjauh dari tempat tongkrongan mereka. Ketiga sahabat Rega adalah manusia yang kesabarannya setipis tisu dibagi sepuluh.
"Heran gua, bisa ya lu suka sama cewek modelan begitu," ejek Dafa sambil menggelengkan kepala.
.
Reyn menatap ponselnya yang sudah tak bisa digunakan. Rayyan sudah menawarkan untuk memperbaiki, tapi Reyn tak mau.
Dia mulai meraih album foto yang berisi foto candid Regara Bumintara. Satu per satu halaman foto dia buka. Tak ada lagi senyum, tak ada lagi kagum. Hanya tatapan penuh luka yang dia berikan.
Reyn memejamkan mata ketika dadanya mulai terasa sesak. Dia mencoba untuk mengatur napas.Lalu, menyandarkan tubuhnya di kursi di depan meja belajar. Tak terasa bulir bening menetes di ujung mata.
Rasa sesak itu semakin menjadi. Reyn berusaha untuk mengatur napas agar semuanya baik-baik saja. Sepuluh menit menahan sesak sendirian, akhirnya rasa sesak itu menghilang. Namun, air matanya tak kunjung surut.
Hampir lima tahun mencintai seorang lelaki yang tak mencintainya ternyata harus berakhir sangat menyakitkan. Harus kalah dengan melihat kenyataan parah.
"Apa bisa aku melupakan kamu, Kak?"
Reyn menatap foto Rega yang menjadi foto favoritnya. Foto yang akan menghilangkan rasa lelahnya. Namun, sekarang foto itu malah membuatnya ingin menyerah.
"Aku harap kita tak akan pernah bertemu lagi karena akan ada part di mana beberapa momen yang secara otomatis akan kembali diputar oleh memori otakku. Bahagialah dengan wanita pilihanmu, Kak."
Reyn sudah menutup album foto tersebut. Dia sudah melihat ke arah samping meja di mana ada tempat sampah. Tangannya sudah ingin membuangnya, tapi ketika akan dimasukkan malah dia urungkan.
"Aku gak akan pernah bisa membenci kamu. Aku membenci perasaan aku sendiri karena telah begitu dalam mencintai kamu."
Reyn meletakkan album foto itu ke dalam laci. Dia tersenyum pada benda itu.
"I Will Miss your smile," gumamnya.
"Mungkinkah kamu juga akan merindukan aku, Kak?"
Kembali mata Reyn berair. Dia mencoba untuk mengatur napas. Menutup laci terebut dan air mata yang kembali luruh.
"Kenapa gua lemah banget? Kenapa?"
.
Setiap hari Rega selalu datang ke kelas untuk memastikan Reyn kuliah atau tidak. Setiap hari bahkan setiap satu jam sekali Rega mengirimkan pesan kepada Reyn. Sayangnya, pesan itu tetap ceklis satu. Dia juga mencoba mengirimkan pesan dari ponsel ketiga sahabatnya. Hasilnya sama saja.
Hari ini tepat sebulan Reyn tak masuk kuliah. Hari-hari Rega pun seperti warna monokrom. Hitam putih tak berwarna. Perempuan yang biasanya berisik, kini sudah tak pernah muncul. Bukan hanya Rega yang merindukan Reyn, ketiga sahabatnya pun sangat merindukan Reyn. Juga Bu Gendis juga setiap hari selalu menanyakan Reyn.
"Ramainya toko ini terasa kurang karena gak ada Reyn."
Rega pun terdiam. Sekarang ini dia senang sekali menatap rekaman cctv pada saat Reyn terakhir datang ke toko roti tersebut. Sedikit mengobati rasa rindunya.
Memandangi layar ponsel sampai tengah malam. Berharap ada sebuah keajaiban di mana nomor Reyn akan membalas pesan darinya. Namun, ceklis itu tetap tak berubah.
"Maafkan aku, Reyn. Aku hanya ingin menebus semua salahku kemarin. Sudah mengabaikan kamu dan--" Rega tak sanggup meneruskan ucapannya lagi.
"Bukan Megan yang aku cintai. Tapi, kamu."
Rega membuka galeri ponsel. Berharap ada foto Reyn ataupun foto mereka berdua. Matanya nanar ketika melihat foto dua tahun lalu di mana mereka tak sengaja memakai baju senada untuk pergi ke mall. Reyn mengajak untuk photobox karena tak mau menyia-nyiakan kesempatan langka tersebut.
"Aku rindu senyum kamu, Reyn. Di mana kamu sekarang?"
.
Ancaman dari ayah Megan yang tak lain adalah dosennya tak Rega hiraukan. Dia tak peduli dengan ancaman nilai C jikalau dia tak kembali dekat dengan Megan. Sikapnya semakin hari semakin dingin kepada Megan.
"Rega, tunggu!"
Lamelaki tinggi itu terus melangkah. Tak menghiraukan Megan yang terus mengejar.
"Rega, kamu gak bisa giniin aku terus!" teriak Megan ketika Rega sudah menuju tempat tongkrongannya.
Lagi dan lagi Rega yak peduli. Dia seperti orang tuli. Sedangkan ketiga sahabat Rega asyik menyimak.
"REGA!"
Langkah Rega pun terhenti ketika Megan berteriak bak orang gila. Perlahan dia memutar tubuh. Sontak Megan menghampiri Rega dengan langkah lebar.
"Aku cinta kamu, Ga. Makanya aku ngelakuin ini semua. Aku gak mau kehilangan kamu."
"Uwek!!"
Kompak ketiga sahabat Rega menirukan orang yang ingin muntah. Mereka bergidik jijik mendengar kalimat Megan.
"Kita kembali seperti dulu lagi, ya."
Megan sudah meraih tangan Rega dan menatapnya dengan begitu dalam. Senyum pun sudah dia ukirkan.
"ENGGAK!!"
Penolakan yang amat jelas. Tangan Megan pun Rega kibaskan dan terlepas.
"Kamu tega sama aku, Rega."
Rega kembali tak peduli dan mulai meninggalkan Megan yang sedikit terisak. Hingga sebuah kalimat kembali Megan ucapkan.
"Kalau kamu seperti ini, lebih baik aku mati saja."
Mata ketiga sahabat Rega sudah melebar ketika melihat Megan sudah mengeluarkan pisau lipat dari dalam tas. Langkah Rega terhenti dan dia kembali memutar tubuh. Rega mulai melangkahkan kaki menuju Megan. Hati Megan sudah sangat bahagia karena Rega pasti akan mencegahnya. Rega sudah sangat dekat. Megan tak sabar ingin memeluk tubuh Rega. Namun, sebuah kalimat membuat Megan syok.
"Apa perlu aku bantu proses bunuh dirinya?"
...*** BERSAMBUNG ***...