Kehidupan Agnia pada awalnya dipenuhi rasa bahagia. Kasih sayang dari keluarga angkatnya begitu melimpah. Sampai akhirnya dia tahu, jika selama ini kasih sayang yang ia dapatkan hanya sebuah kepalsuan.
Kejadian tidak terduga yang menorehkan luka berhasil membuatnya bertemu dengan dua hal yang membawa perubahan dalam hidupnya.
Kehadiran Abian yang ternyata berhasil membawa arti tersendiri dalam hati Agnia, hingga sosok Kaivan yang memiliki obsesi terhadapnya.
Ini bukan hanya tentang Agnia, tapi juga dua pria yang sama-sama terlibat dalam kisah hidupnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon _Sri.R06, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sebuah Jebakan
Selasa, pukul 16.15.
Agnia terlihat berada di dapur dengan beberapa pelayan, dia ingin membantu beberapa pekerjaan seperti biasa. Bukan pekerjaan yang sulit, lagipula Agnia jadi bisa memperluas kepiawaiannya dalam memasak. Meskipun sebenarnya Agnia jauh lebih menyukai makanan cepat saji.
“Padahalkan kamu tidak perlu membantu, Nak Agnia. Saya bisa melakukannya sendiri. Lagipula, banyak pelayan lain yang juga membantu menyiapkan makanan.”
Agnia tersenyum kecil, wanita paruh baya yang bertugas di dapur itu terlihat tidak enak karena Agnia sering sekali membantu pekerjaan mereka, padahal Agnia bukan pekerja di rumah itu.
“Tidak apa-apa, kok, Nek. Agnia juga sedang tidak sibuk,” kata Agnia, tangannya masih mencuci sayuran yang nanti akan digunakan sebagai bahan masakan.
Beberapa menit telah berlalu. Saat semuanya hampir siap, suara ketukan sepatu terdengar mendekat. Karena dorongan penasaran, Agnia akhirnya berbalik. Dia mengerutkan kening saat merasa tidak asing dengan wajah yang berada di hadapannya saat ini.
“Nona Shena, Anda memerlukan sesuatu?” Terdengar suara Nenek Rima, dia wanita yang sebelumnya berbicara dengan Agnia.
Barulah setelah mendengar itu, Agnia mengetahui nama wanita yang kini secara terang-terangan memandang Agnia dengan tatapan meremehkan.
Kemudian wanita dengan poni rata di bawah alis itu tampak melipat kedua tangannya di dada, dia mengangkat dagu, menunjukkan keangkuhannya. “Buatkan aku coklat panas, airnya harus sangat panas saat diantar ke kamarku.”
“Baik, Nona, akan segera Saya buatkan—”
Namun belum sempat Nek Rima memberi jawaban yang lengkap, Shena sudah lebih dulu memotong dan justru berbicara pada Agnia. “Aku ingin … kamu yang membuatnya!” tegasnya, menunjukan sorot mata yang begitu tajam.
“Eh, Nona Shena, sebaiknya Saya saja. Nak Agnia, bukan—”
“Tidak apa-apa, Nek,” kata Agnia tersenyum kepada Nek Rima. Dia kemudian kembali mengalihkan perhatiannya pada Shena. Menatap wanita itu dengan tenang. “Coklat panas, bukan? Akan segera aku buat,” kata Agnia, memaksakan senyuman di bibirnya.
Kemudian Agnia melihat Shena memutar matanya, ada seringai begitu tipis yang bisa Agnia tangkap. Setelahnya, Shena pergi dari dapur dengan gaya angkuh yang masih juga belum luntur dari kepribadiannya.
“Sebaiknya, Nenek saja yang buat, ya. Nak Agnia sedari tadi sudah membantu Nenek memasak. Pasti kamu juga lelah, kan?”
Agnia menggeleng. “Tidak Nek, Agnia baik-baik saja,” katanya, “Biar Agnia yang membuat pesanan dia. Tapi, Nenek beritahu Agnia cara membuatnya, ya. Pasti Nenek lebih tahu selera dia seperti apa.”
Pada akhirnya, Nek Rima terkekeh kecil sebelum menganggukan kepalanya. Menyetujui permintaan Agnia.
Di tengah-tengah aktivitas mereka. Agnia tiba-tiba terpikirkan sesuatu. Jadi, dia berniat untuk mempertanyakan isi kepalanya itu.
“Wanita tadi, apa dia memang anggota keluarga ini? Rasanya Agnia belum pernah melihat dia di sini?” tanya Agnia, memulai pembicaraan.
Nek Rima menatap Agnia sekilas, sebelum menjawab, “Bukan, sebenarnya Non Shena adalah anak dari sahabat Nyonya Felicia—Ibu Tuan Abian. Hubungan mereka memang sudah seperti keluarga. Nona Shena sebenarnya sering datang ke rumah ini. Dia juga memiliki kamar khusus di sini. Keluarga Bellamy sudah menganggap Nona Shena seperti bagian dari mereka.”
Agnia menganggukkan kepalanya, mengerti. Dia kini baru mengetahui perihal Shena. Pantas saja beberapa waktu lalu dia terlihat tidak canggung saat berbicara dengan Abian.
Jika Agnia mengingat kembali fitur wajah Shena, sebenarnya wanita itu memiliki wajah yang berbanding terbalik dengan sikapnya yang angkuh dan terkesan ketus. Wajahnya itu justru terlihat baby face, apalagi dengan rambut sepunggung dan poni rapi yang jatuh hingga menutupi alis. Itu membawa kesan lucu untuk wanita yang sebenarnya sudah berusia 25 tahun itu.
Pada awalnya, saat Agnia melihat wanita itu, dia mengira Shena tipe orang yang menyenangkan, lemah lembut dan kesan baik itu benar-benar seolah ada pada dirinya. Tapi saat dia mengetahui seperti apa Shena sebenarnya, barulah dia sadar, kalau perkiraannya itu salah.
Setelah selesai dengan pikirannya itu, Agnia juga telah selesai dengan coklat panas buatannya. Jadi, karena tidak ingin membuat Nona muda mengalami kekesalan yang melambung di hatinya. Agnia akhirnya segera naik ke lantai atas dan mengantarkan minumannya itu ke kamar Shena. Sebelumnya, dia mengetahui tentang kamar wanita itu dari Nek Rima.
“Pintu ke 5 dari kiri?” Agnia bergumam, sambil menghitung jumlah pintu yang dia lewati.
“Seharusnya yang ini,” katanya, setelah yakin saat berdiri di depan pintu kelima sesuai instruksi dari Nek Rima sebelumnya.
Perlahan, pintu pun mulai didorong ke dalam saat suara seseorang menyahuti ketukan yang Agnia lakukan. Setelah Agnia memasuki ruangan yang menjadi kamar tidur Shena, dia dapat menemukan wanita itu sedang duduk di pinggir ranjang dengan kaki yang bersilang. Agnia dapat melihat salah satu tangannya tengah memegang ponsel, seolah tidak terganggu dengan kehadiran Agnia di sana.
“Coklat panas yang kamu inginkan.”
Shena menghentikan aktivitasnya, menatap Agnia dengan pandangan malas, dia simpan ponsel di tangannya ke atas kasur, setelahnya membenarkan posisi duduknya jadi lebih tegak.
“Taruh di sana,” ujar, Shena. Dia mengangkat dagu, menunjuk ke arah meja kecil di samping ranjang.
Tanpa banyak berbicara lagi, Agnia mengikuti keinginan wanita itu. Setelahnya, dia baru saja berbalik dan berjalan beberapa langkah. Namun terhenti saat pekikan wanita itu terdengar.
“Panas! Agnia, kamu sengaja?!””
Agnia membalik badan, dia melihat Shena sedang mengibas-ngibaskan tangannya ke arah mulut yang sedikit terbuka. Bahkan minuman yang dibawa Agnia sebelumnya ada yang sudah mengotori lantai. Agnia menduga pasti itu karena Shena yang langsung menyimpan gelas berisi coklat panas itu dengan serampangan.
Tapi Agnia hanya menghela napas, raut wajahnya dia buat setenang mungkin. “Kamu bilang ingin airnya sangat panas saat di antar ke sini, kan? Aku hanya melakukan seperti apa yang kamu katakan,” kata Agnia.
Shena menajamkan matanya, sebelah tangannya terkepal menahan kesal.
“Lalu kamu menyuruhku untuk menunggu sampai minumannya dingin?!” geram Shena.
“Lalu apa yang salah dengan itu, tugasku sudah selesai. Selanjutnya terserah padamu. Apakah ingin bereksperimen dengan minuman panas, atau menunggu sebentar sampai menjadi hangat,” ujar Agnia, seolah semuanya sudah jelas.
Shena merasa sudut matanya berkedut, ada perasaan kesal yang begitu besar tertuju pada wanita menyebalkan itu. Dia berdiri dengan cepat, deru napasnya memburu hebat, kemudian telunjuknya dengan ganas mengarah pada Agnia. “Kamu—” Suaranya berhenti di sana. Dia bahkan tidak tahu bagaimana harus menjabarkan kekesalannya ini.
Sementara itu, Agnia, menunjukkan raut wajah polos. Apa yang baru saja dia katakan itu tidak benar? Bukankah, Shena memang memiliki pilihan itu sedari awal. Itu adalah salahnya kenapa memilih opsi yang justru merugikan dirinya sendiri.
“Keluar!” pekik Shena, mengusir Agnia secara terang-terangan. “Pergi dari kamarku, sekarang!” Dia sampai memejamkan mata dengan kedua tangan yang saling mengepal menyalurkan emosi yang terasa memenuhi hatinya.
Agnia berkedip dua kali, mendapati sikap Shena yang meledak-ledak, jelas saja Agnia hanya bisa pasrah. Dia akhirnya keluar dari kamar wanita itu, membiarkan Shena memaki-maki dirinya sampai hatinya itu bisa kembali tenang.
Bukankah Agnia begitu baik!
***
Dua hari berlalu, dan Agnia masih sesekali akan bertemu dengan Shena. Wanita itu tampaknya masih menginap di kediaman Bellamy. Mungkin, hobinya selama waktu itu adalah mencari masalah dengan Agnia. Dia mulai menyuruh Agnia melakukan banyak hal, yang dengan senang hati Agnia turuti. Tentu saja, itu hanya dilakukan saat Abian tidak ada.
Beberapa kali dia juga melakukan pendekatan dengan Abian secara terang-terangan. Terlebih itu saat berada dalam ruang pandang Agnia. Namun Agnia enggan peduli. Dia juga tidak memiliki masalah dengan itu.
Namun ternyata, Shena tidak hanya berhenti di sana. Dan puncaknya adalah sekarang ini. Tepat Saat Agnia menuruni tangga, berniat untuk mengunjungi salah satu kost yang nantinya akan dia tinggali. Agnia malah mendapatkan tuduhan dari Shena.
“Katakan dengan jujur, kamu simpan di mana kalung Tante Felicia?!” Shena bertanya dengan arah pandang yang jelas tertuju pada Agnia.
Mereka sedang berada di ruang keluarga. Di sana bukan hanya Agnia dan Shena, tapi juga Felicia selaku orang yang sedang kehilangan perhiasan. Abian juga ada di sana, namun pria itu tampak hanya diam dengan sorot tenang tanpa beban. Jangan lupakan satu orang lagi, Eriana, wanita itu tampaknya begitu terang-terangan mendukung Shena saat menuduh Agnia melakukan kejahatan.
“Kalung apa?” Agnia tidak mengerti dengan topik yang sedang diperbincangkan ini.
“Jangan pura-pura polos. Aku tahu kamu yang telah mengambil kalung Tante Felicia, kan?” tuduh Shena, masih begitu bersikeras.
“Katakan dengan jujur, kamu pasti membutuhkan uang sampai akhirnya memilih mencuri perhiasan milik Felicia, kan?” Suara Eriana terdengar, matanya bahkan sudah melotot seolah ingin merekam segala ekspresi yang Agnia tunjukkan dengan jelas.
“Apa?! Tidak!” Agnia jelas membantah, dia tidak pernah melakukan itu.
“Kamu tidak bisa terus berbohong. Salah seorang pelayan berkata melihatmu keluar dari kamar Tante Felicia!” Shena kembali berujar, masih begitu bersikeras menjadikan Agnia yang bersalah dalam kasus ini.
“Aku tidak—”
“Apa yang kamu lakukan di kamar Saya, Agnia?”
Terdengar dengusan dari bibir Shena, dia tidak akan mempercayai perkataan Agnia sebelumnya yang mengaku tidak bersalah. “Tante, aku tahu dia tidak mungkin mengaku dengan mudah. Sebaiknya sekarang, kita cari kalung Tante di kamarnya saja. Pasti dia menyembunyikannya di sana,” kata Shena, memberikan usul. Dia meminta persetujuan Felicia yang masih diam dengan pandangan tak terbaca menatap pada Agnia.
Kemudian Eriana menganggukkan kepala. “Benar, kita harus mencari di kamarnya, dia pasti menyembunyikan perhiasanmu itu di sana.”
“Jika kamu memang tidak merasa bersalah, seharusnya kamu tidak akan menghalangi kami untuk mencari kebenaran, bukan?” tanya Felicia, menatap tepat ke mata Agnia.
“Baik, kalian bisa mencari di kamarku sepuasnya,” kata Agnia, masalah ini tidak akan selesai jika kebenarannya belum terungkap.
Kemudian dengan tatapan mata, Shena memberikan instruksi para beberapa pelayan. Seolah mengerti dengan tanda itu, mereka segera mengangguk dan langsung menuju lantai atas di mana kamar Agnia berada.
Agnia sekilas bertemu-tatap dengan Nek Rima. Dia tampak menatap cemas pada Agnia. Nek Rima sendiri begitu yakin Agnia bukan orang seperti itu.
Agnia yang melihat raut cemas di wajah Nek Rima hanya menunjukan senyum menenangkan. Berkata seolah semuanya akan baik-baik saja.
Agnia sempat memutus kontak mata dengan Nek Rima. Tanpa sadar, dia malah bertemu tatap dengan Abian yang saat ini tampak menatapnya begitu intens. Namun itu tak lama, karena para pelayan telah kembali dengan tergesa-gesa siap mengatakan kebenaran yang sesungguhnya.
Saat Shena dan Eriana begitu yakin kalau kalung itu memang berada di kamar Agnia, perkataan pelayan yang berbicara, “Nona Shena, di kamar Nona Agnia tidak ada kalung milik Nyonya Felicia.” Jelas hal itu membuat keduanya naik pitam karena kesal.
“Tidak mungkin! Kalung itu seharusnya ada di sana, kenapa bisa—” Shena merasa kebingungan dengan apa yang terjadi. Ia jelas-jelas menyimpan kalung itu di laci nakas di samping tempat tidur Agnia. Kenapa bisa tidak ada? Apa jangan-jangan ada yang tidak menuruti perintahku?!