Bagaimana jika kamu yang seharusnya berada di ambang kematian justru terbangun di tubuh orang lain?
Hal itulah yang terjadi pada seorang gadis bernama Alisa Seraphina. Ia mengalami kecelakaan dan terbangun di tubuh gadis lain. Alisa menjalani sisa hidupnya sebagai seorang gadis bernama Renata Anelis Airlangga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Caca Lavender, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 7
Karena terlalu asyik mengobrol dengan Paman Rudi, sopir pribadinya, hingga dua jam di kedai mie pangsit, Rena sampai di rumah pukul 10 malam. Gadis itu dan sang sopir berencana untuk pergi ke gym bersama. Senyum ceria terus terpancar di wajah Rena, setidaknya ia punya teman di dunianya yang cukup keras ini.
Putri bungsu Airlangga itu berjalan memasuki rumah mewahnya dengan santai. Pandangannya fokus pada layar ponsel yang ia genggam. Wajahnya tampak begitu semringah saat bertukar pesan dengan Alisa (jiwa asli Rena yang menempati tubuh Alisa).
...Rena...
^^^Sonia sampai pingsan gara-gara aku pukul haha…\^^^
^^^Sekarang tidak ada yang berani menggangguku di sekolah.\^^^
/Wah… hebat sekali.
/Dulu sekedar menatap mata mereka saja, aku sudah tidak berani.
^^^Serahkan saja padaku, setelah ini tidak ada yang berani pada Rena lagi.\^^^
^^^Kamu fokus saja menjalani hidup sebagai Alisa.\^^^
^^^Hei, kamu tidak kecanduan game dan mengabaikan kuliah, kan?\^^^
/Haha… tenang saja, hidupmu aman di tanganku.
/Aku menikmati kuliah di jurusan ini, apalagi orang tuamu sama sekali tidak menekanku.
/Sebenarnya aku ini pintar, loh. Asal jangan terlalu ditekan saja.
Rena terkekeh pelan membaca roomchat-nya dengan Alisa a.k.a Rena asli. Terlalu fokus dengan ponsel, hingga ia tidak menyadari sang papa sudah berdiri di hadapannya dengan wajah memerah menahan amarah.
Plakk!
Badan Rena terhuyung ke belakang sambil memegang pipinya yang terasa sangat panas. Gadis itu sangat terkejut merasakan tamparan yang dilayangkan oleh papanya. Bahkan ia terdiam karena mendengar suara dengingan di telinganya akibat ditampar terlalu keras.
“Bagaimana bisa kamu memukul temanmu, hah?! Mau jadi preman?! Membuat malu keluarga saja!” bentak Hendra dengan mata diliputi kemarahan.
“Dasar anak nakal! Bukannya fokus belajar, malah sibuk cari masalah! Belum cukup kamu buat pusing papa karena nilaimu jelek?! Sekarang malah mau membuat catatan kekerasan!”
Tamparan Hendra mengenai luka akibat cakaran teman sekelasnya tadi hingga Rena merasa sangat perih di wajahnya. Suara keras pria arogan itu sangat memekakkan telinganya, ditambah seluruh anggota keluarga yang hanya duduk di ruang keluarga sambil menatap datar dirinya membuat Rena semakin tersulut emosi.
“Berhenti teriak-teriak!” seru Rena.
“Dan kamu berhenti membuat papa kecewa!” bentak Hendra dengan suara tidak kalah keras.
Rena menatap nyalang papanya. Bukankah seharusnya dirinya yang merasa kecewa dengan situasi saat ini?
“Cih, memang apa salahku?” tanya Rena dengan senyum miring seolah sedang menantang papanya.
Hendra emosi melihat wajah songong Rena, “kurang ajar…”
Plakk!
Rena merasakan kembali tamparan panas itu di sisi wajah yang sama.
“Tck, setelah amnesia jadi semakin kurang ajar,” cibir Flo yang sedari tadi duduk sambil melihat adegan pertengkaran itu.
Seperti biasa, tidak ada yang membelanya saat dihajar oleh sang papa.
“Cih, padahal aku hanya mengembalikan sampah yang mereka berikan padaku,” gumam Rena membuat semua perhatian tertuju padanya, “pukulan tadi sebenarnya belum cukup dibandingkan dengan tiga tahun masa SMA yang sudah seperti neraka itu.”
Tidak ada yang menyela ucapan Rena, bahkan Hendra hanya diam dengan rahang mengeras mendengarkan ucapan putrinya itu.
“Sudah aku bilang kan, kalau aku dirundung di sekolah. Tapi kalian malah menyuruhku mendekati mereka dan mencoba bergaul dengan mereka—cuih! Tidak sudi!”
Semua orang terperanjat melihat Rena yang baru saja membuat gestur meludah yang sangat tidak sopan.
“Rena, kamu tidak pernah diajari bersikap tidak sopan seperti itu,” ucap Yohana yang langsung berdiri dari duduknya.
“Orang tuaku yang berbudi luhur juga tidak pernah mengajariku seperti ini,” balas Rena sambil tersenyum santai.
Gadis bungsu Airlangga itu kembali menatap nyalang sang papa, “papa menamparku dua kali karena aku memukul seorang teman. Cih, bahkan dia bukan temanku. Dan lagi, papa tidak menampar mereka saat aku dulu mengadu karena dipukul oleh teman-temanku.”
“Tapi yang kamu lakukan adalah kekerasan, Rena!” balas Hendra.
“Lalu, yang aku terima dari dulu bukan kekerasan?!” sahut Rena tidak kalah keras.
Tatapan mata yang sarat akan amarah dan kebencian itu mampu membuat sang papa terdiam. Putri bungsu yang sejak dulu selalu menundukkan pandangan kepadanya, kini berani menatap tepat di kedua bola mata gelapnya.
“Bagaimana sebenarnya cara kerja pikiran kalian semua, hah?!” kesal Rena sambil melenggang pergi menuju ke kamarnya.
Persetan dengan sopan santun, dirinya saja sudah tidak dihargai di keluarga ini. Lagipula mereka juga bukan orang tua aslinya.
...----------------...
Meskipun Rena tampak berani saat melawan Hendra, nyatanya ia juga merasakan takut dan sakit di lubuk hatinya. Sudah 20 menit sejak ia memasuki kamar, dan sudah 20 menit juga ia menelungkupkan wajahnya di atas ranjang sambil terisak pelan.
“Hiks… ayah… ibu… aku rindu kalian… di sini mengerikan,” ucap Rena di sela tangisnya.
Hatinya terasa semakin pedih karena tidak bisa melakukan apa pun. Ia tahu ayah dan ibunya masih ada di dunia yang sama dengannya. Tapi ia tidak bisa berlari memeluk mereka. Karena sekarang, ia adalah Rena, bukan lagi Alisa. Orang tua aslinya pasti juga sedang berbahagia sekarang karena putri yang mereka kenal, Alisa, hidup normal seperti biasanya. Tanpa mengetahui bahwa jiwa putri mereka terperangkap di dalam tubuh seorang gadis bernama Rena.
Tok… tok… tok…
Kepala Rena terangkat saat mendengar pintu kamarnya diketuk. Dengan gerakan cepat, ia pun mengusap jejak air mata di pipinya.
“Masuk,” ucapnya dengan suara parau.
Ia berpikir, mungkin itu salah satu asisten rumah tangga yang hendak mengantarkan sesuatu ke kamarnya. Tapi saat pintu kamarnya dibuka, Rena terkejut karena yang muncul di sana adalah kakak pertamanya.
“Mau apa kakak ke sini?” ketus Rena sambil mengalihkan wajah ke arah lain.
Jujur saja, ia merasa sangat malu jika sampai Leo melihat wajah sembabnya. Kakak pertamanya itu tidak mengatakan apapun dan terus berjalan menghampirinya. Rena yang merasakan ranjangnya bergerak pelan langsung menoleh. Ia mendapati sang kakak yang sedang duduk di pinggir ranjang.
“Lukamu belum diobati,” ujar Leo singkat, lalu membuka kotak obat yang ia bawa sedari tadi.
Rena terdiam mendengarnya. Memang benar, luka cakaran di ujung kelopak matanya tidak diobati sejak tadi. Lagipula itu bukanlah luka yang terlalu lebar, hanya goresan kecil yang agak panjang. Mungkin karena Leo adalah seorang dokter kulit, jadi ia lebih memperhatikan luka sekecil itu.
Tubuh Rena sedikit tersentak merasakan tangan Leo yang mengarah ke wajahnya. Hal itu membuat gerakan Leo terhenti sebentar. Tapi sedetik kemudian, Leo melanjutkan acaranya mengobati luka gores di ujung kelopak mata sang adik.
Jantung Rena berdegup kencang diperlakukan seperti ini. Bukan, ini bukan jatuh cinta. Rena masih cukup waras untuk tidak mencintai kakaknya sendiri. Tapi diperlakukan lembut oleh sang kakak yang selama ini selalu mengabaikannya, tentu saja rasanya akan sedikit aneh. Iya, kan?
...----------------...